🚫Disclaimer🚫
Semua hal yang tertulis dalam cerita ini adalah fiksi. Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan dalam lingkungan Keraton⚠️Mohon bijak dalam memberikan komentar⚠️
✨ Happy reading ✨
***
"Selamat pagi Anindya!"
"Mari awali pagi dengan bubur ayam Kang Joko. Nih gue beliin spesial buat lo tanpa kacang dan ekstra ayam suwir ..." Gentala menyambut Anindya yang baru saja sampai di kantor dengan semangat empat lima.
Gadis itu juga membawakan sarapan pagi untuk sahabatnya, bubur ayam Kang Joko yang berjualan di depan kantor. Kebetulan bubur ayam itu memang sudah menjadi langganan mereka sejak lama. Namun, tak biasanya Anindya acuh pada aroma bubur ayam favoritnya.
"Nin are you okay?" Gentala mendadak cemas, pasalnya Anindya datang ke kantor dengan wajah yang ditekuk.
Anindya membenamkan wajahnya di meja kerjanya tanpa membalas barang sepatah pun sapaan dari Gentala. Ia sama sekali tidak memiliki semangat untuk menjalankan hari panjang yang baru saja dimulai. Kepalanya pusing sejak semalam, tepatnya ketika Yayah mengucapkan kalimat yang membuat Anindya lemas tak berdaya.
"Nin lo kenapa? Habis kalah lotre atau gimana?" tanya Gentala asal. Anindya tetap bergeming, perempuan itu seolah tidak memiliki sedikit saja energi untuk mengangkat kepalanya.
"Anindya jangan jadi bisu gini ah, gue takut lo kenapa-napa. Lo habis makan apa semalam sampai jadi bisu gini? Atau lo habis liat hantu ya makanya diem begini?"
"Gue nggak bisu ya. Sembarangan banget deh kalau ngomong." Anindya mengangkat kepalanya lalu menatap tajam ke arah Gentala.
"Gara-gara feeling sialan lo itu gue jadi lemes banget." Anindya tak mampu bicara terlalu kuat, tenaganya hilang entah kemana.
"Wait, feeling yang mana nih. Jangan bilang soal perjodohan lo dan ..." belum selesai Gentala berbicara Anindya lebih dulu mengangguk.
"NIN! SERIUS? ARE YOU KIDDING ME?" Anindya melotot tajam, "Gen! Kecilin suara lo, bisa-bisa satu kantor denger ..."
"Upss-sorry ..., tapi lo serius Nin. Lo dan Arjuna dijodohin?"
Kembali melesat dalam pikiran Anindya ucapan sang Ayah semalam. Ketika itu Anindya sedang duduk di teras sambil minum teh di sore hari yang cerah ketika Yayah memanggilnya. Anindya tidak berpikir macam-macam, ia langsung menghampiri Pramoedya yang sudah menunggu di kamarnya.
Saat Anindya masuk ia sudah menyadari ada sesuatu yang berbeda. Mulai dari Mahesa yang juga berada di sana sambil menatapnya aneh dan Ibu yang sibuk dengan benang jahit terlihat menunggu.
Begitu masuk Anindya langsung menghampiri Pramoedya yang bersandar di kasur kemudian duduk di sisinya, bersebrangan dengan Mahesa yang bersantai di sofa samping kasur. Anindya diam hingga Pramoedya membuka pembicaraan.
Tapi sekian menit Anindya menunggu Pramoedya hanya duduk diam sembari menatapnya dengan senyuman. Pramoedya mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala anak perempuannya dengan halus, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
"Ada apa Yah? kenapa memanggil Anin. Ada yang ingin Yayah bicarakan?" tanya Anindya hati-hati, sang Ayah masih saja bergeming.
Entah apa yang ada di pikiran Pramoedya kala itu, yang jelas atmosfer-nya berbeda. Anindya melihat tatapan Yayah yang sendu seolah Anindya akan pergi jauh. "Yayah ..." panggil Anindya dengan lirih.
Pramoedya membuang nafasnya kasar kemudian tersenyum lagi, "Cah ayu, putriku satu-satunya. Dulu sewaktu kamu lahir Yayah senang bukan main, karena Yayah sangat ingin memiliki anak perempuan. Yayah selalu bahagia ketika melihat kamu tersenyum dan tertawa."
