21. Alasan

618 62 19
                                    

Marc mengerjap kala sinar matahari menusuk masuk menembus kelopak mata indahnya. Menggeliat tak nyaman sembari menggosok lembut matanya dengan punggung tangan, Marc terbangun.

"Papa." Ucapnya saat sosok pertama yang ia lihat pagi itu tengah menaruh sarapan dari pihak rumah sakit di atas nakas.

"Selamat pagi, Marc."

"Pagi, pa. Papa gak pulang?" Tanya Marc sembari menghampiri sang papa.

Nanon hanya menggeleng menjawab pertanyaan sang anak. Kini ayah dari satu anak itu beralih mengelus surai hitam milik Louis yang masih terlelap dalam tidurnya.

"Louis, ayo sarapan." Ujarnya dengan lembut.

Louis terusik, ia mulai membuka kedua matanya dan menatap mata teduh milik Nanon dan Marc.

"Pagi." Ujarnya.

"Pagi, Louis. Ayo sarapan dulu biar saya suapi." 

Marc mengernyit, mengapa sang papa tiba tiba begitu dekat dengan Louis.

Louis berusaha mengangkat tubuhnya namun Marc akhirnya membantu agar kepala Louis bisa bersandar dengan nyaman.

"Biar aku aja, om." Ucap Louis berusaha meraih mangkuk bubur di tangan Nanon.

"Gak usah, biar saya aja. Lagi pula kamu masih sedikit lemas. Simpan aja tenaga kamu buat pulang nanti."

"Loh Louis udah boleh pulang?" Si tengil Marc Pahun bertanya.

"Kata dokter kalau sampai sore hari ini Louis tidak ada keluhan apapun dia bisa pulang." 

" Ayo makan dulu."

Louis menurut, ia mulai membuka mulutnya menyuap bubur hangat yang Nanon suguhkan. Dengan telaten dan penuh kasih sayang Nanon menyuapi Louis hingga suapan terakhirnya selesai.

"Nanti sekitar 10 menit lagi dokter bakal kesini ngasih kamu obat dan cek kondisi kamu. Sekarang istirahat lagi, biar bisa cepet pulang." Ucap Nanon.

"Lo punya tempat tinggal di sekitar sini, Louis?" Tanya Marc.

"Enggak, gue gak ada tempat tinggal disini." Louis menjawab.

"Kalau gitu lebih baik lo tinggal di rumah gue sampai lo bisa balik ke Indonesia. Boleh kan, pa?" 

Nanon menatap bingung, bagaimana mungkin ia bisa tinggal satu atap bersama alasan yang membuat Marc tidak memiliki kasih sayang seorang ayah? Namun jika ia mengabaikan Louis itu sama saja Nanon menjadi orang tua yang buruk di mata Marc.

"Iya. Kamu boleh tinggal bersama kami. Lagi pula Om Bai lagi ada kesibukan di luar negeri sampai beberapa bulan kedepan."  Jawab Nanon.

"Loh om Bai kok gak bilang sama Marc?"

"Om Bai berangkat tadi malam, Marc. Dia buru buru. Ngerti ya?" 

Marc hanya mengangguk namun wajahnya menunjukan kesedihan. Partner in crime nya pergi tanpa mengabari dirinya.

"Awas aja kalau om bai pulang. Aku gak mau ngomong sama dia!"

***********

Terpaan angin sore menepis rambut halus yang menutupi wajah tampan putra bungsu Tay Tawan Vihokratana. Matanya menatap lurus ke arah mentari yang masih bersinar tinggi di langit.

"Andai kamu tau aku masih disini dengan luka yang sama, Ohm."

"Semua masih sama tapi kenapa luka itu harus kamu tambah lagi? Sejahat apa aku dulu sampai kau tega menghancurkan aku sejauh ini?"

"Seharusnya kamu melihat tumbuh kembang putra kita tapi putramu sendiri harus berdiri dengan tangan lelaki lain."

Nanon tertawa lirih, "Marc hanya akan mengenal aku sebagai papanya dan dia hanya akan mengenal marga Vihokratana dalam dirinya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang