35. Dendam Sukar Padam

181 24 4
                                    

•••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••••


“Eyan minta maaf. Nyusahin Papa, Mama sama Abang terus.”

“Eyan kenapa, Sayang?”

Heyan tak langsung menjawab pertanyaan dari sang ibu. Ia bergumul dengan pikirannya  yang tengah ruwet, sementara anggota keluarganya yang lain senantiasa menunggunya untuk bersuara. Pada Sabtu malam ini, mereka hendak menikmati makan malam bersama, tetapi celetukan sang bungsu menarik atensi.  

Sesungguhnya Heyan sedang ditimpa nestapa. Ia sadar betul betapa menyusahkannya dirinya saat ini. Ingin mandi dan berganti baju harus dibantu, ingin makan harus disuapi, bahkan untuk berpindah tempat ia harus menggunakan kursi roda-memerlukan orang untuk mendorongnya.

Dirinya bahkan tak berani sendirian, ujungnya sang ibu akan cuti dari pekerjaannya untuk menemaninya.

Dirinya juga tak sanggup untuk tertidur seorang diri di kamarnya. Ia membutuhkan dekapan ayah, mama, ataupun sang kakak untuk mengusir gelisah yang seringkali menghantuinya.

“Aku nyusahin, ngerepotin. Semuanya harus dibantu,” lirih Heyan yang terdengar pilu di telinga keluarganya. Matanya sarat kesedihan, bahkan masakan ayam panggang di meja makan itu tak bisa menggugah seleranya. 

“Nggak. Nggak ada, Sayang, itu kewajiban Ayah sama Mama buat ngerawat kamu, jangan berpikir gitu lagi.” Kesia bangkit menuju sang anak yang duduk berseberangan dengannya. Ia menarik anak bungsunya itu ke dalam pelukan yang hangat. Membiarkan Heyan meluapkan sedihnya. 

Memandang sang adik yang tengah menangis sembari menyembunyikan wajahnya di perut sang ibu membuat Hersa tersenyum tipis. 

“Abang juga nggak masalah, meskipun kamu sering jahil sama Abang,” ucap Hersa mengelus pipi Heyan. 

Tak lama kemudian, Heyan mendongak, memperlihatkan wajahnya yang basah akan air mata dan hidungnya yang memerah. 

“Udah lama banget nggak lihat kamu nangis,” kata sang ayah seraya menyiapkan nasi di empat piring untuk keluarganya kemudian menaruhnya di hadapan kursi yang mereka duduki. 

“Papaa,” rengek Heyan masih sesegukan. 

Aryanto terkekeh kecil. “Papa tadi beliin kamu smoothie bowl sama cookies kesukaan kamu mau Papa ambilkan?”

“Emangnya Papa tau rasa kesukaan aku?”

“Tau dong. Cek aja sendiri. Ersa juga Papa belikan pizza.”

“Makasih, Papa,” sahut Hersa yang kemudian tersenyum lebar ke arah sang adik. 

“Aku dibeliin Papa pizza, tapi kamu dibeliin buah, jangan iri ya, Adek.” Ujaran sang kakak membuat kesal Heyan, tetapi ia tak membalas sebab Kesia menghentikannya. 

Arti Sahabat | 00lineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang