Brahma mengetuk jarinya pada kemudi. Ia berharap bisa segera sampai di bandara. Hari ini adalah hari keberangkatan Aletha ke Kanada. Brahma ingin bertemu Aletha untuk terakhir sebelum gadis itu menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi.
Andai saja Brahma tidak tertahan di kantor, mungkin ia sudah sampai di bandara saat ini. Namun apa daya, Brahma harus terjebak arus padat merayap.
"Please jangan masuk imigrasi dulu," monolog Brahma dengan resah.
"God, please. This is my last chance."
Perlu lima belas menit untuk laju kendaraan berfungsi secara normal. Ternyata di depan sana ada kecelakaan tunggal. Karena itu jalanan cukup padat.
Brahma dengan cepat dan penuh kehati-hatian mengendarai mobilnya menuju bandara terminal 3. Meskipun bisa dikatakan terlambat, Brahma akan mencoba peruntungannya.
Lelaki itu segera berlari menuju pintu keberangkatan internasional dari parkiran mobil.
Dari jauh, Brahma bisa melihat Aletha yang hendak memasuki imigrasi. Tanpa memedulikan rasa malunya, Brahma berteriak memanggil Aletha. Berhasil membuat dirinya sendiri menjadi tontonan orang lain.
"Aletha!"
Aletha menghentikan langkahnya saat akan memasuki antrian imigrasi. Matanya menatap Brahma yang berlari ke arahnya. Seluruh badannya membeku.
Brahma mengatur napasnya begitu berada di hadapan Aletha dan Nadine. "Aletha," panggilnya dengan napas terengah.
"Aku harus masuk sekarang, Na," ujar Aletha begitu sadar dari keterdiamannya.
Brahma dengan segera menahan lengan Aletha. "Dengerin aku sebentar aja."
Aletha diam, pertahanannya mulai goyah. Jika ia berbicara, dapat dipastikan air mata akan menetes. Karena itu ia hanya diam saja.
"Aku udah ketemu Rara. Tebakan kamu salah. Di mata aku, kamu yang paling cantik. Gak peduli kamu gendut atau kurus, untuk aku, kamu yang paling cantik. Semua orang emang puji Rara cantik. Tapi aku bakal ada di sini, puji kamu perempuan paling cantik. Di mata aku, kamu yang cantik, gemesin, lucu, gak ada yang lain."
Brahma menghela napas pelan. Tangannya terlepas dari Aletha. "Aku berharap, kamu bisa dapet kepercayaan diri kamu lagi. Aku mau kamu percaya, kamu berhak disayang dan dicintai, ada orang yang tepat untuk itu. Dan aku berharap, orang tepatnya itu aku, ... ,
"Jangan diemin aku. Kan janjinya kita tetep temenan. Tolong kabarin aku begitu sampai di sana, ya? Jaga diri baik-baik di sana. Aku sayang kamu."
Aletha menitikan air matanya. "Aku harus masuk sekarang."
"Aku peluk kamu dulu, boleh gak?" pinta Brahma dengan lemah.
Aletha menggelengkan kepalanya. "Aku gak mau goyah sama keputusan aku sendiri," ujarnya dengan tangan mengusap air mata yang terus mengalir. "Makasih udah repot dateng ke sini, ya, kak."
"Take care, kak." Aletha tersenyum kecil.
. . .
"Gimana?"
"Apanya?"
"Aletha."
Brahma menghela napas mendengar pertanyaan tersebut. "Kayanya keputusan dia untuk kami berteman aja udah final."
"Buset, sedih banget lu, dek." Azizah mendudukan diri di sebelah Brahma yang sedang duduk di pinggir kolam renang belakang rumah dengan kaki yang berada di dalam air.
"Sedih lah, kak. Gini ternyata rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Agaknya ini karma gua karena udah deketin banyak cewek tapi pada akhirnya banyak yang harus gua akhiri."
"Nggak sih kata gua. Kan lu mulai dan akhiri pendekatan selalu baik-baik, Matt. Menurut gua sih lebih buat tes perasaan lu aja. Selama ini kan lu nyimpen perasaan ke cewek-cewek tuh selalu sebentar. Mungkin Tuhan mau jauhin Aletha dari cowok kaya lu, yang perasaannya cuman bertahan sebentar. Kan fasenya selalu enam bulan sekali."
Brahma menghela napas pelan. Kepalanya mendongak menatap bintang dan bulan di langit. "Aletha udah sampe belum, ya?"
"Matt," panggil Azizah dengan nada serius.
"Hm."
"S3 sana."
"Lagi nunggu surat dari profesor."
Azizah menoleh terkejut ke arah Brahma. "Lu serius, anjir."
"Dari tahun lalu gua udah nyiapin untuk S3, sebelum ketemu Aletha. Dan gua siapinnya ke Kanada."
Azizah bertepuk tangan sekilas. "Wah, jodoh sih sama Aletha."
"Amin."
. . .
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Brahma tidak bisa menghilangkan senyuman dari wajahnya sama sekali. Padahal, ia tidak berharap Aletha akan mengabarinya. Namun mendapatkan pesan seperti itu cukup membuat Brahma sangat bahagia.
Tolong jangan salah fokus dengan emoji hati putih di akhir pesan. Brahma sudah terkadang memberikan emoji itu untuk Aletha. Aletha juga terkadang suka memberikan emoji hati untuk Brahma.
. . .
"Gua gak jodoh sama Aletha."
"Coba, ya, masuk ke kamar gua tuh pake permisi dulu." keluh Azizah. "Terus kenapa lagi tiba-tiba ngomong gitu?"
Brahma membaringkan diri di atas kasur. "Profesor buat gua S3 di Kanada nanti gak mau rekomendasiin beasiswa dengan judul penelitian yang gua kasih. Tapi yang di New Zealand mau rekomendasiin beasiswa buat gua."
"Yaelah, gua kira si Aletha udah dapet cowok baru."
"Ngomongnya hati-hati, please. Asbun lu suka terkabul."
Azizah terkekeh seraya mendudukan diri di meja rias. "Yaudah, ambil aja yang di New Zealand. Berjuang kan bisa lewat jalur apa aja. Lagian kalau jodoh pasti ketemu."
"Apa gua nyerah aja, ya, kak? Tapi hati gua sakit banget kalau harus ikhlasin Aletha."
Azizah berdecih. "Lagian baru dua bulan ditinggal Aletha, masih banyak itu rasa sayangnya. Lu udah kaya sewindu ditinggal Aletha aja. Tenang aja, pasti perasaan lu ke Aletha cepet ilangnya kok. Kaya yang sebelum-sebelumnya. Bertahan dulu sebulan lagi."
"LDR New Zealand - Kanada jauh, Kak."
"Tingkah lu kaya orang pacaran aja. Heran deh."
"Chat gua belum dibales Aletha, Jijah!"
Azizah melempar sisir di meja rias ke arah Brahma. "Gak usah betingkah kaya ABG baru puber, ya, Metis Brahma!"
Brahma mengambil sisir yang berada di atas kasur dan melempar balik barang tersebut ke arah kursi yang diduduki Azizah. "Gua kangen sama Aletha. Apa gua susul ke Kanada, ya? Alesannya pengen liburan."