26. Saya Pamit

24 8 2
                                    

Saat itu, sekitar jam 9 malam, dihari yang sama setelah acara kelulusan. Alvio duduk di kursi belajar yang terletak di kamarnya, memikirkan kejadian yang terjadi tadi siang. Ia sangat menyesal karena telah membuat Nata marah, juga bersedih karenanya.

Sudah beberapa pesan permintaan maaf ia kirimkan, namun tidak satu pun dibalas oleh Nata. Panggilan Telephone juga selalu diabaikan perempuan itu. Vio kembali melihat ponselnya, namun masih tetap sama, belum ada balasan dari Nata.

Beberapa menit setelah itu, ada yang mengetuk pintu kamarnya. Dengan langkah yang lunglai, ia membuka pintu kamarnya. Di sana, sudah ada Juandes, Papahnya. Datang membawa segelas air putih, juga beberapa tablet obat sekali minum yang sudah dipisahkan dalam plastik zip.

"Tadi siang kamu tidak minum obat?" tanya Juan pada anak satu-satunya itu, sembari meletakan segelas air, juga obat di atas meja. Kemudian duduk di samping anaknya.

"Hemh"

"Why?"

Bukannya menjawab pertanyaan Juan, Alvio justru malah membuat pernyataan.

"Tadi siang saya menghajar Raka"

"Yang pernah merundung kamu?"

"Ya"

"I know"

"They tell you?"

"Of course"

Meskipun Juan tidak datang di acara kelulusan, namun ia tahu semuanya. Termasuk pertengkarannya dengan Raka, juga Nata. Tentu saja semua informasi itu ia dapat dari orang suruhannya. Orang yang beberapa bulan ini selalu mengikuti Vio kemanapun ia pergi. Kecuali saat melihat senja bersama Nata. Itupun karena ia sudah berusaha mati-matian bernegosiasi dengan Papahnya. Meskipun ujung-ujungnya kena omel karena keadaannya kembali drop setelah malam itu.

"Kamu sudah beritahu gadis itu?"

"About?"

"Keberangkatan kamu ke china. Papah sudah atur penerbangan kita."

"Saya tidak ingin pergi"

"Why? Kamu sudah setuju sebelumnya. Kenapa tiba-tiba tidak mau? Cause her? Dia melarang kamu untuk pergi?"

"No. Dia tidak tahu apa-apa"

"So, why?"

"saya takut tidak bisa kembali. Saya takut pengobatan saya tidak berhasil. Saya takut dia menunggu, kemudian kecewa. Saya tidak ingin dia sedih Pah"

"Vio! Kamu pasti kembali, pengobatan kamu akan berhasil."

"You lie!! Saya bukan anak kecil yang gampang dibohongi. Saya tahu semuanya. Saya tahu Dokter Abraham mengatakan kalau kondisi saya semakin hari semakin memburuk. Satu-satunya cara agar saya bisa tetap hidup hanya dengan transplantasi. Dan pengobatan hanya akan memperpanjang sedikit waktu saya. Memperpanjang sakit ini Pah..." Vio menunjuk pada dadanya. Tetes air mata mulai turun dari matanya.

Juan yang melihat itu tak kuasa menahan tangis. Dipeluknya tubuh ringkih anaknya itu. Ini adalah kali pertama ia menangis setelah beberapa tahun lamanya. Lebih tepatnya, saat istrinya tiada. Air matanya seakan habis untuk perempuan yang ia cintai.

"Maafkan Papah Vio..."

"Papah melakukan semua ini karena Papah tidak ingin kehilangan kamu. Hanya tinggal kamu yang Papah punya. Papa sangat menyayangi kamu"

Yang dikatakan Juan memang benar. Meskipun sikapnya berubah selepas kepergian istrinya, dan sempat menyalahkan Vio atas hal itu, namun rasa sayangnya pada Vio tidak pernah berubah sedikitpun. Ia selalu melakukan yang terbaik untuk Vio. Pergi kesana kemari untuk bisa mendapat donor yang cocok, belum lagi harus mengurus perusahan. Makanya, saat Dokter bilang kondisi Vio semakin memburuk, Juan segera menyewa orang untuk mengikuti Vio kemanapun ia pergi, menyuruh orang untuk antar jemput, dan tidak membiarkan Vio menyetir sendiri. Karena kondisi Vio terlalu lemah. Ia tidak ingin sesuatu terjadi pada anaknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NATAVIO {SEGERA TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang