26. Serpihan Hati yang tak Tersuarakan

287 51 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


••••••

Tak pernah ada di bayangan Reka bahwa ia menginjakkan kaki di rumah musuhnya, seperti yang terjadi padanya malam ini. Ini semua disebabkan atas bujuk rayuan sang sahabat, Nares. Awalnya, jelas saja Reka menolak dengan teriakan, tetapi karena Nares sampai memohon dengan sorot mata memelas, akhirnya Reka mau untuk menemaninya ke rumah Sagio, mengecek keadaan pemuda itu-katanya sedang sakit dan hanya berada di rumah seorang diri.

Sekarang, kekesalan mengusik Reka. Penyebabnya adalah seorang pemuda yang sedang bergelung di dalam selimut di kasur yang tak jauh darinya. Ia berdiri seraya melipat kedua tangan di dada. Nares memintanya untuk menemani Sagio sementara dia pergi ke dapur untuk membuat bubur. "Kata Nana lo nggak mau diajak periksa ke dokter?"

"Kenapa nggak mau? Batuk lo udah parah banget sampai muntah kayak gini dan lo masih aja ngeyel nggak mau diperiksa ke dokter? Apa yang ada di otak lo?" cerca Reka jengkel atas sikap Sagio. Beberapa menit berlalu sejak ia datang hingga sekarang, sura batuk bersahutan, tak juga menghilang.

Sagio terbatuk sesaat lalu menjawab lirih, "Benci rumah sakit."

Reka berdecak, matanya sesekali melirik ke arah pintu sebab Nares tak juga muncul. "Yaudah klinik." Mendapat jawaban berupa gelengan kecil dari kepala yang sedikit terihat berhasil memperbesar kejengkelan Reka.

"Lo punya dokter keluarga kan. Mana nomornya?" tanya Reka sembari memakai ponselnya.

Belum sempat ucapkan balasan, Sagio bergerak melesat ke kamar mandi seraya batuk-batuk begitu keras. "Uhuk-uhuk."

Reka menghela napasnya panjang lantas mengikuti dari belakang. "Bahkan batuk lo sampai muntah-muntah." Ia bersandar pada pintu putih kamar mandi tersebut, menyaksikan pemuda di seberangnya yang sibuk memuntahkan cairan tanpa warna.

Reka melipat kedua tangannya di dada, ekspresi sebalnya sangat gamblang tercipta. Ia tak suka tingkah laku Sagio saat sakit, susah diajak berobat, sama seperti Hanza. "Dengerin tubuh lo, lo perlu ke dokter!"

Sagio masih sibuk mengeluarkan muntahannya yang hanya berupa cairan bening sebab dirinya memang belum memakan apa pun sejak pagi. Tangannya pada wastafel menjadi tumpuannya untuk berdiri, pusing di kepalanya tak juga pergi, matanya memerah dan berlinang air, rasa lemas makin menjadi, tenggorokannya sakit hingga membuatnya malas bersuara. Setelah merasa tak akan muntah lagi, Sagio membersihkan mulutnya dengan air lantas menjatuhkan tubuhnya perlahan ke lantai.

Sagio menyadarkan tubuhnya pada dinding, ia dapat mendengar suara derasnya hujan dari arah luar. "Hujan deras."

"Ada taksi online."

Sagio memejamkan matanya yang terasa panas ketika terbuka, ia mengela napasnya panjang dan berkata pelan, "Gue nggak ada uang."

"Minjem temen satu geng lo. Sekalian minta mereka buat ke sini," jawab Reka enteng.

Arti Sahabat | 00lineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang