TRIGGER WARNING! mention suicide!
.
.
.Setelah apa yang dijelaskan Nadine, aku dengan segera mengajak Kak Brahma untuk bertemu. Aku tidak ingin salah paham terlalu lama dengan Rania. Aku sudah lelah dengan segala 'candaan' yang diucapkan oleh teman-teman kelas yang banyak berada di pihak Rania.
Ruang obrolan kelas yang biasanya sepi, tiba-tiba ramai untuk membicarakan 'tikung', 'nikung', dan 'menusuk'. Jujur, aku benar-benar lelah. Orang yang memercayaiku hanya Nadine dan Shabrina. Mereka yang tahu sebenarnya. Sedangkan yang lain tidak berusaha untuk menjadi netral, langsung memihak kepada Rania.
Sebenarnya, Kak Brahma sedang sangat sibuk. Bahkan tidak bisa bertemu ketika aku mengatakan akan mengunjunginya. Sudah dua minggu aku berusaha untuk menemui Kak Brahma, tetapi lelaki itu memang benar-benar sibuk.
Aku tidak kuat dengan segala bentuk perundungan dan sindiran yang dilakukan teman-teman Rania. Karena itu kini aku berada di depan gerbang kos Kak Brahma. Mencoba peruntungan jika Kak Brahma bisa ditemui barang sepuluh menit saja. Aku ingin mengakhiri semuanya.
Selagi menunggu Kak Brahma, aku memesan taksi. Ini tindakan pecundang. Namun aku ingin ada kendaraan yang bisa aku tumpangi untuk segera pergi dari hadapan Kak Brahma.
"Ini masih pagi banget lho, Al," ujar Kak Brahma dengan mata sedikit terbuka.
Al. Itu panggilan dari Kak Brahma. Hanya Kak Brahma yang memanggilku begitu. Bahkan keluargaku pun memanggilku dengan 'Ale'. Tidak ada panggilan khusus. Hanya Kak Brahma yang memiliki panggilan khusus untukku.
"Kamu udah sarapan?" tanya Kak Brahma begitu membuka gerbang kos yang selalu digembok.
"Aku cuman mau bentar aja kok," ujarku yang sengaja tidak menjawab pertanyaan Kak Brahma. "Aku mau kasih jawaban atas pertanyaan kakak di bandara."
Kesadaran Kak Brahma agaknya sudah terkumpul sempurna. Lelaki itu kini berdiri tegak dengan mata bulat nan tajamnya menatapku.
"Kok rasanya kamu bakal kasih jawaban yang gak aku harapin, ya?"
"Emang kakak harapin apa?"
"Bukannya udah jelas, ya?"
Aku menggigit pipi bagian dalam. "Maaf, kak. Tapi kayanya untuk saat ini aku gak bisa suka sama siapapun. Kayanya kepalaku emang bener-bener nolak untuk terima seseorang untuk jadi pasangan. Jadi, aku mau kasih tau kalau kita cuman bisa jadi temen."
Kak Brahma masih menatapku. "Itu kan kepala kamu. Kalau hati kamu, gimana?"
Mulutku tertutup rapat mendengar pertanyaan tersebut.
Hati, ya?
Apa itu penting? Agaknya tidak penting.
"Kamu sayang aku juga, kan?"
Sial, sial, sial. Mulutku tidak bisa terbuka sama sekali. Otak, ayolah bekerja dengan baik.
"Apa karena Rara?"
Kepalaku segera menggeleng. "Aku mau lanjut S2. Aku udah dapet kampus dan profesor. Jadi aku mau fokus untuk karir aku dulu. Makanya kita lebih cocok jadi temen aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aletha and Metis Against The World ✓
General FictionIni hanyalah sebuah cerita tentang Aletha dan Metis serta sudut pandang pemeran pendukung lainnya