9. Pracimayasa

1.1K 136 3
                                    

🚫Disclaimer🚫
Semua hal yang tertulis dalam cerita ini adalah fiksi. Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan dalam lingkungan Keraton

⚠️Mohon bijak dalam memberikan komentar⚠️

✨ Happy reading ✨

***

"Jadi bagaimana? Masih butuh informasi dari saya mengenai festival musik jazz itu?" kata Arjuna dengan santai sambil memperhatikan langkah kaki perempuan di sampingnya yang nampak kesulitan dengan kain jarik tradisional itu.

Setelah semua rangkaian prosesi kirab selesai, atas izin Yayah dan Eyang, Anindya dibawa berkeliling Keraton oleh Arjuna dan Jatmika. Namun, ketika di pertengahan jalan Jatmika pamit untuk kembali ke pendopo karena dipanggil oleh Budhe Renjani katanya. Jadilah saat ini Anindya berjalan beriringan bersama Arjuna, hanya berdua. Menuju Pracimayasa, ruang makan berbentuk segi lima di mana semua kerabat akan berkumpul untuk bercengkrama.

Mereka menyusuri timur pendopo yang akan membawanya ke ruang makan yang menjadi tujuan. Malam itu semilir angin dari dedaunan yang bertiup sukses menambah atmosfer canggung di antara keduanya. Anindya ingin segera akhiri perjalanan ini rasanya.

"Kemarin saya sudah mendapat beberapa informasi dari Mas Karna. Namun, jika Pak Arjuna berkenan saya butuh beberapa informasi tambahan langsung dari jenengan ..."

Arjuna tertawa lirih mendengar Anindya memanggilnya dengan sebutan Bapak. Terlalu tua dan kaku. "Kamu memanggil kakak saya dengan sebutan Mas. Sedangkan saya adiknya kamu panggil Bapak. Apa wajah saya setua itu Anindya?"

Anindya diam sebentar, mengamati wajah lawan bicaranya ini sebentar. "Jadi saya harus panggil jenengan bagaimana?" Anindya melemparkan pertanyaan balik kepada Arjuna.

"Samakan saja seperti kamu memanggil Mas Karna" pinta Arjuna. Anindya hanya menganggukan kepalanya saja. Tidak berniat merangkai kalimat panjang untuk mengiyakan perkataan Arjuna. Ingatkan Anindya bahwa ia masih kesal dengan sosok laki-laki yang berjalan di sampingnya ini.

Setelah menyelesaikan masalah panggilan itu, baik Anindya maupun Arjuna tidak ada yang membuka suara. Mereka menyusuri lorong-lorong Keraton yang temaram dalam sunyi. Perjalanan yang harusnya singkat itu terasa sangat lama dan dingin.

Namun, ketika Anindya bisa mendengar suara ramai dari objek di depannya ia bernafas dengan lega. "Mbak Anin!" seru Jatmika dari kejauhan.

Gadis itu berlari ke arah Anindya tanpa kesulitan langkah sama sekali. Berbeda dengan Anindya yang mati langkah rasanya dengan kain sempit ini. "Kenapa lama sekali? Dari pendopo kemari tidak sejauh itu kan?"

Renjani yang melihat kedatangan Arjuna dan Anindya segera datang menghampiri. "Jangan digoda begitu Mbak dan Mas nya Mika. Anin ayo makan dulu Nduk ..." ajak Renjani. Anindya patuh dan mengikuti Renjani ketika tangannya langsung digandeng.

Sedangkan Arjuna dan Jatmika sama-sama terdiam di tempatnya melihat punggung Anindya yang menjauh bersama Ibu. Jatmika menyenggol lengan kakaknya seraya tersenyum jahil,

"Piye Mas, apik toh? Ibu ndak akan salah pilih perempuan" kata Jatmika. Arjuna hanya bergeming dan memutuskan untuk meninggalkan Jatmika tanpa membalas barang sepatah kata pun.

Suasana Pracimayasa malam itu begitu ramai dengan suara canda tawa yang bersahut-sahutan. Anindya menikmati makan malam yang terlambatnya dengan tenang tanpa ada niatan untuk bergabung dengan kerabat yang lain. Anindya pastikan perutnya terisi dengan penuh sebelum menjalani semedi untuk menutup malam suro yang sakral.

Sepiring gudeg lengkap dengan sambal krecek sukses membuat Anindya bungkam dan enggan berkata-kata. Makan dalam diam sambil menikmati gudeg tidak boleh diganggu dengan obrolan menurutnya.

Ketika tangan Anindya fokus membawa sendok itu ke mulutnya netranya menangkap Arjuna yang sedang berjalan ke arahnya dengan sepiring kue apem. Laki-laki itu duduk tepat berhadapan dengan Anindya tanpa berkata apapun.

Arjuna memotong serabinya dengan sendok lalu mendaratkannya di mulut. Anindya memperhatikan dengan seksama. Namun, ketika Arjuna membalas tatapnya Anindya segera tundukan pandangannya.

"Besok kamu bisa temui saya jam satu siang untuk wawancara. Pastikan tidak terlambat lagi ya Anindya" tukas Arjuna. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan berjalan pergi meninggalkan Anindya.

Anindya menghembuskan nafasnya kasar, "Dingin dan kaku sekali. Seperti robot" Anindya menggerutu.

***

Teman-teman bantu vote dan komentarnya ya! Terimakasih 🙏

Tertanda,
Terang Bulan
19-08-24

MingsraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang