6. Keraton Praja

1.1K 119 3
                                    

🚫Disclaimer🚫
Semua hal yang tertulis dalam cerita ini adalah fiksi. Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan dalam lingkungan Keraton

⚠️Mohon bijak dalam memberikan komentar⚠️

✨ Happy reading ✨

***

Anindya berlari dengan tergesa-gesa memasuki gerbang timur Keraton Praja. Meski sedikit kesulitan karena menggunakan kain jarik Anindya tidak peduli. Masalah besar sedang berada di hadapannya sekarang. Anindya sudah sangat terlambat dari jam yang dijanjikan. Bagaimana bila nanti narasumbernya akan membatalkan pertemuan mereka. Ah tidak jangan sampai, Anindya tepis kemungkinan terburuknya.

Kota Solo di pagi hari yang diguyur hujan menjadi penyebab utama keterlambatan Anindya. Padahal pukul sepuluh tepat Anindya sudah berangkat dari rumah Eyang menaiki sepeda motor bersama Mahesa kakaknya. Namun, sialnya di tengah jalan hujan turun tanpa permisi. Mau tidak mau mereka harus menepi dan menunggu hujan sedikit reda.

Persetan dengan penampilan Anindya sekarang gadis itu berlari secepat yang ia bisa untuk masuk ke dalam kawasan Keraton. Jarik tumpal yang sudah tidak tertata rapi, rambut panjangnya yang semula disanggul kini sudah berantakan, juga kebaya putihnya yang sudah lembab. Sungguh ini adalah pengalaman terburuknya.

Mahesa yang tertinggal ikut berlari menyusul Anindya. Beberapa kali ia mengingatkan adiknya untuk memperlambat langkahnya karena saat ini sudah memasuki kawasan Keraton. Namun, Anindya menutup telinga rapat-rapat.

Anindya dijanjikan untuk bertemu di depan pendopo karenanya saat ini gadis itu berlari menuju pendopo. "Nin pelan-pelan. Jaga sopan santun ..." Mahesa memperingati.

Anindya hanya bergeming, langkahnya semakin ia percepat sampai tanpa sadar Anindya menabrak seseorang yang membuat tubuhnya hilang seimbang.

"Anin lihat ke de—" terlambat Mahesa, seruan itu dibawa pergi angin. Adiknya sudah terjatuh lebih dulu sebelum Mahesa dapat menyelesaikan kalimatnya.

'Bruukk'

Anindya terjatuh dalam posisi berlutut sedangkan seseorang yang ia tabrak hanya terhuyung ke belakang saja. Sekali lagi Anindya mengutuk kecerobohannya ini. Ingin sekali Anindya segera pulang dan melihat weton-nya. Hari apa ini? Kenapa Anindya selalu sial di hari ini.

Anindya melihat ke atas kala uluran tangan siap membantunya untuk berdiri. Bukan tangan Mahesa, tetapi tangan laki-laki lain. Anindya terima uluran itu dengan baik. Netranya belum siap menatap sebelum melontarkan kata maaf.

"Ngapunten, saya tidak sengaja" kata Anindya sambil terus menunduk.

"Saya minta maaf atas nama adik saya Mas Karna ..." suara Mahesa membuat Anindya percaya diri untuk mengangkat pandangnya.

"Loh Mahesa ... Berarti ini—Anindya?"

"Iya Mas ini adik saya Anindya ... Nin minta maaf lagi sama Mas Karna" pinta Mahesa.

Masih ingat dengan anak sulung Kanjeng Gusti yang Anindya tahu, ini dia orangnya. Gusti Pangeran Haryo Karna Rajangga Yudhanegara. Anindya memanggilnya dengan Mas Karna.

Menurut Anindya, Mas Karna ini adalah laki-laki yang empat tampan lima mapan. Postur bedanya yang tegap dan berisi, tinggi yang ideal juga wajah yang tampan dengan rahang tegas. Bisa dibayangkan bukan bagaimana tampannya Mas Karna ini.

Tidak cukup dengan perawakan yang sempurna saja. Mas Karna memiliki sifat yang tenang, penuh lemah lembut dan juga sangat amat bijaksana. Tak heran rasanya bila ia digadang-gadangkan akan dinobatkan menjadi Adipati Anom atau putra mahkota meneruskan kepemimpinan sang Ayah.

"Saya minta maaf sekali lagi Mas Karna, saya nggak sengaja."

