Babak III: Saling Kenal (2)

44 16 0
                                    

Brahma sebenarnya merasa aneh dengan perubahan drastis yang terjadi pada Aletha dalam waktu enam hari. Tiba-tiba ingin meminta maaf dan ingin mengenalnya. Entah apa yang terjadi selama enam hari tidak bertemu. Meskipun kebingungan, Brahma memutuskan tidak peduli dan mengikuti saja apa yang terjadi. 

Dalam pikiran Brahma, Aletha sudah berbincang dengan teman baik yang bisa dipercaya. Lalu, teman baik Aletha itu memberikan petuah yang menyadarkan Aletha tentang keberadaannya. Hanya itu yang dipikirkan Brahma. Dan tentu saja ia senang. 

Brahma tidak menyangka jika ia berhasil melewati lebih dari tiga bulan bersama dengan Aletha meskipun tanpa komunikasi intens. Kata kakak perempuan Brahma, Aletha dan Brahma cocok. Sama-sama sibuk untuk mengejar ambisi sendiri sampai lupa ada seseorang yang ingin dikenal dan dijadikan pasangan. 

Mungkin memang terlihat seperti itu. Seperti tidak niat untuk saling mengenal lebih jauh. Namun pada kenyataannya, Aletha dan Brahma menikmati itu. Mereka jadi lebih memiliki banyak waktu bersama tanpa kehabisan topik begitu bertemu. Aletha dan Brahma sadar jika keduanya lebih menyukai berbicara dengan menatap satu sama lain daripada melewati perantara ponsel. 

"Ngapain lu ke sini?"

Brahma menatap aneh ke arah kakak perempuannya yang berjalan menghampiri dengan pakaian biru khas rumah sakit. "Lu beneran cucu nenek gak sih?"

"Lu gak apa-apa?"

Brahma berdecak. "Hari ini jadwal Nenek medical check up. Lagi endoscopy, jadi gua beli minuman dulu."

Perempuan itu mengangguk dengan mata dan mulut yang membulat terkejut. Ia baru ingat jadwal rutin pemeriksaan kesehataan yang dilakukan neneknya. "Tumben lu nemenin Bunda anter Nenek medical check up."

"Kok tumben sih? Gua selalu nemenin Nenek check up kali. Gak kaya lu sama Bunda."

"Ya kan, gua sama Bunda dokter, jadwalnya gak sefleksibel lu."

"Alasan."

Kakak Brahma terkekeh. "Hari ini hari Sabtu. Waktu sama si gemes berkurang dong."

"Aletha juga lagi fieldwork dari minggu kemarin," balas Brahma yang ikut terkekeh. 

"Kalian udah pacaran belum sih?"

Brahma menatap malas ke arah kakaknya. "Belum. Gua setiap sama dia rasanya kaya udah pacaran napa. Jadi kaya gak pernah nanya 'what are we'."

"Ih, si bego," hujat sang kakak. "Tanyain lah. Nanti diambil orang baru tau rasa."

Brahma tersenyum sombong. "Gak bakal. Aletha bukan tipikal ornag yang kaya gitu. Dia bakal bilang ke gua kalau dia nemu cowok dan udah gak tertarik lagi sama gua."

Sang kakak menatap sang adik dengan sebelah alis terangkat. "Percaya deh, percaya."

.
.
.

Aletha berjalan cepat begitu turun dari MRT. Gadis itu sudah sedikit terlambat untuk rapat di Kejaksaan Agung. Saat berjalan, Aletha mengambil kardigan yang menggantung di salah satu sisi tasnya. Kakinya semakin cepat melangkah menuju dua perempuan yang berjalan santai di depannya. 

Tangannya segera menepuk pundak salah stu peremuan begitu sudah berhasil menyusul dua perempuan itu. Napasnya terengah dengan senyuman sopan menghiasi wajahnya. Aletha melepaskan maskernya karena sulit bernapas setelah berlari. 

"Ibu, mungkin bisa pake ini." Aletha memberikan kardigannya kepada perempuan paruh baya di hadapannya. "Ibu bocor,"  lanjutnya dengan sungkan. 

Dua perempuan itu langsung panik. Satu perempuan langsung melihat ke belakang si perempuan yang ditawari kardigan oleh Aletha. 

Aletha and Metis Against The World ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang