🚫Disclaimer🚫
Semua hal yang tertulis dalam cerita ini adalah fiksi. Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan dalam lingkungan Keraton⚠️Mohon bijak dalam memberikan komentar⚠️
✨ Happy reading ✨
***
"Selamat pagi Raden Ajeng,"
"Diam, gue lagi pusing" keluh Anindya.
Anindya baru sampai beberapa menit yang lalu setelah menerjang kemacetan lalu lintas Jakarta. Dua jam lamanya Anindya bermain dengan pedal gas membuat kakinya seperti ingin patah. Saat ini Anindya baru saja sampai di kantor dan mendudukan diri di kursi kerja kesayangannya.
"Ada apa sih, kenapa lo kelihatan tidak bersemangat di Senin yang cerah ini wahai Anindya," gadis yang usianya tak jauh berbeda dari Anindya berkata.
"Lalu lintas Jakarta semakin hari semakin nggak ngotak tahu nggak. Capek banget gue nyetir dua jam. Tahu gitu nggak gue tolak ajakan Mas Mahesa."
Jangan terkejut dengan tata bahasa Anindya yang jauh berbeda ketika di rumah. Jika Anindya tidak pandai memilih kosakata ketika berbicara dengan Yayah dan anggota keluarga lainnya, yang ada nasihat tujuh hari tujuh malam yang akan ia dengar. Memang seperti itulah gaya bicaranya ketika bersama teman sebayanya dan kakaknya juga sebenarnya. Hanya saja Anindya akan berbicara dengan gaya seperti ini di belakang Yayah ataupun Ibu.
Anindya tidak jauh berbeda dari gadis metropolitan umumnya. Sangat suka nongkrong, party tanpa minum, juga menonton konser penyanyi favoritnya hingga larut malam. Semua kebiasaan Anindya ini sedikit bertentangan dengan sang Ayah yang begitu strict. Akibatnya, seringkali Anindya lakukan ini secara diam-diam dengan Mahesa sebagai tamengnya.
"Mas Mahesa apa kabar Nin? Lama banget gue nggak ketemu, pasti makin ganteng ya?"
Anindya mencebikan bibirnya, "Gue bingung sama mata lo Gen, masa Mas Mahesa dibilang ganteng."
Gentala Arasyi adalah sahabat karib Anindya. Keduanya sudah begitu lama menjalin hubungan persahabatan, tepatnya sejak kepindahan Anindya ke Jakarta. Dahulu, Anindya dan Gentala bertetangga. Keduanya masuk ke sekolah yang sama, universitas yang sama hingga bekerja di kantor yang sama. Anindya dan Gentala sangat amat dekat, sudah seperti saudara kandung.
Karena kedekatannya dengan Anindya, Gentala menjadi sering bertemu dengan Mahesa. Dari situlah Gentala merasakan daya tarik pada Mahesa. Tidak jarang Gentala datang ke rumah Anindya dengan alasan tugas kelompok misalnya. Padahal sebenarnya Gentala hanya ingin bertemu dengan Mahesa. Biasanya, hal seperti itu akan berakhir dengan Anindya yang menjadi seekor nyamuk.
Anindya tidak mempermasalahkan, toh itu hak Gentala. Lagipula kakaknya Mahesa sama sekali tidak keberatan.
"Mas Mahesa itu sopan, lemah lembut dan sudah pasti tampan bersahaja Nin. Mas-mas Jawa yang super perfect, future husband ..."
Anindya bersumpah, ia merasa mual mendengar pujian yang hiperbola tentang kakaknya. Andai Gentala tahu betapa menyebalkannya seorang Mahesa, Anindya yakin pasti sahabatnya mengurungkan niat sukanya pada kakaknya itu.
"Iya deh iya. Your future husband" tukas Anindya sambil tertawa kecil.
Setelah sedikit pembahasan pembuka bersama sahabatnya, dua perempuan itu kembali ke meja kerjanya masing-masing. Kesibukan mereka di hari Senin yang cerah ini sudah memanggil-manggil. Gentala juga sudah terlihat profesional di depan komputernya yang menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mingsra
Roman d'amourSudah menjadi hal biasa untuk keluarga Keraton soal jodoh yang dipilihkan. Tapi, Anindya bukanlah bagian dari mereka yang bisa menganggapnya sebagai hal yang biasa. Meski lahir dengan gelar priyayi Jawa yang dihormati, nyatanya kehidupan Anindya ja...