Babak III: This Sh*t Hurt as F*ck

53 15 0
                                    

"Setiap aku atau temenku pulang, aku selalu bilang 'hati-hati' ke mereka. Jadi jangan ge-er aku perhatian sama kamu."

Aku segera berjalan meninggalkan Kak Brahma yang masih duduk di sofa yang tersedia di lobi. 

Saat di dalam lift, entah mengapa, dadaku sangat sesak dan sakit. Air mata tanpa kusadari menetes dari mataku. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, menahan tangisan sekuat tenaga. 

Saaat sampai di lantai 12, aku segera berlari memasuki kamar. Tidak sanggup untuk menutupi kesedihanku. Dengan segera masuk ke dalam kamar mandi. Aku menangis kencang sendirian di dalam kamar mandi. Melampiaskan segala rasa sakitku. 

Ponsel di tanganku kini menampilkan ruang obrolan dengan Kak Brahma. Aku dengan segera memberikan nomor telpon dan juga Instagram Rania kepada Kak Brahma. 

Mataku kini menatap ke arah cermin yang berada tepat di depanku. Dengan terpaksa membuat senyum tampil di wajahku. 

"Maaf karena gak terlahir cantik, ya."

"Maaf juga gak bisa jadi sepinter Rara."

•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•


"Aku kayanya mau ambil spesialisasi pertambangan aja deh. Air dan lingkungan tuh kompleks banget," ujar Aletha dengan jenaka kepada Dyah. 

"Iya, kan. Aku juga pusing banget ikut penelitian tentang air dan lingkungan sama Soeryo. Ya walaupun emang pertambangan pasti lari juga ke lingkungan, tapi seenggaknya gak sekompleks air permasalahannya," jawab Dyah diakhiri gelengan kepala. 

Aletha terkekeh. "Mbak ini langsung pulang?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. 

Jam kini menunjukan pukul 06.30 sore, lokakarya sudah selesai dilaksanakan. Beberapa peserta masih banyak yang berbincang satu sama lain. 

"Iya. Suamiku udah jemput. Dia nunggu di parkiran, tinggal aku minta ke depan lobi aja."

"Aletha."

Aletha dan Dyah menoleh ke arah Brahma yang datang menyapa Aletha. 

Tentu saja perasaan terkejut tidak bisa disembunyikan dari wajah Aletha. 

"Pacar kamu, Aletha?"

Aletha segera menggelengkan kepalanya. Berbeda dengan Brahma yang justru tersenyum sopan dan mengulurkan tangannya ke arah Dyah. 

"Saya Brahma, pernah jadi mahasiswa Pak Soeryo," ujar Brahma mengenalkan diri. 

Dyah menerima uluran tangan Brahma dengan senyuman sopan juga. "Salam kenal, ya, Brahma. Saya Dyah, temennya Soeryo. Peneliti juga di ICRPG."

Brahma mengangguk dan melepaskan jabatan tangan dengan Dyah. "Doain aja, ya, semoga saya bisa luluhin hati Aletha. Soalnya Aletha cuman mau temenan sama saya, padahal saya udah sayang sama dia."

Dyah tertawa kecil mendengar ucapan jenaka tersebut. "Aletha kayanya masih seneng main-main. Jangan terlalu dipaksain, takutnya kamu jadi obsesi ke Aletha. Bukan cinta lagi."

Brahma tersenyum sopan dan mengangguk. "Terima kasih, Mbak. Bakal saya inget."

"Terus kamu di sini mau jemput Aletha?" tanya Dyah.

"Iya, Mbak. Kasian kalau Aletha harus pulang ke Bogor naik kereta. Kalau di mobil kan bisa istirahat."

Dyah menoleh ke arah Aletha. "Masa yang kaya gini mau kamu jaga sebagai temen aja? Sayang banget," godanya. 

Aletha hanya tersenyum kecil dan menunduk sesaat, tidak tahu harus membalas apa atas ucapan Dyah. 

"Suamiku udah di depan lobi. Aku pulang duluan, ya, Aletha," pamit Dyah saat sudah melihat ponselnya. Kepalanya kemudian beralih ke arah Brahma. "Alethanya dijaga, ya."

Aletha and Metis Against The World ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang