6. Rumah?

62 37 8
                                    

Happy reading!!

***

Malam yang sunyi Bara duduk di balkon berteman kan angin malam yang berhembus satu arah. Puntungan rokok di selah jarinya sudah menjadi konsumsi nya sehari-hari. Netranya fokus memandang bulan yang bulat sempurna. Ingatannya kembali di waktu dirinya masih bersama perempuan itu.

Flashback on

"Berhenti, gila!" Kata Naya. "Lo mau bunuh dia?"

Bara menyeka sudut bibirnya yang berdarah.

"Lo bilang lo mau berubah. Engga emosian kaya gini lagi. Tapi apa? Lo secara langsung nunjukin kelakuan brengsek lo." Naya terus menerus melontarkan pernyataan yang tiap katanya berhasil mencabik-cabik hati Bara. Semenjak hubungan dirinya dengan Naya terkuak, jiwa posesif nya begitu sulit ia tahan seakan menguar bebas begitu saja.

"Dia jahat, sayang. Dia pegang-pegang kamu" Bara masih berusaha tenang meskipun matanya sudah memerah menahan beningan kristal yang akan tumpah. Dia menunjuk Dirga dengan telunjuknya dan menatap Naya dengan tatapan paling menyakitkan.

Naya menggelengkan kepalanya ribut.
"Justru kak Dirga udah bantu nahan gue yang hampir jatuh karena kesandung kaki gue sendiri. Lo engga seharusnya langsung ambil hakim sendiri. Gue masih punya mulut buat jelasin keadaan. Kalo kaya gini kesannya lo engga percaya sama gue, Bara." Tegas Naya.

Bara melepaskan tawa miris, bibirnya tersungging kecil menertawakan nasibnya yang buruk. Disaat orang tercintanya malah membela pria lai. Di pegang nya kedua bahu Naya.
"Kamu engga tau aslinya dia, sayang. Dia punya niat jahat sama kamu. Aku diem dari kemarin-kemarin karena dia masih di garis batasan, tapi sekarang dia udah berani nyentuh kamu. Aku engga bisa terus-terusan diem, Naya. Bahkan kalau bisa aku hajar sampai mati!"

"LO AJA YANG MATI!" Naya meninggikan suaranya disaat Bara mulai menaikkan nada suaranya. perempuan itu terengah-engah, dan membantu Dirga untuk berdiri membelah kerumunan menuntun menuju UKS.

Bara terkesiap dan termenung. Mencerna perkataan Naya barusan. Dia membuang nafas nya panjang, kemudian membalikkan badannya berlalu meninggalkan TKP dengan terburu-buru. Air matanya sudah tak dapat ia bendung lagi. Kekecewaan semakin dalam dia rasakan. Hatinya begitu sakit. Sangat sakit. Bahkan luka pukulan Dirga di sekujur tubuhnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sakit hati yang ia rasakan.

Situasi sekarang seakan mengatakan benar Bara Pradikaraja memang memiliki raga Annaya Bellvarana, tapi hati perempuan itu siapa yang menjamin pemilik adalah Bara?. Sudah setengah tahun mereka menjalin hubungan asmara tapi jika boleh jujur bara tak pernah mendapatkan balasan cinta dari Naya. langkahnya fokus pada anak-anak tangga namun mulutnya terus menggumamkan kata yang sama. tidak apa-apa. tidak apa-apa. Bara terus mengucapkan mantra andalannya.

"Bara!" panggil Aidan.

Bara tidak menjawab, bahkan dia tidak menoleh sedikitpun pada Shaka. Dia meneruskan langkahnya menaiki anak tangga dengan cepat. Hingga ia sampai di anak tangga terakhir dan membuka knock pintu rooftop. Berdiri di tepi pembatas.

Bara ingin pergi ke rumah yang selalu berhasil membuatnya tenang. Bara ingin menepi di tepian pasir putih yang berteman kan deburan ombak, beratapkan langit orange yang terpantul sunat matahari sore, sembari merasakan hembusan angin damai. Bara butuh rumahnya. Ia butuh tempat istirahat. Itu hal yang Bara rasakan saat bersama Naya.

Namun rumah yang diharapkannya masih belum menjadi miliknya. Meskipun ingin, sampai detik ini dia sendiri masih bingung bagaimana agar rumah itu menjadi tempat singgahnya dan turut membukakan pintu untuk nya.

Kembali? [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang