Kontrak Kak Aira dengan perusahaan agensi abal itu resmi berhenti dan kini semua kerja keras Kak Aira mulai terlihat satu persatu. Dia sudah mampu membeli pakaian baru dan unexpectedly, Kak Aira memilih pakaian yang lebih tertutup. Mbak Anna sekarang masih sering datang ke kosan untuk membantu Kak Aira yang masih awam tentang dunia sosial media.
Semuanya berakhir bahagia, kecuali satu.
"Ini seriusan nggak ada yang mau ngelakuin pembayaran opsional?" tanya Mbak Mega, menyandarkan kepalanya di sofa dengan lemas.
"Kami sih enggak," ucap gue.
Gue, Lily dan Shannon sedang print panduan untuk ospek kami yang akan dilakukan seminggu lagi.
Benar, waktu sudah berjalan tiga minggu sejak pertama kali kami ngekos di kosan ini. Lily yang awalnya terus merengek ingin pindah, juga sudah terbiasa dan tidak lagi mempermasalahkannya. Shannon juga tampaknya mulai terbiasa dengan hidup merakyat, karena dia sudah doyan dengan jajanan murah seperti bakso dan cilok. Awalnya gue takut lambung mahalnya nggak bakal sanggup mencerna makanan murahan, tapi untungnya semuanya baik-baik saja.
Saat ini hanya ada gue, Lily, Shannon, Kak Hani, Kak Lizza dan Mbak Mega di kosan. Kak Aira sibuk melakukan pemotretan di studio kecil Kak Anna. Kak Hani masih seperti biasa, hanya mengurung diri di dalam kamarnya untuk menyelesaikan komik. Dedikasinya dalam menyelesaikan komiknya masih menyala-nyala. Hari ini Kak Lizza kebagian jadwal libur dan biasanya dia gunain kesempatan itu buat tidur seharian di kamarnya.
Kami bertiga agak bingung harus menghadapi Mbak Mega, tapi kami sudah tidak terlalu takut, mengingat Mbak Mega nggak bakalan berbuat apa-apa jika memang kami tidak menginginkan pembayaran opsional.
"Di saat-saat seperti ini, aku sangat merindukan Irama," curhat Mbak Mega.
"Hanya kangen Kak Irama? Nggak kangen Kak Ani dan yang lainnya?" tanya Shannon dengan polosnya.
"Ani siapa?" tanya Mbak Mega dengan kebingungan.
Gue langsung memotong pembicaraan agar pembicaraan mengenai Ani tidak lagi berkepanjangan. "Malam nanti masak apa, Mbak?"
"Telur orak-arik sama sup sayur oke nggak?" tanya Mbak Mega.
"Boleh request ayam bakar yang kemarin? Itu enak banget, Mbak!" puji Lily.
Kapan hari, Kak Aira dengan baik hatinya pengen traktir kami makan keluar, tapi Mbak Mega menawarkan untuk memasak ayam bakar yang konon katanya memang masakan legendarisnya. Ia tentu mengharapkan upah pembayaran opsional dari Kak Aira, tapi sayangnya Kak Aira tidak menyadari hal itu dan memilih untuk melakukan pembayaran biasa. Mbak Mega kehilangan kesempatan dan harapannya.
"Boleeeeh, tapi—" Pandangan mata Mbak Mega langsung turun ke dada Lily yang sepertinya belahan dadanya bisa terlihat dari atas, mengingat Lily saat ini duduk di lantai menunggu Shannon selesai menggunakan printer. "Aku juga boleh request nggak?"
Lily yang menyadari itu, langsung menutup kedua dadanya. "Nggak jadi!" ucap Lily cemberut. "Telur orak-arik sama sup sayur udah oke."
Lihat? Lily sudah terbiasa digodain seperti itu oleh Mbak Mega. Awal-awal aja dia trauma tak ketolongan, sekarang tampaknya dia sudah bisa menerima kenyataan, meskipun dia masih konsisten menolak pembayaran opsional atau request istimewa. Gue emang turut andil dalam mengatasi trauma berlebihannya itu, dengan menakut-nakutinya kalau benci dan cinta beda tipis. Takutnya, malah Lily yang bakalan ketagihan suatu hari nanti (walau dia membantah keras).
"Ih! Padahal aku nggak request yang aneh-aneh kok dari Lily. Cuma mau megang aja," rengek Mbak Mega.
"Ga aneh-aneh apanya?!" omel Lily.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOSAN MEGA [GXG]
Random[WARNING!] Cerita ini mengandung Girl x Girl / Lesbian / Yuri dan 18+! Bagi yang belum cukup umur, jangan baca! *** Aruna siap menghadapi masa-masanya menjadi mahasiswi baru di usianya yang ke 17. Bersama dua sahabatnya-Lily dan Shannon-dia pun men...