8| Ra, be patient okay

547 88 11
                                    

Bibir sewarna merah alami itu digigiti geram oleh sang pemilik.

Ruka sudah duduk di kursi belajarnya sambil mengamati dua bocah gadis yang bertengger santai di atas tempat tidurnya.

Salah satu dari mereka, yang merasa terus ditatap horor oleh seseorang pun mengangkat wajah, meletakkan ponselnya kemudian berkata. "Kakak ngapain ngeliatin kita mulu sih?! Sana mandi! Bentar lagi waktunya makan malam. Adek nggak mau ya nungguin mandi Kakak yang lama banget itu."

"Adek." Ruka bangkit, berjalan sampai ke pinggir kasur. "Kakak mau ngomong serius sama kamu." Dia menarik lengan adik satu-satunya itu sampai terduduk. "Berdua," ujar Ruka, melirik ke arah gadis lain di samping Rora. "Maaf, Yon. Aku mau bicara berdua dulu sama Rora."

"Eh, i-iya." Gadis itu yang tak lain adalah Ayon, manggut-manggut. "Sure, of course. Take your time, Kak. Gue... eh, Ra, gue ke bawah aja kali ya bantuin Tante Hana sama Kak Jen nyiapin makan malam."

"Oke, Kak Ayon. Nanti Rora nyusul ke bawah." Rora tersenyum, mengamati kepergian Ayon yang mendadak canggung. Kemudian dia menatap Ruka. Pandangan kakaknya itu sepertinya tidak berhenti mengarah kepadanya, baru teralih sekilas ketika sejenak menatap Ayon.

Rora berusaha tetap menyungging senyum sopan kepada sang kakak. "Ya, Kak Ruka? Ada apa?" Ucapnya manis.

Ruka menimang sejenak penyampaian seperti apa yang cocok dia katakan kepada Rora. Kemudian dia memutuskan, "Kakak nggak suka kamu sembarangan masuk ke kamar orang lain."

Benar. Setibanya Ruka di kamarnya sendiri setelah mengobrol cukup panjang dengan Jennie, Ruka dikejutkan dengan keberadaan dua gadis yang sedang bergelung nyaman di tempat tidurnya.

"Kamar itu privasi bagi pemiliknya, Ra."

Jika seorang Ruka sudah memanggil adiknya dengan nama, itu pertanda bahwa dia benar-benar sedang merasa kesal. Dan meski Rora tahu tentang fakta itu, dia tidak terima. Sembarangan apanya? Dia kan, adik kandungnya sendiri, tentu punya hak yang sama dalam menjelajah semua ruang yang ada di rumah mereka, termasuk kamar tidur. Pikir Rora demikian.

"Sembarangan gimana? Ini kan rumah kita, Kak. Terus aku adiknya Kak Ruka. Wajar dong kalau seorang adik masuk ke kamar kakaknya. Bagian mananya yang salah sih?!" Protes Rora tak terima. Bibirnya berubah keriting, pertanda siap berdebat dengan Ruka.

"Lagian ada apa sih di kamar Kakak? Kak Ruka nyembunyiin sesuatu? Ada benda keramat yang harus dijaga kesuciannya?" Tambahnya dengan nada semakin kesal. "Rora juga di kamar Kakak nggak ngapa-ngapain tuh. Numpang rebahan doang. Rora enggak obrak-abrik alat lukis Kakak, enggak ngeberantakin kasur sama mini galeri Kakak, apalagi sampai nyolongin barang-barang Kakak. Adek nggak serendah itu, Kak."

Demi Tuhan. Baru dua kalimat Ruka lontarkan, tapi sudah dibalas dengan beribu hujaman kalimat pedas sang adik. Rora ini benar-benar mewarisi genetik Damanik yang tak mau kalah, pasti akan terus menjawab apapun itu sampai lawan bicaranya menyerah.

"Dengerin dulu," Ruka coba bersabar.

"Daritadi Adek dengerin Kakak! Kakak kira Adek lagi nyangkul?! Heran. Ngomong tinggal ngomong, Kak Ruka!" Sentak Rora.

Secara tak sadar Ruka mengelus dada. Emosinya tidak boleh terpantik atau nanti urusannya akan menjadi panjang. Ruka hanya ingin memberi pengertian kecil kepada gadis kecilnya itu. Ruka masih bisa maklum dengan sikap Rora yang semaunya sendiri itu, karena mungkin, belum ada yang memberitahunya.

"Iya, Kakak tahu. Adek boleh kok masuk ke kamar Kakak, mau bobok disini juga boleh banget. Kak Ruka enggak pernah ngelarang Adek masuk ke kamar Kakak. Cuma... kalau Adek ajak orang lain itu beda lagi ceritanya."

ToGetHer | RuPhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang