14. Bujukan

43 27 3
                                    

Happy reading!!

***

Dalam kelabu hitam yang menderai tak ada cahaya yang menemani. Hanya dirinya seorang di tengah gelapnya malam itu. Ia berjalan dengan beralaskan sepasang sepatu putih yang sudah berwarna kecoklatan. Menggenggam erat tali dari tas ranselnya. Perempuan itu mendesis kesal saat beberapakali menginjak lubang. Jalanan di dalam gang menuju rumahnya itu benar-benar gelap. Tidak ada lampu jalan yang menemani, hanya ada senter handphone di tangannya.

Ia menghentikan langkah saat netra nya menangkap seorang lelaki tengah bersandar pada badan motor di depan rumahnya. Alisnya ikut bergerak kala matanya menyipit. Radit? Batinnya.

Ia mempercepat langkahnya sampai di depan lelaki itu. "Ngapain di sini?" tanya Naya.

"Harusnya gue yang nanya, jam segini lo baru pulang? Darimana aja?" Radit balik menanya.

Perempuan itu tersenyum kala ia ingat habis darimana namun, di persekian detik senyumannya pudar. "Ngapel bentar sama Bara," senyumannya melengkung lagi.

"Huh, bagus dong, jadi udah sejauh mana?"

"Gue punya dapet tantangan dari dia," jawab Naya.

"Apa itu?"

"Kasih tau enggak, yaaa??"

"Apaan, Nad? Kepo gue, nih," tutur Radit.

"Ada, deh. Intinya kalau gue menang, gue dapet voucher dari Bara," jawab Naya.

"Voucher?" tanya lelaki itu yang di balas anggukan kepala oleh Naya.

"Iya, Voucher full time seminggu bareng Bara," mimik muka Naya sumringah.

"Nad," panggil Radit yang di balas deheman oleh Naya.

"Rawat intensif, ya, hm," bujuk Radit.

Air muka Naya berubah saat panggilan yang disematkan lelaki itu padanya, "Gunakan waktu lo untuk sembuh, ya, lo nggak boleh terlihat nggak peduli sama kesehatan tubuh lo sendiri, gue mohon, Nad." Radit mempertahankan bujukannya.

"Dit, berhenti panggil gue Nade, kita udah sepakat, lo lupa?"

"Nggak, gue nggak pernah lupa kalau lo itu Nade bukan Naya, apa yang harus di sembunyikan? Di sini cuma ada kita berdua," final Radit.

Perempuan itu menghela napas berat. Pandangannya genting ke arah lelaki di depannya. "Terserah lo, satu lagi, gue harap lo juga berhenti peduli ke gue. Tiap jumpa Sahara, dia bilang gue harus dirawat di Rumah sakit dan jalanin terapi. Gue muak dengarnya."

Radit menyambar kalimat Naya, "Jalanin terapi. Lo harus dirawat, Nad."

"Berdoa dan berharap untuk sembuh? Terlihat sangat menyedihkan kalau kondisi gue nggak membaik sama sekali. Gue juga kesal nahan sakitnya karena proses terapi. Lagi pula percuma, dokter udah vonis hidup gue selama tiga bulan lagi. Gue nggak mau buang waktu berharga gue kaya gitu," suaranya bergetar hebat saat menjelaskan kondisi saat ini. Ia sudah tidak mampu lagi menahan isakan yang keluar dari bibir mungilnya.

"Nad," panggil Radit lirih.

"Gue mau ini semua cepat berakhir. Itu sebabnya gue mau hidup dengan waktu yang ditengatkan dengan maksimal," ungkap Naya. Perempuan itu sudah terisak-isak sambil menggenggam erat jemari-jemari sahabatnya lamanya.

Radit kembali menggenggam tangan Naya, "Jadi keputusan lo bulat buat nyerah? Terus gimana dengan Naya? Lo akan jujur atau biarin semua ini terkubur? Gue harap lo pilih opsi terakhir. Dengan begitu usaha  kita bertiga selama hampir tiga tahun ini nggak sia-sia," papar lelaki itu.

"Dit," Naya menepis tangan Radit. "Gue pilih opsi pertama. Gue nggak mau kejahatan ini gue bawa mati. Ngertiin posisi gue, yaa," pinta Naya.

Keduanya saling menggelengkan kepalanya, yang satu mencoba membujuk, yang satunya menolak mentah. "Gue nggak bisa," jujur lelaki itu di balas kekehan kecil yang terdengar begitu memilukan.

Kembali? [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang