Babak II: Metis Brahma

46 17 1
                                    

Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara dengan seorang kakak perempuan. Bisa dibilang keluargaku harmonis, pertemanan baik, pendidikan tinggi, dan karir cukup bagus dan stabil. Wajahku pun banyak yang bilang tampan. Rahang tegas, pipi tirus, bibir tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, mata cukup bulat pun tajam.

Jika ditanya kekurangan, aku pasti memiliki banyak kekurangan. Aku pun bisa menjadi kekanakan dan egois dibalik sifat dewasaku. Dan pasti ada banyak kekurangan yang tidak kuketahui, tetapi orang lain tahu dengan pasti apa kekuranganku. 

Di rumah, aku dipanggil Metis, lebih sering Matty. Sedangkan teman-teman dan rekan kerja memanggilku dengan Brahma. Katanya terlalu aneh untuk mengucapkan Metis, lebih familiar dengan Brahma. Aku tidak masalah. Bagaimanapun juga, Brahma tetap namaku, dan itu bukan nama belakang dari Ayah.

Nama dari Ayah adalah 'Toer'. Namun itu bukan sesuatu yang wajib, maka dari itu aku selalu mengenalkan namaku sebagai Metis Brahma, bukan Metis Brahma Toer seperti yang terdaftar di catatan sipil. 

Tadi aku sudah bilang bahwa karirku cukup stabil dan bagus, bukan? 

Aku berhasil mendapat pekerjaan di salah satu BUMN tambang emas, PT. Handout. Lalu, setelah satu tahun bekerja di sana dan jauh dari orangtua, aku dipindahkan ke PT. Ratam. Dan kini aku sudah dua tahun di PT. Ratam dan bekerja di Jakarta, tidak jauh dari keluarga. 

Pekerjaanku banyak bersinggungan dengan hukum, lingkungan, dan orang. Lebih banyak menghabiskan waktu di luar kantor daripada di kantor. Karena itu teman-teman kantor yang aku miliki itu terbatas. Hanya orang-orang yang sering ikut berkegiatan bersamaku atau mengerjakan pekerjaan yang sama saja. Bahkan aku tidak mengenali orang-orang dari divisi lain yang sudah sangat senior di kantor. 

"Baru pulang, Nak?"

Aku cukup terkejut mendapati Bunda dari lantai dua saat akan menaiki lantai dua. 

"Iya, Bunda. Matty habis rapat sama kementerian. Terus diajak makan malem dulu sama senior di kantor."

Bunda mengangguk. "Tempat rapatnya lebih deket pulang ke rumah daripada ke kosan, bukan?"

Aku terkekeh. Bunda sangat paham anaknya. "Iya, Bunda. Makanya aku pulang. Bunda gak masalah, kan?"

"Kenapa Bunda harus kesel kalau anak Bunda pulang? Kesel sedikit sih, karena ketika kamu pulang, Bunda harus ke rumah sakit buat jaga malem."

Kini aku mengerti mengapa Bunda menggunakan pakaian biru khas rumah sakit. "Aku kira, Bunda baru pulang dan belum bebersih. Ternyata baru mau berangkat."

"Bunda kebetulan tadi sore udah kupas dan potong semangka. Kalau kamu mau ngemil, bisa makan semangkanya."

"Oke. Makasih, Bunda," ujarku dengan senyum senang. "Bunda hati-hati, ya."

Bunda tersenyum dan mengangguk. 

"Eh, nggak, nggak."

Bunda menatapku dengan bingung. 

"Bunda tunggu dulu, ya. Aku taro barang dulu di kamar, terus nanti aku anter ke rumah sakit."

"Gak usah, ... ,"

"Bunda," selaku dengan ekspresi tidak suka. "Aku anter pokoknya. Kalau untuk Bunda, aku gak bakal capek."

Bunda terkekeh, dan itu membuatku terkekeh juga. "Oke, oke. Kamu kayanya maksa banget."

"Sedikit," balasku dengan jenaka. "Bentar, ya, Bunda. Aku ke kamar dulu, terus langsung ke bawah."

•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•

Aletha and Metis Against The World ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang