Di dalam ruangan kerja milik Zirkon, tepatnya di sudut ruangan di samping kanan pintu. Terdapat meja dan kursi yang secara khusus telah dipersiapkan untuk menjamu siapapun yang baginya layak untuk mendapat waktu miliknya. Di meja yang terbuat dari kayu sejenis ek itu, jamuan telah ditata rapi, dan gadis pelayan itu membungkuk untuk undur diri setelah melakukan tugasnya.
Namun, saat hendak berbalik dan melangkahkan kakinya, gadis pelayan itu tertahan oleh panggilan yang tak lain dari Alicia.
"Hei, terima kasih ya." Ucap gadis manusia itu sembari tersenyum.
Tanpa mengatakan apapun, gadis pelayan itu membungkuk sekali lagi, lalu keluar dari ruangan. Meninggalkan ketiganya yang akan kembali larut dalam percakapan mereka.
Di saat pintu telah tertutup sepenuhnya, Münze mengarahkan mata putihnya kepada Alicia. Menatap gadis berdarah biru itu dengan senyuman aneh seakan sedang mengejek.
Tak mengindahkan tatapan dan senyum si peri bermata putih yang baginya sangat menjengkelkan, Alicia berusaha untuk tetap diam meski rasa kesal mulai meluap dalam dirinya.
Selama beberapa saat itu berlangsung dan tatapan yang di arahkan kepadanya menjadi semakin intens, Alicia pun merasa tak tahan lagi. Dia yang sedari tadi fokus pada hidangan yang disajikan untuknya, kini mengarahkan sudut matanya ke arah Münze dengan tajam.
"Apa?" tanya gadis manusia itu ketus dengan dahi yang menekuk ke dalam, raut wajahnya memancarkan kekesalan yang tak tertahankan.
"Hmm... aku hanya berpikir itu adalah sifat yang memang seharusnya dimiliki seorang Tuan Putri," jawaban Münze datang dengan segera, tanpa jeda dengan disertai senyum aneh masih tersungging di wajahnya.
"Hentikan cara bicaramu itu!" bentak Alicia, nadanya seketika meninggi dan penuh amarah. Gadis manusia itu benar-benar tak bisa menahan rasa kesalnya.
Tawa Münze seketika pecah, bagaikan melodi sumbang yang menusuk telinga dua orang lain yang berada di ruangan itu.
"Ahahaha~" tawanya berlanjut dan menggema di ruangan, meninggalkan Alicia dalam kekesalan yang membara.
"Cukup, Münze."
Itu adalah Zirkon. Memberikan teguran pada peri bermata putih yang duduk di sampingnya, dia bersuara rendah namun tegas, "Kita tak boleh membuang waktu."
Mendengar itu, Münze memilih untuk segera menghentikan tawanya.
Hening pun kembali datang.
Di sisi lain, Alicia menggunakan waktu itu untuk berusaha menenangkan dirinya agar tak larut dalam rasa kesal.
Setelah beberapa saat, Zirkon dengan tatapan serius kemudian mulai berbicara.
"Berdasarkan pengamatan Münze, bayang-bayang organisasi itu cepat atau lambat akan menuju ke Marmorpalast," tuturnya bernada serius. "Mengingat posisiku, jujur saja bila rasanya akan mengharapkan sesuatu yang lebih, tapi nyatanya aku hanya mampu memberikan waktu satu minggu, dan dalam skenario terburuk, tiga hari adalah batas maksimal."
Dalam benaknya, Alicia merasa sulit mempercayainya.
Bagaimana mungkin? Seorang yang duduk sebagai putra mahkota hanya dapat menahan sebuah organisasi dalam waktu sesingkat itu?
Namun, dia sekali lagi segera tersadarkan bahwa apa yang dikatakan oleh peri bermata biru safir itu memanglah sebuah kebenaran. Lawan yang mereka hadapi, nyatanya bukanlah lawan sembarangan.
"Dalam rentang waktu yang sedikit itu, Alicia, kau harus melatih dirimu."
Kalimat itu datang dengan penuh penekanan dari mulut Putra Mahkota para peri.
Di dunia dimana dia berada di tempat yang melegalkan sihir, dan dalam posisi pelarian karena dikejar oleh musuh-musuhnya, sedikit banyak Alicia telah menyadari bahwa hal itu akan terjadi. Tekad kuat terpancar dari matanya, namun tak memungkiri, bahwa jauh di lubuk hatinya masih terdapat kekhawatiran yang bercampur aduk.
"Aku sendiri akan mengajari cara menggunakan pedang. Sedangkan untuk sihir, aku serahkan kepada Münze," Peri bangsawan itu melanjutkan.
Menanggapi apa yang dikatakan oleh Zirkon, Alicia membutuhkan sejenak waktu sebelum pada akhirnya mengucap pertanyaan singkat. "Dia?" gadis manusia itu mengajukan pertanyaannya dengan wajah meremehkan, sembari menunjuk Münze yang duduk di samping si High-Elf bermata biru safir.
Dengan senyuman tipis tersembul, Münze pun membalas. "Jangan meremehkanku, Tuan Putri. Aku memang bukanlah seorang jenius, tapi aku akan memastikan kau siap menghadapi bahaya yang akan datang."
Bersama dengan jawaban si peri bermata putih yang tepat akan berakhir, bayangan pertempuran pagi tadi terngiang di benak Alicia. Mengingat akan hal itu, dia tertawa kecil, "Haha... setelah melihat aksi sihirmu pagi ini, bagaimana mungkin aku bisa meragukanmu," jawab gadis berdarah biru itu penuh penekanan.
Percakapan mereka lalu terus mengalir dengan topik yang silih berganti. Bertukar pikiran, dan bertukar cerita tentang kehidupan dan keadaan dari masing-masing dunia asal mereka. Waktu pun berputar, hingga tak terasa seluruh hidangan yang sesekali menjeda percakapan, kini telah habis tak tersisa.
Di luar, nampak matahari bergerak semakin meninggi. Menandakan hari yang akan segera memasuki bagian pertengahannya. Menyambut hal itu, Zirkon dengan kebijaksanaannya, menutup pertemuan dan mempersilahkan Alicia untuk mengistirahatkan diri.
"Untuk sisa hari ini, beristirahatlah dan persiapkan dirimu untuk pelatihan besok," kata Zirkon dengan suara yang menenangkan. "Münze akan tetap di sini karena masih ada beberapa hal yang harus kami pastikan dengan berbicara secara empat mata."
Segera Alicia mengangguk dengan senyum hangat yang tampil dengan indah di wajahnya. Gadis manusia itu kemudian berdiri, berjalan melewati kedua peri lelaki itu untuk menuju pintu keluar ruangan.
Melangkahkan kaki keluar ruangan, gadis manusia itu meninggalkan pesan sebelum pintu sepenuhnya tertutup.
"Kalian juga, jangan lupa untuk beristirahat, ya!"
Bersambung...
Update tiap hari SENIN sama JUMAT!
VOTENYA JANGAN LUPA!
copyright by ishtarvenus_
JANGAN DIJIPLAK!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Akhir Mimpi
FantasyFollow dan Vote ya! Chapter I: -Kota Pelabuhan: Kreide- 15/15 part -END- Chapter II: -Marmorpalast- 09/???part -On going- Alicia yang merupakan penulis novel romansa remaja terkenal, menyembunyikan identitasnya sebagai keturunan penyihir. Di tengah...