"Ndak apa-apa Anindya. Kamu kenapa terburu-buru sekali?" tanya Mas Karna.

"Saya ada janji untuk wawancara hari ini di sini. Tapi saya terlambat dari waktu yang dijanjikan."

"Oalah ternyata kamu yang ditunggu adik saya sedari tadi. Yasudah kalau begitu kamu rapikan diri dulu, kain kamu kotor itu. Sebentar biar saya panggil abdi dalem untuk temani kamu ..."

Karna mengeluarkan ponsel genggamnya untuk menghubungi seseorang. Tidak berselang lama datang seorang wanita paruh baya yang Karna perintahkan untuk menemani Anindya merapikan dirinya yang berantakan.

"Yu tolong bantu Anindya untuk merapikan diri ya. Setelah itu antarkan Anindya bertemu Arjuna."

"Baik Raden Mas," balas abdi dalem itu sambil sedikit menunduk.

"Mari Mbak,"

Anindya mengikuti langkah wanita itu yang berjalan menuju lingkungan bagian dalam Keraton. Sedangkan Karna dan kakaknya bersama menuju timur keraton.

***

"Cantik sekali Mbak Anindya ..."

"Matur Suwun Bu, Terimakasih sudah dibantu menggunakan jariknya lagi." Penampilan Anindya lebih rapi saat ini. Jauh berbeda ketika ia datang setelah menerjang badai hujan.

Dengan menggunakan jarik tumpal berwarna merah muda dipadukan kebaya kutu baru putih dan belt batik yang melilit di pinggangnya, Anindya tampil menawan.

"Mari saya antar, Raden Mas sudah di ruang kerjanya menunggu panjenengan."

Anindya lantas mengangguk dan mengikuti langkah wanita itu. Langkah Anindya mengecil karena jarik tumpal yang dikenakannya. Namun, dalam kondisi susah berjalan seperti itu Anindya tetap terlihat anggun.

"Silahkan masuk Mbak, saya permisi dulu ..."

Anindya ketuk pintu kayu itu beberapa kali kemudian membawa langkahnya untuk masuk. Kesan pertama Anindya ketika berada di ruang kerja itu adalah kagum. Bagaimana tidak, ruangan berukuran tiga kali empat itu seratus persen berbahan dasar kayu. Dindingnya klasik dengan ukiran kayu tradisional yang cantik. Setiap sudutnya dihiasi oleh lukisan-lukisan vintage yang indah.

"Permisi, saya Anindya Kirana ..."

Anindya dapat melihat seorang laki-laki yang berdiri tidak jauh dari pandangannya. Tubuh laki-laki itu tegap, postur badan yang tinggi dan terlihat ideal dari belakang. Nyaris sama seperti postur tubuh Karna. Hanya saja laki-laki itu terlihat lebih tinggi. Laki-laki itu tetap bergeming seolah tidak mendengar sapaan Anindya. Atau memang suara Anindya yang terlalu kecil.

Anindya ulangi sekali lagi dengan suara yang lebih jelas dan kencang, "Permisi ... Saya Anindya dari Kompas Media . Jenengan Pak Arjuna Reksa Yudhanegara nggih ..." kata Anindya.

Laki-laki itu berbalik ke arahnya. Dengan sorot mata tajam namun menenangkan dia berjalan ke arah Anindya.

"Saya tidak punya janji temu dengan tim Kompas Media pada jam ini."

"Tapi Pak, saya sudah atur pertemuan dengan anda semalam. Saya dari Kompas Media datang kemari untuk mewawancarai anda terkait festival musik jazz yang akan diselenggarakan di sini" jelas Anindya pada laki-laki itu.

"Seingat saya janji temu dengan Kompas Media sudah berakhir dua jam yang lalu. Sekarang sudah tidak ada janji temu" dengan tenangnya laki-laki itu berkata. Matanya senantiasa menatap Anindya yang mulai panik di tempatnya.

"Jadi silahkan kamu keluar. Saya tidak suka orang yang terlambat."

"Tapi Pak—"

Seumur Anindya menjadi seorang Jurnalis, ini adalah pengalaman terburuknya. Terlambat dari janji temu dan diusir oleh narasumbernya. Sekarang bagaimana Anindya akan mendapatkan informasi untuk artikelnya.

Anindya mengutuk hari ini, hari tersial sepanjang hidupnya. Sungguh menyebalkan.

***

Tertanda,
Terang Bulan
16-08-24

MingsraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang