Happy reading!!
***
Setelah nama lengkap dari perempuan itu ia sebutkan, tidak ada balasan diterimanya. Dadanya berdenyut nyeri kala isi kepalanya dapat menyimpulkan bahwa memang benar perempuan di depannya ini bukan perempuan yang bernama Annaya Bellvarana.
"Jadi benar? Lo bukan Naya?" tanya lelaki itu lirih. Ada jeda setelah bara menanyakan hal itu. Naya harus menarik garis terlebih dahulu untuk menggambarkan sejauh mana lelaki itu tahu. Memang benar ia akan memberitahu fakta tersebut, tapi situasi ini terlalu tiba-tiba untuk ia mengerti.
"Kenapa lo bohongi gue selama ini kalau lo bukan Naya?! Tujuan lo apa?"
Hanya identitasnya yang ditanyakan? Artinya dia belum tahu jika accident itu bukan bunuh diri. Perempuan itu menggigit bibir seakan menahan untuk membela diri. Padahal ia tau ini memang salahnya. Ia akan mengakui kesalahannya, tapi apakah lelaki ini mau menerima penjelasannya?
"Lo mau diem aja seperti kesalahan lo yang udah-udah, hm?" pertanyaan yang di lontarkan Bara tidak memiliki unsur emosi. Lelaki itu menahannya. "Lo mau buat gue salah paham lagi? Yang lalu aja lo belum jelasin, sekarang juga lo nggak mau jelasin juga?"
Naya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan untuknya. Ia menundukan kepalanya, kedua tangannya bertautan saling memilin. Jika ia mengatakan kalau adik perempuan dari lelaki ini adalah pembunuh apakah lelaki ini akan percaya padanya? Tidak ada bukti atau saksi mata lainnya selain dirinya, tidak?! Rio juga melihat perempuan itu tapi benar, Rio tidak melihat wajah dari perempuan itu. Banyak kemungkinan yang akan terjadi. Tapi, ia akan mengenyampingkan kemungkinan-kemungkinan itu. Baiklah, ia akan mengatakan alasannya pada lelaki ini.
"Hari itu gue mau nyusul Naya di sekolahnya untuk jenguk mama di rumah sakit. Tapi dia malah terjun dari gedung sekolah. Terjun? Nggak dia didorong, lebih tepatnya dibunuh. Saat itu ekonomi keluarga gue benar-benar buruk, ayah gue kecanduan judi sedangkan mama gue rawat intensif karena penyakit jantungnya. Gue dijanjikan pembayaran rumah sakit mama gue di tanggung kalau gue tutup mulut siapa pelakunya," suaranya terjeda.
"Kenapa harus tukar indentitas? Lagipula Naya itu karakter yang begitu mencolok di sekolah. Seandainya orang tahu kalau Naya yang mati, semua tidak akan berjalan dengan lancar hingga sekarang. Naya murid paling unggul di sana, otomatis media akan menjadikan santapan yang membuat kasus bunuh diri itu menjadi kasus pembunuhan. Sebenarnya sulit bagi gue beradaptasi dengan karakter dia, tapi gue...gue nggak...punya pilihan," ucapan perempuan itu terputus-putus saat matanya bertabrakan dengan netra Bara. Tatapan lelaki itu melembut tidak menampakkan keraguan yang sangat ketara seperti tadi. Ia masih diam mendengar penjelasan dari perempuan itu.
"Pelakunya orang yang sama dengan orang yang bunuh Shaka," lanjutnya.
Alis Bara bertaut kala nama adiknya disebut. "Shaka bukan bunuh diri. Dia juga dibunuh. Lo pasti ingatkan saat papa lo kasih gue uang di lobby hotel lounge? Gue masih nggak ngerti kenapa papa lo turun tangan untuk perempuan itu. Ternyata dia berusaha nutupin kejahatan anaknya, tapi..." Naya menjeda ucapan saat melihat air muka lelaki itu yang tersentak. Anaknya? Tidak, bukan dirinya! Pria paruh baya itu tidak pernah benar-benar memberikan anaknya kasih sayang. Pikir lelaki itu.
"Tapi setelah kenal lo gue juga baru tahu kalau keluarga kita sama-sama berantakannya, bedanya gue hancur tak terbentuk lagi. Dari sana gue bisa berpikir kalau papa lo berusaha menjaga nama baiknya bukan untuk anaknya," lanjutnya.
Bara mengerutkan keningnya dalam mencoba mengerti anak yang dimaksud. Ia kurang terima jika papanya melindungi anaknya dari scandal. Dahulu saja saat Syafa hilang ia buru-buru mencari bayi untuk diadopsi agar namanya tidak tercemar sebagai orang tua yang lalai. Syafa dan Shaka bukan anak kembar. Keduanya bersama dan mencoba menjadi anak kembar. Namun, saat Shaka berumur tujuh tahun Syafa ditemukan di sebuah panti asuhan. Mau tidak mau papanya mengakui jika mereka kembar dan mengatakan saat bayi Syafa dititipkan pada Omanya karena untuk meringankan pekerjaan sang istri mengurus anaknya. Padahal ia orang berada bahkan ekonominya jauh diatas stabil sangat tidak mungkin bukan kalau ia tidak mampu untuk menggaji seorang babysitter? Ditambah lagi dengan alasan kalau ia tidak ingin anaknya diurus oleh orang yang tidak ia kenal.
Sungguh dramatis sekali pria tua itu. Tapi media malah mengatakan bahwa pria tua itu sangat menyayangi istrinya. Padahal saat mereka kehilangan Syafa sang istri sempat mengidap gangguan jiwa dan dengan teganya ia mengurung sang istri dalam kamar. Pria itu nekad mengadopsi Shaka dari panti asuhan untuk menyembuhkan sang istri. Ia takut media mencium berita bahwa istrinya gila. Dari kesimpulan yang bisa Bara tarik adalah papanya hanya mementingkan dirinya sendiri, sampai sekarang. Meskipun begitu ia tidak lupa dengan tanggung jawabnya sebagai orang tua untuk anaknya. Finansial yang diberikannya selalu cukup bahkan berlebihan. Jadi jika papanya berusaha menjaga nama baiknya itu bisa diterima, ia benci scandal yang berusaha merusak namanya ataupun perusahaannya.
"Anaknya?" tanya Bara. Hanya tersisa dirinya dan... Syafa?
"Benar, dia yang udah bunuh Shaka dan Naya." Perempuan itu terlihat tahu isi pikiran Bara.
Perempuan itu menatap Bara selama beberapa saat. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu lagi, namun ia mengurungkan niatnya. Lalu ia membersitkan tawa yang menyerupai tawa ironis. Sudah jelaskan kalau lelaki itu tidak mempercayainya? Padahal ia sudah mengatakannya sejujur-jujurnya.
"Gue nggak minta lo percaya, tapi terlalu kejam kalau lo nggak percaya. Lo sendiri yang mau dengar penjelasan dari gue, kan?" Perempuan itu terlihat sangat lelah, ia menyandarkan tubuhnya pada sofa. Tangan kanannya menutup mulut dan naik ke atas meremas rambutnya. Siapa yang tidak stres diposisinya sekarang? Tidak ada harapan lain selain kepercayaan manusia di sampingnya ini. Ayolah, sampai kapan manusia ini akan menutup rapat mulutnya? Batin perempuan itu.
"Jadi gue harus manggil lo apa? Nade?" tanya Bara.
Perempuan itu menegakkan tubuhnya. Saat netranya bersibobrokan dengan netra Bara, ia masih melihat keraguan di wajah Bara yang datar itu.
"Gue udah terlalu asing untuk nama itu," balas Naya. Perempuan itu menatap sembarang arah dengan raut lelah. Sudah tiga tahun ia hidup dengan nama Naya, bukan hanya nama tapi karakternya juga sangat bertolak belakang dengan karakter dia dulu.
"Tapi, mau sejauh apapun gue pergi, nama itu tetap nama gue. Bahkan mati sekalipun, yang gue bawa tetap nama gue, Nadeya Vallrane," lanjutnya. Benar bukan? Namanya tetap namanya. Satu tahun yang lalu dia begitu merasa bersalah pada saudara kembarnya. Tepat sebulan kematian mamanya, saat pemasangan batu nisan, perempuan itu juga mengganti nisan milik saudara kembarnya. Jadi identitas yang ia gunakan sekarang benar-benar identitas yang sudah mati. Ia pencuri.
Begitu merasa bersalah, sekarang ia bertekad menguakkan perempuan itu pada media. Ia sudah memutuskan apa yang akan dilakukannya besok.
***
Gimana? Sampai ini aman?
Kalian mampir jangan lupa tinggalkan jejak yaa!!
Awas aja kalau nggak, nanti aku cubit🤏🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali? [PROSES TERBIT]
Teen Fiction"Yang bertemu kelak akan berpisah, yang pergi pasti juga belum tentu kembali" ••• Sebelum Bara begitu dingin kepada Naya, mereka adalah sepasang kekasih yang berpisah karena konflik antara kedua nya. Namun, konflik itu tidak bisa untuk didiskusika...