Di Akhir Mimpi | Act I-Putih: Prolog

451 56 0
                                    

-Melodi yang Terlupakan-

Namaku?

Ah, ini terdengar klise, tapi... ya aku akan tetap memperkenalkan diriku sebagai manusia dengan tata krama yang baik.

Alicia R. Raffles, itulah namaku. Kalian dapat memanggilku dengan sebutan sesuka hati kalian seperti, Alicia, Al, Cia, dan lain sebagainya. Aku tak masalah dengan apa yang kalian gunakan untuk memanggilku selama itu tak aneh dan menggangguku.

Jika aku merasa terganggu?

Ya, aku akan mengatakannya secara baik-baik kepada kalian. Tentunya secara langsung pada saat itu juga.

Aku adalah seorang gadis manusia yang hidup di Dunia [Biru]. Meski hal yang akan kusebutkan mungkin membuat kalian mempertanyakan kebenarannya, tapi aku dengan yakin mengatakan bahwa aku berasal dari keluarga keturunan penyihir. Namun, karena aturan keluarga yang melarang untuk mengungkapkan kekuatan sihirku, aku memutuskan untuk mengikuti keinginan sekaligus cita-citaku menjadi seorang penulis, karena itu pula, aku tak pernah menganggap serius latihan sihir yang diwajibkan untuk anggota keluarga selama masa sekolahku.

"Kerjakan, lalu lupakan." Begitulah pikirku.

Fakta mengenai aku adalah seorang penyihir hanya diketahui oleh keluarga dan beberapa orang terdekatku. Aku lebih dikenal sebagai seorang penulis ternama dengan ciri khas genre romansa remaja. Genre yang telah mengantarku ke puncak popularitas.

Satu hari setelah perilisan novel terbaruku, "Persegi", pikiranku mulai dihantui suatu ingatan yang tak pernah kuduga. Sebuah ingatan masa kecil saat mendengarkan dongeng serta kisah-kisah legenda dari mulut nenek kembali terngiang. Ingatan itu, ingatan akan dunia fantasi yang penuh keajaiban membangkitkan kerinduan dalam diriku.

"Aku ingin menulis kisah yang luar biasa seperti yang nenek ceritakan padaku," ucapku, menirukan kalimat yang kuucapkan kala itu.

"Mau bagaimana lagi," kataku sembari menghela nafas.

Kini tekadku telah bulat untuk menulis novel fantasi di proyek selanjutnya. Untuk itu, aku segera menghubungi Dian, yang tak lain adalah editorku dan menyampaikan ide yang kumiliki.

Awalnya, Dian menolak dan terus menolak, hingga membuat kami berdebat selama hampir satu jam lamanya. Dia ragu mengingat reputasiku di genre romansa remaja, dan mempertanyakan alasan mengapa aku tiba-tiba memutuskan untuk menulis genre lainnya.

Setelah menjelaskannya berulang kali disertai kegigihan dan sifat keras kepalaku, pada akhirnya aku membuatnya menyerah dan menyetujui ide yang kuajukan kepadanya.

Saat itu juga, aku segera mencari bahan inspirasi untuk kisahku.

Namun, fakta setelah hasil penelusuran yang kulakukan membuat hatiku terasa sedikit sakit. Fakta bahwa di Dunia [Biru], dongeng dan cerita rakyat nyaris punah. Hal ini disebabkan karena sedikitnya jumlah dokumentasi yang terarsipkan dengan baik, yang mana dokumentasi dongeng dan cerita rakyat yang berhasil kutemukan, banyak memiliki bagian rumpang, sehingga kisah-kisah itu menjadi tak jelas alur ceritanya.

Merebahkan punggungku di atas kasur, sejenak aku melepaskan mataku dari layar laptop. Menatap langit-langit kamar, aku memikirkan mengapa hal itu dapat terjadi.

Setelah beberapa saat merenung dan bertualang dalam pikiranku, aku akhirnya menyadari sesuatu. "Di Dunia [Biru], genre romansa menguasai segalanya. Novel, serial televisi, film, bahkan rumor tentang percintaan sangatlah digemari di sini, menggerus dongeng dan fantasi. Pergeseran budaya tanpa memelihara tradisi lama telah menyebabkan hal ini terjadi, dan ironisnya, aku pun turut berperan dalam hilangnya kisah-kisah fantastis ini," sesalku.

Kesadaran itu membuatku semakin memperkuat tekad untuk menulis kisah fantasiku.

Permasalahan akan kurangnya sumber inspirasi di Dunia [Biru], mendorongku untuk menjelajahi Dunia Warna yang lain.

Kemudian, telah kuputuskan bahwa tujuan pertamaku adalah sebuah negeri dengan sejuta kilau yang berada di timur laut Dunia [Biru], Dunia [Putih], tempat dimana peradaban High-Elf berkembang selama ribuan abad.

Hari ini, pada tanggal 28 Februari tahun XXXX, setelah beberapa hari menaiki kapal udara dari ibukota Dunia [Biru], Brickvia, aku telah tiba di pelabuhan kapal Kota Radjasaat. Berdasarkan informasi yang kudapat, perjalanan dari Pelabuhan Radjasaat menuju pelabuhan terdekat di Dunia [Putih] akan memakan waktu sekitar satu sampai dua minggu lamanya.

"Baiklah, sudah cukupwaktu menulisnya," ucapku. Menutup buku dan menyimpannya ke dalam saku outeryang kukenakan. Aku menatap kapal besar dihadapanku. Kemudian satu langkah majutelah kuambil, dan... begitulah petualanganku akan dimulai.


Bersambung...

Update tiap hari SENIN sama JUMAT!

VOTENYA JANGAN LUPA!

copyright by ishtarvenus_

JANGAN DIJIPLAK!!!


Di Akhir MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang