19. Bukan dia orangnya

57 26 47
                                    

Happy reading!!

***

Dalam ruangan yang gelap. Seorang lelaki terduduk di lantai bersandar pada tempat tidur bertemankan tembakau yang sudah dibakar. Hari dimana ia pulang dari rumah Naya, ia lempar abaikan kenyataan bukan dia orangnya. Sudah lima hari ia berdiam diri di kamarnya. Rasanya kecewa kembali menghantam dadanya. Jantungnya seperti rusak, setiap hari merasakan denyutan yang menyiksanya. Bahkan keadaan tidur sekalipun ia juga merasakan denyutan sesak itu di dalam alam bawah sadarnya. Sejauh apa dirinya mengabaikan fakta ini? Ia tidak pernah mencari tahu tentang kematian adiknya. Setelah adiknya dinyatakan bunuh diri kini perempuan itu juga terbunuh di hari itu? Mengapa ia tidak mengetahui identitas perempuan yang dinyatakan bunuh diri di hari yang sama dengan kematian Shaka? Lantas yang selama ini bersamanya adalah kembaran dari perempuan itu? Konyol sekali! Ia kembali di kecewakan. Lelaki itu mulai berdamai dengan accident dimana ia melihat hal tidak sepantasnya dengan mata kepalanya sendiri. Kini telinganya ikut mendengarkan hal yang rasanya ingin sekali ia bantahkan.

Setelah bermeditasi selama lima hari dalam ruangan itu kini ia sedikit mendapatkan jawaban mengapa dahulu saat pertama kali bertemu kembali di sekolah menengah atas sifat Naya begitu dingin padanya. Ternyata bukan dia orangnya. Lagi-lagi lelaki itu memekik tertahan berharap mengeluarkan masalah yang ada di kepalanya ini.  Mengapa perempuan itu begitu tega membohonginya selama ini? Apa tujuan perempuan itu? Apa yang sudah ia lakukan hingga mendapatkan penghianatan yang bertubi dari perempuan yang ia cintai?

Cintai? Ia bahkan tidak tahu pasti pada siapa cintanya ini berlabuh. Yang sudah pergi atau yang masih ada di sini? Jauh sebelum ini terjadi, ia sangat yakin kalau perasaan ini milik dia yang masih ada di sini.

Lelaki itu mengeluarkan asap yang mengepul dari mulutnya. Rahangnya mengeras dan matanya masih terpejam merasakan luka-luka yang tertoreh dalam dirinya. Ia tidak akan pernah bisa memaafkan perempuan itu meskipun rasa cintanya sudah habis pada perempuan itu.
Kepalanya tidak sanggup berpikir bahwa kenyataan ini sungguh tidak berdasar. Tidak berdasar. SUNGGUH TIDAK BERDAS---. pekikannya dalam hati terhenti.

Matanya terbuka lebar. Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan berdiri dari duduknya. Benar semua berdasarkan sekarang. Lelaki itu tidak akan menelan mentah-mentah tuduhan sialan itu. Ia mengedarkan pandangannya mencari benda pipih berbentuk persegi.

"Ck," decakan kesal keluar begitu saja saat ia kesulitan untuk menemukan handphone nya yang ia lempar sembarang arah. Lelaki itu bersedekap pinggang, kamarnya sudah seperti kapal pecah. Kemana perginya benda itu? Ia melemparkannya lima hari yang lalu. Ia mencoba mengingat kemana jatuhnya beda tesebut. Yah, tidak. Ia tidak berhasil mengingatnya. Masa bodo dengan beda itu. Ia berjalan mengapai bajunya yang terletak di bawah ujung kasur. Badannya membungkuk mengambil namun, matanya menangkap sesuatu di samping kasurnya. Kepalanya ia miringkan. Handphonenya. Saat di hidupkan namun baterainya sudah ingin di isikan oleh tenaga listrik lagi. Handphone nya kehabisan baterai!!

Bara sudah tidak ada waktu dengan hal sialan ini. Ia terburu-buru keluar dari kamarnya. Pintu apartemennya terbuka, matanya membelalak namun terlihat gentir. Seseorang di depan sana adalah tujuannya yang terburu-buru ini. Perempuan yang sudah lima hari tidak ia lihat kini berdiri di depannya. Bara yang tadinya tidak sabaran ingin bertemu dengan perempuan di depannya ini untuk meminta penjelasan, kini berdiri kaku tidak tahu ingin berekspresi seperti apa. Ia memundurkan langkahnya saat dilihatnya perempuan itu mengambil langkah maju.

Naya menatap gamang ke arah Bara. Ada apa lagi ini? Batin perempuan itu saat melihat penolakan tak kasat mata terlihat di depannya.

"Gue pulang," lapor Naya, pasalnya sejak kepergiannya ke negara tetangga lelaki ini sulit untuk dihubungi. Laporan dari perempuan itu lelaki di depan sana masih terdiam. "Maaf, gue nggak menang," ucapannya kali ini meruntuhkan bendungan air dimatanya. Ia berharap Bara juga mengatakan hal yang sama seperti dalam pikirannya, kalau ini bukan masalah yang besar. Ia berharap Bara maju dan mengatakan tidak apa jika tidak membawa pulang penghargaan utama itu. Dan ia berharap Bara maju merengkuh tubuhnya yang rapuh ini. Harapannya sirna saat balasan yang diterimanya dari lelaki itu.

"Berarti voucher lo hangus," tegas Bara.

Bahu Naya merosot lemas, "tapi, sebelum gue berangkat lo bilang-"

"Lo percaya?" potong Bara. Raut mukanya terlihat meledek Naya yang percaya perkataanya begitu saja. Perempuan itu menatap tak percaya ke arah lelaki itu.

"Bar, nggak lucu, ah," cicitan Naya terdengar bergetar.

"Gue nggak lagi ngelucu," terang lelaki itu. Namun lelaki itu sadar dengan tujuannya yang akan meminta penjelasan dari perempuan di depannya ini. Ia hampir meledak.

"Masuk," ajak Bara.

Pintu tertutup rapat saat Naya sudah ikut masuk ke dalam apartemen milik Bara. Naya melihat sekelilingnya, ruang itu terlihat tidak baik-baik saja, terasa begitu suram daripada saat dirinya terakhir kali berkunjung ke sini. Ia memperhatikan pergerakan Bara yang sudah terduduk di sofa. Lelaki itu hanya diam sama sekali tidak mempersilahkannya untuk duduk di sana, seolah ia tak kasat mata.

Naya ikut duduk di sofa yang sama dengan Bara namun ia menyisakan sedikit ruang diantara keduanya. Helaan napas panjang keluar dari mulut Naya. Ia memejamkan matanya mengontrol emosinya yang akan meledak. Apa yang salah dengan lelaki di sampingnya ini? Secepat itu melupakan perkataannya lima hari yang lalu?

"Lo siapa?" Suara lelaki itu membuka topik di dalam ruangan yang suram itu.

Naya tersentak kala pertanyaan tersebut menguat di sekitarnya. Ia menoleh tidak percaya ke arah Bara. "Pertanyaan lo nggak salah? Gue ya gue lah, Naya. Annay-,"

"Nadeya Vallrane," potong Bara.

Naya kembali tersentak kecil. Sekarang ia mengerti mengapa Bara memperlakukannya seperti ini, meskipun jauh sebelum lima hari yang lalu lelaki itu sama dinginnya seperti sekarang. Naya menarik napas teratur mencoba menahan denyutan yang tiba-tiba menyerang jantungnya. Ia mengangguk, mungkin memang sekarang waktunya ia beri tahu kepada Bara tentang siapa dirinya. Meskipun lelaki itu sudah mengetahuinya dari orang lain. Tidak apa-apa, buktinya sekarang ia diizinkan masuk ke dalam dan duduk di sebelah lelaki ini. Artinya dia masih ingin tahu lebih dari mulutnya, bukan?

***

Bagian mana typo, guys??
Tell me!!

Tinggalkan jejak kalian!!

Kembali? [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang