prolog

154 57 22
                                    

Happy reading!!

***

Seorang perempuan tengah berdiri disamping lelaki yang sedang menenteng helm nya. Namun, perempuan itu terlihat begitu acuh terhadap situasi saat ini.

"Kamu kedinginan?" tanya lelaki itu kala melihat wajah kesal dari perempuan disampingnya.

"Ck," Naya menghela napas berat.

"Ini cuma rintik, mau ditungguin sampe kapan?" lanjutnya.

"Maaf," gumam lelaki disampingnya.

***

"Berhenti, gila!" Kata Naya, "Lo mau bunuh dia?"

Bara menyeka sudut bibirnya yang berdarah.

"Lo bilang Lo mau berubah. Enggak emosian kaya gini lagi. Tapi apa? Lo secara langsung nunjukin kelakuan brengsek Lo." Naya terus menerus melontarkan pernyataan yang tiap katanya berhasil mencabik-cabik hati Bara. Semenjak hubungan dirinya dengan Naya terkuak, jiwa posesif nya begitu sulit ia tahan seakan menguar bebas begitu saja.

"Dia jahat, sayang. Dia pegang-pegang kamu." Bara masih berusaha tenang meskipun matanya sudah memerah menahan beningan kristal yang akan tumpah. Dia menunjuk Dirga dengan telunjuknya dan menatap Naya dengan tatapan paling menyakitkan.

Naya menggelengkan kepalanya ribut.
"Justru kak Dirga udah bantu nahan gue yang hampir jatuh karena kesandung kaki gue sendiri. Lo engga seharusnya langsung ambil hakim sendiri. Gue masih punya mulut buat jelasin keadaan. Kalo kaya gini kesannya Lo engga percaya sama gue, Bara," tegas Naya.

Bara melepaskan tawa miris, bibirnya tersungging kecil menertawakan nasibnya yang buruk. Disaat orang tercintanya malah membela pria lai. Di pegang nya kedua bahu Naya.
"Kamu engga tau aslinya dia, sayang. Dia punya niat jahat sama kamu. Aku diem dari kemarin-kemarin karena dia masih di garis batasan, tapi sekarang dia udah berani nyentuh kamu. Aku engga bisa terus-terusan diem, Naya. Bahkan kalau bisa aku hajar sampai mati!"

"LO AJA YANG MATI!" Naya meninggikan suaranya disaat Bara mulai menaikkan nada suaranya. perempuan itu terengah-engah, dan membantu Dirga untuk berdiri membelah kerumunan menuntun menuju UKS.

Bara terkesiap dan termenung. Mencerna perkataan Naya barusan. Dia membuang nafas nya panjang, kemudian membalikkan badannya berlalu meninggalkan TKP dengan terburu-buru. Air matanya sudah tak dapat ia bendung lagi. Kekecewaan semakin dalam dia rasakan. Hatinya begitu sakit. Sangat sakit. Bahkan luka pukulan Dirga di sekujur tubuhnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sakit hati yang ia rasakan.

***

"Tau engga bedanya hujan sama angin?" Selama kenal hingga menjalin hubungan asmara, bukan sekali dua kali Bara mendengar pertanyaan ini keluar dari mulut Naya.

Deru angin terdengar begitu menenangkan. Sang surya mengeluarkan semburat merah yang indah. Kadang kata saja tidak mampu menjelaskan keindahan alam semesta ini. Begitulah yang di rasakan Naya.

"Lo dan gue," sambungnya.

Lelaki itu enggan menjawab. Ia hanya fokus pada pandangan Naya yang terlihat lelah. Ia juga enggan bertanya. Biarlah, biarlah seperti ini dulu. Namun, dia salah. Seandainya ia bertanya di hari itu. Apakah mereka akan tetap bersama? Andai saja sore itu iya menahan Naya tetap di sisinya. Apakah keadaannya akan tetap seperti kala itu? Entahlah, ia tak bisa memprediksi jawaban yang tepat.

***

Bara menggelengkan kepalanya dengan cepat. Matanya masih terpejam rapat. Tangannya menopang berat tubuh nya ke pembatas balkon di kamarnya.

Tidak! Ia tidak mabuk. Lelaki itu sadar seratus persen.

"Berhenti ingatan, sialan," gumamnya.

Namun yang lebih sial itu semua mustahil, hatinya masih berlabuh di tempat yang sama di tambah kini sang tempat juga membuka gerbangnya dengan sukarela.

***

Maaf kalau bahasa atau tanda bacanya masih berantakan, soalnya aku masih pemula bangett xixi

Mohon dukungannya!! dengan vote dan tinggalkan komentar, yaa, fadears😘

Kembali? [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang