Jika dikatakan sakit, hatiku memang sangat sakit.
Namun apa daya. Pilihan yang harus diambil terlalu sulit, dan aku memilih yang menyebabkan sedikit masalah. Yaitu memutus segalanya dengan Kak Brahma.
Aku dan Rara memang tidak dekat. Dengan teman-teman kelas yang lain pun tidak terlalu dekat. Tidak ada hubungan spesial, tetapi kami memiliki suatu ikatan yang sulit dijelaskan. Dekat, tetapi tidak dekat. Begitulah hubunganku dengan anak-anak kelas selain Nadine dan Shabrina.
Setelah mengatakan semuanya kepada Rara, aku melangkah menjauhi rumahnya. Masih dengan kepala terangkat dan bahu tegap. Hingga akhirnya aku memasuki taksi yang baru memasuki wilayah komplek, aku baru menunduk, bahu turun lemah. Tidak menangis, masih memiliki rasa malu dengan supir taksi.
Aku hanya diam melamun. Bahkan Apa yang dikatakan supir pun tidak terdengar jelas. Telingaku menolak semua suara yang akan masuk. Seperti tahu jika aku tidak ingin diganggu dan membutuhkan ketenangan.
Ada sedikit rasa penyesalan saat aku memberitahu Rara tentang Kak Brahma. Namun aku tidak boleh egois. Rara sudah sangat lama menyukai Kak Brahma. Dan aku hanya pendatang.
Lagipula lebih baik mundur. Perundungan yang dilakukan teman-teman kelas yang lebih dekat dengan Rara benar-benar membuatku lelah. Sangat amat lelah. Setiap hari, ada saja bahasan untuk mengolok-olokku dengan ucapan 'tikung', 'nikung', 'tidak setia kawan', 'menusuk dari belakang', dan lain sebagainya.
Aku tidak sanggup. Lebih baik menyerah.
•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•
"Serius gak sih kamu berangkat dua bulan lagi?" tanya Nadine yang sedang menemani Aletha mengurus segala macam berkas untuk kepindahan sementara ke Kanada.
"Ya masa bohong? Kan kamu liat sendiri email-nya."
"Bakal sedih banget gak bisa main sama kamu."
"S2 juga dong makanya."
"Harus ada yang buat aku sakit hati dulu kayanya."
Aletha terkekeh. "Aku udah mau S2 sebelum ketemu Kak Brahma, ya. Jadi jangan ngaco."
Nadine terdiam sesaat, matanya menatap serius ke arah Aletha yang masih menyusun berkas. "Kamu udah kasih tau Kak Brahma?"
Aletha mengangguk sekali. "Udah. Aku juga bilang kalau aku cuman mau temenan aja sama dia. Aku gak bisa LDR kalau emang dipaksain."
"Berarti kamu sayang Kak Brahma?"
Pertanyaan tersebut membuat Aletha menghentikan gerakan tangannya. Matanya menatap tulisan di atas kertas dengan pandangan kosong. "Sayang. Tapi aku lebih milih S2 dan karir dari pada Kak Brahma."
"Bukan karena Rara?"
"Bukan karena Rara," tegas Aletha. Kepalanya kemudian menoleh ke arah Nadine dengan senyuman kecil. "Aku gak mau dimusuhin kamu. Temenku yang bener-bener ngerti aku dan kondisi keluargaku luar dan dalem, siapa lagi kalau bukan kamu?"
"Padahal aku merasa kalau Kak Brahma tuh tulus sama kamu lho, Le. Mau disodorin cewek secantik apapun, dia udah stuck di kamu." Nadine tersenyum kecil. "Aku masih inget the way he look at you pas kamu ajak aku kenal Kak Brahma. Di dunia ini objek yang paling cantik kaya cuman kamu aja."
Aletha terkekeh. "Kamu berlebihan."
"Tapi kamu udah bilang tentang perasaan kamu ke Kak Brahma, Le?"
Aletha menggeleng. "Aku gak mau buat Kak Brahma berharap, Na. Aku belum selesai sama luka aku, dan aku gak tau sembuhnya kapan. Aku gak mau Kak Brahma nungguin sesuatu yang percuma."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aletha and Metis Against The World ✓
Fiksi UmumIni hanyalah sebuah cerita tentang Aletha dan Metis serta sudut pandang pemeran pendukung lainnya