Empat

1.2K 35 0
                                    

Saat sore hari ketika aku menjemput Jessi di sekolahnya, aku melihat dia keluar dari sekolah dengan langkah yang sangat cepat menuju ke mobilku. Dia melangkah tergopoh ketika melihat mobilku lalu dengan cepat dia buka pintu dan meloncat masuk. Jessi menatap ke arahku dengan matanya yang menyipit seperti bulan sabit. Aku tahu dia sedang tersenyum walaupun sebagian wajahnya tertutup oleh masker.

"Ayo cepet pulang," katanya lalu melempar tas sekolah yang dia bawa ke kursi belakang.

"Cepet-cepet banget mau kemana?" tanyaku penasaran.

"Lanjutin yang tadi pagi."

Ucapan itu membuat aku speechless dan bingung harus menjawab apa. Sepertinya aku salah melakukan hal itu tadi pagi, tapi kalau aku tak melakukannya, Jessi pasti akan terlambat.. Harusnya aku memarahi dia bukannya melakukan itu, tetapi aku tak pernah tega untuk melakukannya. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?

"Ayo jalan," cakap Jessi yang membuyarkan lamunanku.

"Iya." Setelah itu aku mulai melajukan mobil menuju ke rumah.

Sesampainya di rumah, Jessi langsung turun dan berlari masuk. Aku semakin deg-deg an melihat reaksinya yang sangat bersemangat itu. Apa dia tak sadar kalau aku ini kakaknya? Apa dia tak ingat kalau aku ini saudara sekandungnya? Apa aku salah melakukan itu kepada adikku? Apa aku salah telah memancingnya?

"Ayo cepetan!" teriak Jessi.

Jessi sengaja lewat pintu samping, karena, kalau lewat pintu depan, dia harus melewati warnet terlebih dahulu yang masih buka, ditambah sekarang adalah jam-jam warnetku sedang ramai. Jessi menghentikan langkahnya lalu berbalik menatapku dengan tangannya terus melambai mengisyaratkan aku untuk menyusulnya. Matanya terlihat sangat antusias yang membuat aku semakin merasa bersalah.

Kini aku sudah berada di dalam kamar Jessi dan Jessi sedang melepas seragam sekolahnya tepat di depanku. Dia melepaskan kancing seragamnya satu persatu dengan perlahan dan merasa tanpa beban di hadapanku. Wajahnya terus tersenyum hingga semua kancing seragam itu terlepas. Setelah itu dia menyibakkan seragamnya lebar-lebar. Jessi lantas melempar seragamnya ke keranjang pakaian kotor tetapi lemparannya tidak tepat sasaran sehingga seragam itu jadi tergeletak di lantai.

"Jes, ambil! Masukin yang bener," tergur ku.

"Nanti aja. Malas," jawabnya cuek.

Setelah itu aku mengambil seragam kotor Jessi dan memasukkannya ke dalam keranjang pakaian. Saat aku berbalik, Jessi sudah berganti dengan kaos oversized. Saat aku melirik ke bawah, dia terlihat seperti tidak memakai celana. Pikirku, mungkin dia memakai celana pendek ketat yang biasa dikenakan untuk dalaman. Tapi saat aku perhatikan lagi, ternyata di bawah kaki Jessi sudah tergeletak rok sekolah ditambah sebuah celana pendek dengan celana dalamnya. Aku sedikit terkejut melihat pemandangan itu.

"Heh! Kenapa itu dilepas?" tanyaku sambil menunjuk celana itu.

"Katanya mau ngajarin soal yang tadi pagi?"

"Kata siapa?"

Aku lantas membalikkan badan dan berniat keluar dari kamarnya sebelum semua ini terjadi lebih jauh. Saat aku meraih gagang pintu, tangan kiriku ditahan oleh Jessi. Aku menoleh ke arahnya dan raut mukanya terlihat sangat memohon kepadaku. Matanya membulat dengan bibir bawahnya maju seperti dia akan menangis kalau aku keluar dari kamarnya.

"Nggak! Kamu baru umur berapa sih, Jess?" protesku sambil menepis tangannya.

"Kaaakkk... please..."

Lagi, dia memasang wajah itu yang membuatku sedikit goyah untuk menolaknya. Apa Jessi belum sadar kalau aku ini Kakaknya?

Pikk-usiskoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang