4|| Mengakhiri hidup tak mengakhiri masalah

244 60 15
                                    

4|| Mengakhiri Hidup tak mengakhiri masalah
______________________________________________

Semua orang punya masalah, namun tak semua orang dapat menceritakan masalahnya. Semua orang punya masalah, namun tak semua orang sanggup menghadapinya. Apapun masalahnya, mengakhiri hidup bukanlah solusinya.
.
.
.
.
.
.

Waktu itu aku sempat bilang kalau keluargaku tak harmonis. Aku kadang sempat berpikir, apakah hanya keluargaku saja yang seperti ini? kenapa harus keluargaku, dan kenapa aku dilahirkan sebagai anak dari mereka.

Namun, aku masih tetap bersyukur karena sehancur-hancurnya keluargaku, aku masih merasa bahwa kedua orangtuaku tetap menyayangiku. Mereka tetap memerhatikanku, dan mereka juga tak pernah mengabaikanku. Meski terkadang aku merasa sangat hancur ketika mereka sudah mulai bertengkar.

Sampai sekarang aku masih belum tahu sebenarnya apa yang dipertengkarkan oleh mereka. Mereka tak mungkin bercerita, dan aku pun sudah malas jika harus bertanya. Tapi ya sudahlah, selagi mereka masih tetap bersama, maka aku akan tetap mencoba untuk baik-baik saja.

Di hari ini, entah kenapa aku memutuskan untuk pergi ke sekolah lebih awal dari biasanya. Sebelum-sebelumnya aku tiba di sekolah sekitar pukul 06:30, namun hari ini aku datang tepat pada pukul 06:00. Suasana sekolah masih sangat sepi. Yang kulihat kali ini hanya ada penjaga sekolah, petugas kebersihan, dan......

Alvio

Untuk apa dia datang sepagi ini ke sekolah? gumamku dalam hati sedikit heran.

Aku sempat berpikir, Apa mungkin ini alasan kenapa selama 3 bulan terakhir aku tak melihatnya. Selama ini dia bukan menghilang karna tak masuk sekolah, tapi mungkin karena ia datang sangat pagi, makanya aku tak melihatnya. Tapi kalau pun ia, bukankah setidaknya aku masih bisa melihatnya saat jam istirahat dan pulang sekolah?

Pertanyaan-pertanyaan tentangnya kini kembali muncul dalam pikiranku. Namun pertanyaan-pertanyaan itu seketika menghilang dengan munculnya rasa penasaranku. Aku penasaran kenapa Vio pergi ke rooftop sekolah. Dan tanpa ragu, kakiku pun mulai melangkah mengikutinya.

Satu-persatu anak tangga ku taiki. aku berusaha sebisa mungkin untuk tak bersuara, karena aku takut nanti Vio akan sadar kalau aku tengah mengikutinya. Sampai pada akhirnya, aku pun sampai di rooftop sekolah.

Setiba di sana, aku tidak langsung membuka pintu, dan masuk kesana. Aku menimbang-nimbang, dan mencari jawaban yang pas jika saja nanti Vio bertanya tentang kehadiranku yang begitu tiba-tiba. Namun, saat sudah menemukan jawaban, dan membuka pintu, aku justru dikagetkan dengan pemandangan yang mungkin tak akan pernah kulupakan.

Kini aku melihat Vio tengah memanjat ke atas tembok pembatas atap sekolah. Dan kini, lelaki itu sedang berdiri di atasnya, dan siap meloncat untuk menuntaskan aksi bunuh diri.

Tanpa berpikir panjang, dengan tubuh yang bergetar aku langsung menarik tubuhnya. Dan untungnya, aku berhasil. Kini kami berdua terjatuh ke lantai. Posisi tangan sebelah kananku tertimpa oleh tubuh Vio. Karena pergerakan yang terlalu tiba-tiba, lenganku cukup sakit karenanya.

"Kenapa kamu selamatkan saya? harusnya tadi saya sudah mati. Saya sudah muak dengan hidup saya" ucap Vio yang kesal sembari bangun dan kini ia mulai terduduk di salah satu sudut yang ada di sana. Menjauh dariku

"gila ya kamu?! Aku emang gak tahu kamu itu punya masalah apa, tapi mengakhiri hidup kamu itu bukan solusinya. Semua orang juga punya masalah, begitu juga dengan aku," timpaku memarahinya

"Tapi masalah yang saya hadapi ini pasti berbeda dengan kamu. Masalah saya sangat berat, saya sudah hancur, saya sudah tak punya rumah yang hangat untuk pulang!" kini Vio menjawab dengan nada yang gemetar seperti sedang menahan tangis.

Aku perlahan menghampirinya yang sedang terduduk menunduk sembari kedua tangannya ia lipat di antara kedua bawah lututnya. Entah apa yang kupikirkan, namun saat itu aku langsung memeluknya.  dan untungnya Vio tak menolak, dan justru kini ia mulai menangis. Ini adalah kali pertama dalam hidupku, ada seorang pria yang menangis di pelukanku. dan ini juga kali pertamaku melihat seorang 'Alvio' yang berwajah datar menangis sesenggukan.

Aku berusaha sebisa mungkin untuk menenangkannya. Dan setelah ia sudah kembali tenang, aku mulai melepaskan pelukanku. Ku tatap lekat matanya, aku terbawa suasana sampai tak sadar, rahasia yang selama ini kusimpan malah ku ceritakan padanya.

"Aku juga sama kayak kamu, aku juga udah gak punya rumah yang hangat. Setiap kali kedua orangtuaku pulang ke rumah, mereka pasti bertengakar. Aku memang gak pernah kekurangan soal materi, tapi soal kasih sayang dari kedua orang tua ku, sangat sedikit yang kurasakan. Tapi aku berusaha untuk terus terlihat bahagia."

"Kalau memang mengakhiri hidup bisa menyelesaikan masalah, pasti sudah kulakukan sejak dulu. Kamu harus tetap semangat dan juga bersyukur, karena mau bagaimana pun, kedua orang tua kamu pasti sangat menyayangi kamu," ucapku berusaha untuk meyakinkannya.

Saat itu Vio hanya terdiam merenung tak bersuara. Entah apa yang kini sedang ada dalam pikirannya. Tapi yang jelas, aku tak berani meninggalkannya di sini, apalagi sendiri.

Setelah itu, tidak ada lagi yang kukatakan padanya, selain memberinya ruang untuk menenangkan diri. Cukup lama, sebelum akhirnya menjadi sedikit lebih tenang. Dan saat itu juga, aku kembali menghampirinya.

"Kamu boleh sedih. Tapi jangan terlalu berlarut dalam kesedihan. Gak baik." helaan nafas kasar keluar begitu saja.

"Ingat, kamu gak sendiri." lanjut ku lagi.

"terimakasih," ucap Vio sembari menatap ke arahku

Aku yang mendengar pernyataan Vio hanya bisa tersenyum. Aku lega karena kini Vio sudah terlihat lebih tenang. Aku mengajak Vio turun ke bawah, karena suasana sekolah sudah mulai ramai. Dan sepertinya, kelas akan segera mulai.

"Aku janji gak akan kasi tau siapapun, kamu gak usah khawatir. Inget ya, jangan lakuin hal konyol kayak gitu lagi " ucapku sambil berjalan menuruni tangga.

"Iya, saya janji. Sekali lagi terimakasih"

Meskipun Vio sudah berjanji, aku masih tetap khawatir. Aku takut kalau nanti sewaktu-waktu ia nekat melakukan hal itu lagi. Kini aku dan Vio sudah berada di area kelas 12. Aku tak langsung masuk ke kelas. Aku harus memastikan Vio benar-benar masuk ke dalam kelasnya.

Kini Vio berjalan perlahan menuju kelasnya. Sampai sekarang aku masih tak tahu dimana kelas Vio, sampai pada akhirnya ia berhenti di salah-satu kelas yang ternyata hanya selang satu kelas dari kelasku. Yaitu kelas 12 IPA 3 (Kelas ku IPA 1). Aku senang karena kelas kami lumayan dekat. Setidaknya aku masih bisa mengawasinya dari jarak yang tidak terlalu jauh.

Entah kenapa saat Vio sudah masuk ke dalam kelasnya, aku merasa sangat lega. Istirahat nanti aku berniat mengajak Vio makan bersamaku dan Putri di kantin. Tapi bukankah aneh jika seorang perempuan menghampiri pria ke kelasnya untuk mengajak pria itu makan tanpa sebuah hubungan, bahkan belum ada kata 'Pertemanan'?

Bingung? Ya! Jujur aku sangat bingung. Disisi lain aku hanya ingin membuat ia merasa tak kesepian, tapi disi lainnya lagi, belum ada kata pertemanan diantara kita. ya meskipun untuk membantu seseorang tidak harus berteman dulu. Tapi masalahnya, jangankan berteman, berkenalan satu sama lain saja belum pernah.

Aaaargh sudahlah kenapa juga aku harus pusing. Dia udah besar. Kalau dia lapar, nanti juga pasti makan.

........

Teman-teman apa kabar? Baik baik aja kan? Semoga selalu baik ya. Cuma mau bilang, kalau ada masalah jangan kaya Alvio ya!

Happy reading
Jangan lupa follow, vote, dan komen ya💮
Ditunggu saran dan kritiknya juga

NATAVIO {SEGERA TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang