Melisa, perempuan itu berdiri tidak tenang di depan ruangan UGD, harap-harap cemas menunggu ruangan itu terbuka, agar mendapati kepastian tentang keadaan seseorang di dalam sana yang saat ini masih abu-abu.
Sean, Melisa harap tidak terjadi apa-apa pada laki-laki itu.
Melisa belum sempat berpikir mengenai hal apapun untuk beberapa saat selain mengkhawatirkan Sean dan menangis, sehingga ia lupa untuk mengabari orang kantor mengenai apa yang terjadi, lagipula Melisa takut orang-orang kantor akan curiga mengapa ia dan Sean terlibat kecelakaan di mobil yang sama, padahal mereka tidak datang ke kantor pagi ini.
Melisa takut sekali tadi, Melihat darah yang begitu banyak serta Sean yang tidak sadarkan diri, ia seperti kesulitan bernafas karena hal itu, air matanya tak henti-hentinya berjatuhan.
Bahkan darah itu masih ada di tangannya sekarang.
Tiba-tiba saja Melisa mengingat Micelia, bukankah seharusnya Micelia tau keadaan Sean?
Melisa mengeluarkan ponselnya, mencari nama Celia di kontaknya, kemudian berjalan menjauh untuk mengabari perempuan itu mengenai apa yang terjadi pada Sean, yang jelas Celia harus tau, jika ada pertanyaan nanti dari perempuan itu akan Melisa pikiran jawabannya.
Benar saja, Celia sangat panik saat Melisa mengatakan padanya apa yang terjadi, dengan nada panik tadi Melisa bilang ia akan datang setelah Melisa mengirimkan alamat rumah sakit ini pada perempuan itu.
Melisa berbalik, berniat kembali, menunggu Sean di depan ruangan UGD, tapi tiba-tiba langkah Melisa mendadak berhenti, bersamaan dengan dentuman hebat yang berasal dari dadanya.
Tubuh Melisa membeku, melihat tubuh tertutup kain putih diatas brankar yang di dorong oleh beberapa orang perawat.
Satu fakta yang menampar Melisa adalah mereka membawa brankar itu dari arah ruang UGD.
Melisa menggeleng sesaat, sebelum akhirnya berlari mendekat, sedang air matanya meronta turun tanpa bisa ia cegah. Melisa terdiam berdiri di samping brankar itu dengan dentuman keras yang masih bersarang di dada, serta air mata yang membasahi mimpi, ia ingin menolak fakta, tapi untuk membuka kain putih yang menutupi itupun rasanya tidak mampu.
"Pak Sean nggak seharusnya pergi seperti ini" tangisnya, tangannya terkepal memegang ujung kain putih yang menutupi tubuh itu "pak Sean nggak boleh pergi seenaknya, pak Sean harus bertanggungjawab."
"Bagaimana ini pak" pecah, Melisa merasa tubuhnya tak lagi berdaya, ia seperti kehilangan tempat untuk berpijak, tubuhnya meluruh ke lantai, berlutut.
Melisa harus bagaimana?
Rasanya sesak sekali membayangkan Sean benar-benar pergi meninggalkannya, ketika belum satupun kebenaran yang berhasil Melisa sampaikan pada laki-laki itu.
Melisa tertunduk, ia terisak, rasanya ini masih seperti mimpi.
"Maaf mbak, jenazahnya akan kami bawa ke ruang jenazah" ujar salah seorang perawat.
Melisa tidak menyahuti, ia masih terduduk menangis, tak bisa melakukan apa-apa ketika brankar itu kembali di dorong, membawa jenazah itu pergi.
Jika ini mimpi, Melisa berharap dirinya akan segera terbangun.
"Melisa!"
Beberapa saat, Melisa seperti tidak bisa berpikir, isi kepalanya menjadi blank, ia rasa dirinya sudah berhalusinasi mendengar suara itu sekarang.
"Melisa!"
Tidak, ini sangat nyata, Melisa tidak mungkin berhalusinasi ketika suara itu terasa sangat nyata menyapa indra pendengarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain (Hunlis Short Story')
RomantizmShort story Sehun dan Lisa Pokoknya book ini banyak hujannya, alias menye-menye, jadi kalau nggak suka menjauh ya!!