Semester lima, aku berhasil mendapat gaji pertamaku. Aku tentu saja senang. Apalagi, gaji yang diberikan dosenku tidak di bawah upah minimum. Sebagai mahasiswa yang bekerja di lembaga pemerintahan milik dosenku, tentu saja aku senang mendapatkan gaji sesuai standar minimum.
Berkat itu, Papa bisa pulang kembali ke rumah, tidak perlu luntang-lantung di daerah orang. Kak Rahma pun mendapat pekerjaan dengan gaji sedikit di atas upah minimum. Dan itu benar-benar berarti. Kami bisa hidup dengan baik, tanpa berharap kepada Kak Putri. Lagipula, Kak Putri pun sudah pergi dari rumah semenjak percobaan bunuh diri yang dilakukan Kak Rahma.
Papa belum mendapatkan pekerjaan, tetapi setidaknya, Papa tidak jauh dari kami tanpa tahu apa yang bisa dilakukannya jauh dari rumah.
•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•┈┈┈•
"Raraaa!!!"
Rania menoleh ke belakang. Di balik maskernya ia tersenyum dengan tangan melambai ke arah Aletha.
"Mau ke kampus, bukan?" tanya Rania begitu Aletha sudah berada di dekatnya.
"Nggak, Ra. Mau ke Kejagung," jawab Aletha yang kemudian melingkarkan tangannya pada lengan Rania. "Kamu ada kelas, Ra?"
"Iya, dan kabar dari dosennya tiba-tiba banget. Ini aku ngejar kereta, semoga aja gak telat deh sampe kampus," jawab Rania. "Di kampus kamu emang udah bisa magang di semester lima?"
Aletha mengangguk. "Bisa. Emang dikampus kamu belum bisa?"
"Belum. Kampus aku baru bisa semester enam."
Setelah menaiki kereta dan duduk bersisian, Aletha dan Rania tidak ada obrolan apapun lagi. Aletha juga tidak ingin membuat obrolan ketika melihat Rania sibuk dengan ponselnya. Karena itu Aletha memutuskan untuk memejamkan mata dan tidur.
Aletha membuka matanya untuk membalas ucapan pamit dari Rania. Kepalanya mengangguk, dan tangannya melambaikan tangan. Tidak lupa dengan ucapan semnagat untuk Rania berkuliah hari ini.
Kereta terus melaju, dan kini tiba di Stasiun Manggarai. Aletha pun turun dari kereta dan berjalan santai menuju peron yang akan mengantarnya menuju Stasiun Sudirman. Tidak butuh waktu lama untuk Aletha hingga sampai di Stasiun Sudirman. Belum selesai dari situ, Aletha berpindah stasiun menuju Stasiun Dukuh Atas untuk menaiki MRT.
Jam-jam kerja seperti ini sebenarnya cukup menguras tenaga. Namun Aletha tetap di atas kakinya hingga kereta mengantarnya menuju Stasiun Blok M. Ia pun turun dari sana, berjalan kaki menuju Kejaksaan Agung.
"Mbak Dyah!" panggil Aletha saat melihat postur tubuh yang dikenalinya dari belakang.
Dyah menoleh ke belakang. Di balik maskernya, ia tersenyum. "Hei, Aletha."
"Kamu naik apa ke sini?" tanya Dyah begitu Aletha sudah berada di dekatnya.
"Naik kereta, lanjut MRT, terus jalan kaki deh dari Blok M."
Dyah mengangguk. Kakinya kembali melangkah menuju gedung kejaksaan. Aletha pun mengikuti langkah kaki Dyah.
"Tadi aku juga naik MRT sih. Aku gak berani bawa mobil di sini. Suamiku juga gak berani bawa mobil di sini. Terlalu chaos kata suamiku," balas Dyah diakhiri dengan kekehan singkat.
"Tapi emang bawa mobil di Jakarta tuh harus ekstra hati-hati, Mbak. Aku pernah nyaris nabrak motor karena motor tiba-tiba muncul. Belum ditambah gerobak-gerobak orang jualan. Duh, pusing banget. Mending pake transportasi umum aja."
.
.
."Aku kecapean deh, Na," ujar Aletha ketika sudah memasuki kamar Nadine.
"Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aletha and Metis Against The World ✓
Ficção GeralIni hanyalah sebuah cerita tentang Aletha dan Metis serta sudut pandang pemeran pendukung lainnya