Apa yang diharapkan ketika bangun pagi oleh kebanyakan orang? Pasti mereka mengharapkan pagi hari yang cerah, tidak ada kesialan dan kabar buruk sebelum memulai hari. Ya, begitu juga yang aku harapkan.
Aletha yang menelpon begitu jam menunjukan pukul tujuh pagi membuatku bersemangat. Walaupun memang, aku cukup kelelahan dan masih memerlukan tidur. Namun untuk Aletha, aku tidak masalah harus bangun dan membukakan gerbang.
Aku sedikit menyesal selalu menolak permintaan temu yang sudah dilakukan dari dua minggu lalu. Namun apa daya, aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan yang tiba-tiba saja menggunung. Padahal aku adalah tipe yang menyelesaikan pekerjaan dua hari sebelum tenggat waktu.
"Ini masih pagi banget lho, Al."
Ah, rasanya sudah lama lagi tidak memanggil gadis itu dengan panggilan 'Al'. Panggilan Ale terlalu aneh menurutku. Karena itu aku memanggilnya dengan 'Al', lebih lucu. Seperti si pemilik nama.
"Kamu udah sarapan?" Aku membuka pagar dan tersenyum.
"Aku cuman mau bentar aja kok," jawab Aletha yang membuatku menghentikan diri untuk menawarinya masuk ke dalam kos. "Aku mau kasih jawaban atas pertanyaan kakak di bandara."
Kalimat itu membuatku sadar. Entah kemana rasa kantuk tadi. Kini aku memberikan atensi penuh untuk Aletha. Perasaanku sangat awas. Ekspresi wajah Aletha terlalu serius untuk sebuah kabar baik.
"Kok rasanya kamu bakal kasih jawaban yang gak aku harapin, ya?"
"Emang kakak harapin apa?"
"Bukannya udah jelas, ya?" Aku menatap Aletha dengan serius. Tidak mungkin Aletha tidak mengetahui apa yang aku harapkan darinya.
"Maaf, kak. Tapi kayanya untuk saat ini aku gak bisa suka sama siapapun. Kayanya kepalaku emang bener-bener nolak untuk terima seseorang untuk jadi pasangan. Jadi, aku mau kasih tau kalau kita cuman bisa jadi temen."
"Itu kan kepala kamu. Kalau hati kamu, gimana?"
Apa selama ini, rasa sayang yang kutunjukan untuk Aletha itu kurang? Apa selama ini aku jatuh cinta sendirian? Apa selama ini aku tidak pernah menjadi lelaki baik di mata Aletha? Apa aku membuat kesalahan fatal yang tidak kusadari?
"Kamu sayang aku juga, kan?"
Aletha masih tidak menjawab. Besat kemungkinan Aletha menyayangiku juga, tetapi ia tidak bisa mengungkapkannya. Namun, apa alasan gadis itu hingga tidak bisa mengungkapkan isi hatinya? Apa, ... tunggu.
"Apa karena Rara?"
Pertanyaan tersebut langsung terjawab dengan gelengan kepala oleh Aletha. "Aku mau lanjut S2. Aku udah dapet kampus dan profesor. Jadi aku mau fokus untuk karir aku dulu. Makanya kita lebih cocok jadi temen aja."
"Aku mau nungguin kamu kalau gitu."
"Jangan." Aletha menyela dengan cepat, meskipun suaranya agak tertahan.
"Kenapa? Kan kita bisa berkembang bareng-bareng."
"Cari yang lain aja, kak. Masih banyak yang lebih cantik, lebih pinter, dan lebih menarik daripada aku."
"Banyak. Emang banyak. Tapi di mata aku, yang cantik dan menarik perhatian cuman kamu. Gimana aku bisa liat yang lain?"
"Kalau ada cewek baru yang deketin kakak, kakak pasti bakal lupa udah ngomong kaya gitu ke aku."
"Aletha," panggilku dengan tangan berusaha menggenggam tangan Aletha, yang dengan segera ditolak begitu saja.
"Kak, udah, ya?"
Astaga, kalimat itu. Aku benar-benar merasakan sebuah rasa frustasi. Sebuah kalimat singkat, tetapi aku bisa merasakan bagaimana putus asanya Aletha.
Aku mengalah. Tidak ingin membuat masalah. Bukan karena aku menyerah, tetapi aku ingin memberikan ruang untuk Aletha. Aku juga tidak ingin membuat Aletha menangis pagi ini. Aku berani bertaruh jika Aletha memiliki agenda pagi ini, aku yakin itu. Aku sudah cukup mengenal Aletha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aletha and Metis Against The World ✓
Aktuelle LiteraturIni hanyalah sebuah cerita tentang Aletha dan Metis serta sudut pandang pemeran pendukung lainnya