001.

153 14 1
                                    

Januari, 2024

Nit! Nit! 

Suara itu terdengar lagi. Kali ini aku membuka kedua mata dan mendapati diriku berada di dalam sebuah ruangan dengan dominasi warna putih dan aroma antiseptik khas rumah sakit seperti apa yang kualami sebelumnya. Namun kali ini, aku bisa merasakan angin sepoi khas pendingin ruangan.

Aku perlahan menoleh ke sisi kiri dan menghela nafas lega ketika kulihat sinar matahari yang terhalau gorden jendela. Kali ini, Aku tak lagi berada di ruangan tanpa batas. Rupanya aku berhasil keluar dari sana. 

Aku memejamkan kedua mataku sejenak lalu menarik nafas dan menghela nafas panjang–sebuah selebrasi sederhana setelah berhasil berpisah dengan maut. Selang terpasang di hidung dan alat penyangga kehidupan terpasang di beberapa titik di tubuhku. Namun ini terasa jauh lebih baik dibandingkan terjebak dalam ruang tanpa batas itu.

Aku masih ingin hidup. Entah untuk apa. Namun sesuatu dalam diri ini mendorongku untuk tetap bertahan hidup meski tak tahu apa yang tengah kuperjuangkan.

"Arumi?" 

Suara itu? Salah satu suara berat yang kukenali. Aku menggerakkan bola mataku ke sisi kanan dan kusadari jika kini aku tak sendiri di sana–seorang pria duduk di samping bangsal rawat dan menatapku lekat seraya mengharapkan respon dariku. Aku mengingatnya sebagai pria yang bersikeras memanggilkan tim medis ketika melihat tanda kehidupan pada diriku.

Mungkin bisa kukatakan jika ternyata pria ini mendengar 'jeritan' permintaan tolong yang tak bisa kusampaikan. Aku berhutang nyawa padanya. Dengan sisa kekuatanku, Aku berusaha mengingat rupanya; Rambut hitam sekelam langit malam, kulit kuning langsat, namun yang menjadi ciri khas darinya adalah sepasang mata layaknya rubah yang terlindungi di balik kacamata minus berframe hitam.

Aku tak tahu bagaimana harus meresponnya karena pergerakanku yang terbatas. Tapi aku cukup mampu mengenali ekspresi lega di wajahnya ketika Ia berhasil mendeteksi pergerakan bola mataku sebagai respon atas suaranya. 

"You made it," gumamnya tersenyum tipis. 

Aku tak mengerti apa yang Ia ucapkan. Aku tak tahu dia siapa...Arumi itu namaku? Apa ini harga yang harus kubayar demi lolos dari kematian? Tuhan membiarkanku hidup namun mengambil semua memoriku.

Aku tak tahu siapa diriku.

— 

Pagi itu, Aku duduk di bangsal tempat tidur, memperhatikan suasana di luar rumah sakit dari jendela tempatku dirawat. Sudah hampir 10 hari berlalu semenjak kejadian itu. Perkembanganku pulih dengan cukup cepat dari hari ke hari.

Dokter memberitahuku bahwa penyebab utama aku dirawat adalah karena kecelakaan berat yang menimpaku. Mobil yang kukendarai lepas kendali dan menabrak pembatas jalan tol. Kepalaku mengalami benturan berat yang berujung pada amnesia yang kuderita. Dokter bahkan menegaskan bahwa aku sudah menghabiskan seluruh keberuntunganku demi bisa selamat dari kecelakaan maut yang cukup mengerikan itu. 

"Arumi~" 

Aku menoleh dan tersenyum ketika melihat seorang wanita setengah baya tergopoh-gopoh mendatangiku. Dia ibuku, begitu yang dikatakannya ketika aku sudah bisa berinteraksi dengan orang-orang. Setelah kuamati lagi, kami memiliki wajah yang cukup mirip. 

Melalui Ibu, Aku mendapat banyak info tentang diriku sendiri. Ibu tinggal bersama Nenek sementara Ayahku sudah meninggal. Ibuku memiliki usaha rumah makan yang seiring waktu membaik dan cukup untuk menghidupi kami semua dan membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Nenek tak bisa datang mengunjungiku karena usianya yang sudah tua dan mudah lelah. Namun terakhir kali aku menghubunginya melalui ponsel Ibuku Kudengar Ia menangis bahagia ketika mengetahui bahwa aku berhasil lolos dari maut. 

Marriage ReversalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang