Babak I: Aletha Lustitia

295 24 0
                                    

Di kelas IPS satu ini ada berbagai macam jenis murid. Dimulai dari:

Daniel, si lelaki anak tongkrongan yang ternyata cerdas.

Rania, si perempuan gaul yang cerdas.

Shabrina, si perempuan biasa yang juga cerdas.

Nadine, si perempuan biasa, pendiam, dan cukup cerdas.

Lalu terakhir, aku sendiri, Aletha, si perempuan yang biasa saja, tetapi cukup aktif dan rajin.

Masih ada banyak murid lainnya. Namun, aku hanya akan menceritakan beberapa dari mereka saja. Beberapa dari mereka yang masih menghabiskan waktu bersamaku setelah lima tahun kami lulus dari SMA.

Kelas IPS 1 itu sudah seperti keluarga untukku. Kami dekat satu sama lain selama tiga tahun waktu SMA. Hanya ada satu kelas IPS saat itu, karena hanya dua puluh orang yang berminat untuk memasuki kelas IPS. Menjadi alasan mengapa kami selalu bersama dan bisa mengandalkan satu sama lain.

Meskipun begitu, tetap saja dalam berteman, pasti ada lingkaran pertemanan kecil yang kita rasa lebih dekat, bukan?

Begitu juga di kelas IPS 1.

Rania, Nadine, Hana, Isyana, Zahra, dan Salsa selalu bermain bersama. Mereka bahkan memiliki grup obrolan sendiri saking dekatnya mereka. Aku tidak termasuk di dalamnya. Aku mengetahui itu dari Nadine.

Nadine itu sahabatku dari SMP, dan aku tidak masalah jika ia memiliki lingkar pertemanan lainnya. Lagipula, aku juga memiliki lingkar pertemanan sendiri. Meskipun begitu, pada akhirnya kami akan kembali satu sama lain. Menjadi tempat ternyaman satu sama lain.

Sahabatku selain Nadine yang berada di Kelas IPS 1 adalah Shabrina. Kami memiliki humor yang sama. Suka menertawakan hal kecil dan berbicara asal. Apa yang ada di pikiran dan hati kami, tidak ragu untuk dikeluarkan begitu saja. Well, aku bisa mengatakan jika aku masih bisa berpikir terlebih dahulu, tidak seperti Shabrina.

Hubunganku dengan Rania biasa saja sebenarnya. Kami masih bercanda. Kami masih berbicara dengan baik. Hanya sekedar teman. Tidak berbicara masalah pribadi sama sekali. Begitupun dengan Hana, Isyana, Zahra, dan Salsa. Meskipun dekat, kami tetap memiliki batasan sendiri.

•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•

"Tante," sapa Aletha kepada ibu Nadine.

"Eh, Ale. Udah lama gak ketemu. Kamu apa kabar?" Ibu Nadine terlebih dahulu mendekat ke arah Aletha dan mengecup pipi kanan dan kiri Aletha.

"Baik, Tante. Kan lagi COVID juga, jadi gak bisa main-main ke luar."

Ibu Nadine menunjukan eksresi sedih. "Iya, ya," jawabnya. "Kamu nginep, kan, ya?"

Aletha mengangguk. "Iya. Aku mau nginep dua hari sih rencananya."

"Seminggu aja. Nanti kita jalan-jalan bareng sama Nadine."

"Nanti aku izin Papa dulu, ya, Tante."

"Tante mau cerita dulu dong sebentar," ujar Ibu Nadine dengan tangan menarik Aletha untuk duduk di kursi tinggi yang berada di dapur.

"Kenapa nih?" Aletha mendudukan diri di atas kursi.

"Kamu tau, gak, seminggu lalu Nadine pulang main jam tiga subuh. Dia main sama Rania, Zahra, Isyana, gitu-gitu, yang cowoknya juga ikut. Siapa sih, Rasyid kalau gak salah. Tante gak suka deh kalau mainnya nyampe jam tiga subuh gitu. Kamu kan tau, Tante kalau kalian main boleh aja, gak larang. Tapi masalahnya kok jadi gak tau diri? Itu yang Tante gak suka."

"Oh, aku baru tau." Aletha mengatakan yang sejujurnya.

"Nadine gak ada cerita?"

"Aku sama Nadine jarang chat-an, Tante. Kami lebih sering ngobrol langsung. Ini juga kan baru ketemu."

Aletha and Metis Against The World ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang