Kini jam menunjukkan pukul 07.30 malam.
Di waktu itu, Brahma duduk di sebuah kursi salah satu kafe daerah dekat rumah keluarganya. Brahma sedang menunggu seseorang yang mengajaknya bertemu. Katanya ingin membiacarakan tentang Aletha.
Ah, nama itu. Sudah sebulan sepertinya dari pertemuan terakhir. Brahma merindukan Aletha setiap harinya. Namun tidak bisa melakukan apapun. Aletha tidak menghalangi segala akses berkomunikasi, gadis itu hanya sengaja tidak membaca dan membalas pesan yang dikirimkan.
"Hai, Kak Brahma."
"Hai, Nad. Udah pesen minum atau makan?"
"Udah, kak." Nadine mendudukan diri di seberang Brahma.
"Aku open bill sih. Tagihan kamu masuk ke aku, kan?"
Nadine terkekeh. "Aku udah bayar duluan tadi."
"Oh, oke kalau gitu."
"Maaf telat, ya, kak. Tadi agak ketahan di kantor. Ada sedikit salah hitung untuk rekap minggu ini."
"Gak apa-apa. Agak sedikit paham dengan kerjaan auditor," balas Brahma diakhiri dengan kekehan singkat. "Jadi kamu apa kabar, Nad?"
"Kabar aku atau kabar Aletha, kak?"
"Kalau bisa dapet kabar Aletha juga, aku bakal seneng sih."
Nadine terkekeh. "Kabar aku baik, walaupun lagi numpuk kerjaan. Aletha juga baik. Dia kayanya lagi sibuk banget, soalnya chat aku udah mulai jarang dibales."
Brahma mengangguk mengerti. "Wajar lah. Dia pasti lagi dipusingin untuk berkas S2 dan pasti kerjaan Al masih bantu kerjaan Pak Seoryo dan Mbak Dyah."
"Susah buat move on, ya, kak?"
"Iya," balas Brahma dengan cepat. "Bukan aku terobsesi sama Aletha, ya. Tapi entah kenapa, it feels like she left the unfinished business. Jadi kaya bikin aku untuk kejar dia terus. Cuman satu sisi, aku gak mau buat dia gak nyaman."
"Kak, Ale tuh sayang sama kakak. Tapi dia takut. Ada sesuatu yang berkaitan sama Rara yang bikin dia gak mau ngelanjutin semuanya," ujar Nadine.
Brahma berdecak malas. "Saya udah tegasin berkali-kali ke Aletha kalau saya gak peduli sama Rara yang suka sama saya."
Nadine tersenyum kecil. "Berarti Aletha belum cerita, ya, kak? Kalau gitu aku gak bakal ngomong apa-apa lagi. Aku gak bakal ceritain trauma temen aku gitu aja."
.
.
."Lagi ada apa nih sampe pulang ke rumah?"
Brahma menghentikan langkah kakinya melihat kakak perempuannya yang keluar dari rumah. "Lu jaga malem?"
"Baju kaya gini masa jaga malem. Mau mabok dulu, kapan lagi dapet golden weekend," balas Azizah, kakak Brahma.
Brahma menggelengkan kepalanya. "Lu tuh dokter, jaga liver lu."
"Munafik," balas Azizah. "Ikut, gak?"
"Nggak," balas Brahma. "Gua udah enam bulan gak minum alkhol dan merokok. Aletha gak suka."
Azizah menjentikan jarinya. Ia kemudian mengeluarkan ponsel dari kantung roknya. "Aletha 'si gemes' lu itu, ini, bukan?"
Brahma tanpa minat melihat ponsel Azizah. Saat melihat layar ponsel Azizah, punggungnya langsung tegap kembali. Jarinya bergerak untuk membesarkan foto di layar ponsel. "Lu kenal di mana?"
"Hah, gak jadi mabok deh gua," ujar Azizah dengan malas. "Eh, nggak deh. Besok aja gua ceritain."
Brahma dengan segera menahan tangan Azizah yang akan pergi. "Lu mau apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aletha and Metis Against The World ✓
Aktuelle LiteraturIni hanyalah sebuah cerita tentang Aletha dan Metis serta sudut pandang pemeran pendukung lainnya