"Mungkin Yayah terkesan kaku dan galak sama kamu nduk, tapi kamu harus tahu Yayah sangat menyayangi putri kecil Yayah ini, Tunggadewi nya Hadikusuma ..." Pramoedya terlihat emosional, terbukti dengan bola matanya yang berkaca-kaca.
"Yayah selalu menganggap kamu seperti guci tua yang begitu rapuh, sehingga Yayah harus menjaganya dengan begitu hati-hati. Tapi sekarang, kamu sudah dewasa sudah tentu bisa menjaga diri. Tapi Yayah tetap saja merasa takut ... Anakku, Anindya."
Anindya melesak dalam pelukan Pramoedya, ia membenamkan wajahnya di sana dengan begitu nyaman.
"Anindya tahu Yayah, Anindya tahu kalau selama ini Yayah tidak bermaksud untuk membatasi Anindya. Anin tahu, galaknya Yayah selama ini karena Yayah ingin Anin tumbuh jadi perempuan yang terjaga dan bermartabat dan Anin nggak pernah merasa keberatan." Pramoedya tersenyum hangat mendengar penuturan anak perempuannya.
"Anindya, umur kamu tahun ini dua puluh lima tahun toh. Apa sudah ada laki-laki yang mendekati kamu, Yayah hanya ingin tahu ..."
"Mboten Yayah, hingga saat ini Anin masih sendiri. Fokus Anin Cuma terhadap karir saja" kata Anindya.
"Fokus karir atau memang kamunya saja yang jelek," Mahesa ini, satu kali saja tidak mengejek adiknya rasanya seperti ada yang kurang.
"Mahesa," Yayah memperingati, "Adik kamu ini anak Ibu loh, ndak mungkin jelek, wong Ibunya saja ayu begini," sambung Pramoedya. Seketika, atmosfer mencekam yang sebelumnya Anindya rasakan berubah menghangat setelah Ibu tersipu malu.
"Nak kamu berhak menolak dan tidak suka, jangan terpaksa menerima permintaan Romo kali ini ya. Tapi Yayah berharap kamu mempertimbangkannya." Pramoedya melanjutkan bicaranya yang tertunda.
Pramoedya belum menyelesaikan kalimatnya saat Anindya dengan cekatan bertanya.
"Maksud Yayah apa?" tanya Anindya yang belum mengerti.
"Eyang menyampaikan kepada Yayah bahwa kami ingin menjodohkan kamu."
Terkejut sudah pasti itu yang paling pertama Anindya rasakan. Sangat terlihat dari raut wajahnya yang langsung berubah. Kinasih yang semula tidak ikut campur dan memberi ruang antara anak dan Ayah, kini ikut mendekat begitu juga dengan Mahesa yang langsung duduk di samping Anindya.
"Ibu saja yang sampaikan ..."
Kinasih memegang pundak Anindya dan menepuknya pelan. Nafas Kinasih berhembus kasar, "Yayah dan Eyang ingin menjodohkan kamu dengan anak dari Kanjeng Gusti."
Nama pertama yang terbesit dipikiran Anindya ketika Ibu mengatakan anak dari Kanjeng Gusti adalah Karna. "Maksud Ibu Anindya akan dijodohkan dengan Mas Karna?" tebak Anindya, Ibu justru menggeleng.
Ibu mengusap kepala Anindya sambil tersenyum hangat, "Bukan Karna nduk, tapi, Arjuna." "Eyang dan Yayah akan menjodohkan kamu dengan Arjuna" sambung Ibu.
Anindya sangat amat terkejut hingga tak mampu berkata-kata. Anindya tak menyangka bahwa ucapan abdi dalem Keraton Yogyakarta waktu itu akan terjadi padanya. Tapi siapa sangka ternyata jodoh yang dipilihkan untuk Anindya Anindya adalah Arjuna Reksa Yudhanegara.
Benar kata orang, jangan terlalu membenci nanti di jadikan istri.
***
Tinggalkan komentar di sini!
Tertanda,
Terang Bulan
31-08-24
KAMU SEDANG MEMBACA
Mingsra
RomanceSudah menjadi hal biasa untuk keluarga Keraton soal jodoh yang dipilihkan. Tapi, Anindya bukanlah bagian dari mereka yang bisa menganggapnya sebagai hal yang biasa. Meski lahir dengan gelar priyayi Jawa yang dihormati, nyatanya kehidupan Anindya ja...