15. Ingkar janji

40 23 2
                                    


Happy reading!!

***

Keadaan pagi ini setelah upacara
bendera, Naya merasa tidak nyaman dengan dirinya. Kini ia memilih izin jam pelajaran untuk pergi istirahat ke UKS. Dari balik tirai yang sengaja ia tutup terdengar suara seseorang yang memulai pembicaraan.

"Kenapa lo biarin cewek itu lepas dari hukumannya,?" Itu suara lelaki. Tapi pada siapa ia berbicara? Saat dirinya masuk tidak ada yang piket dalam ruangan ini. Hanya ada brankar sebelah ditutup dengan tirai. Ia berpikir ada seseorang di balik tirai itu, ternyata benar itu seorang lelaki.

"Seharusnya lo nggak lepasin dia, Nay," kali ini Naya tau pada siapa lelaki itu berbicara. Naya turun dari brangkarnya saat ia menyingkap tirai di depannya, Rio terduduk di brankar sampingnya.

"Lo nggak tau gimana rasa sakit yang gue rasain, saat saudara kandung yang bertahun-tahun hilang itu ketemu diwaktu dia udah meregang nyawa. Lo nggak tau!" lanjut Rio. Naya membeku mendengar pengakuan Rio. Saudara kandung? Siapa? Jika pembicaraan ini menyangkut hari itu, yang tewas saat itu hanya Naya dan Shaka. Naya saudara kandung gue, yang gue tau Shaka Adiknya Bara, siapa yang dia maksud? Gue nggak pernah ngerti maksud pembicaraan dia selama ini. Pikirnya.

"Shaka, adik gue. Saat bayi dia di titipkan ke panti asuhan karena perseteruan orang tua kami yang menolak kehadirannya, saat akan di jemput kembali dia udah di adopsi bahkan tanpa tertinggal sedikitpun informasi siapa yang mengangkatnya menjadi anak. Sekarang tau kan alasan gue nggak suka sama lo dari dulu," mata tajam Rio menghunus aura permusuhan yang sangat kental ke arah Naya.

"Maaf," kata Naya. Perempuan itu kaget mendengar fakta yang keluar dari mulut lelaki di depannya. Ia masih terduduk di atas brankar, kedua tangan menopang di sisi tubuhnya. Kepalanya tertunduk. Dia menggigit bibir bawahnya, seakan menahan kata-kata yang siap meluncur dari mulutnya untuk membela diri. Namun, ia urungkan karena ia sadar jika ini memang benar salahnya.

"Percuma lo minta maaf, sekarang semua udah terkubur dalam. Ntah itu korban bahkan pelakunya sekali pun, udah nggak bisa di temukan. Kecuali lo mau jujur sama gue, siapa perempuan itu?" tanya Rio.

Nafas perempuan itu tertahan, seolah-olah setiap hembusan nafasnya adalah jawaban yang di cari dari lelaki di depannya.

"Lihat? Lo tetap mau ngubur kelakuan si pelaku itu, kan?" Rio bangkit dari duduknya. Ia juga memajukan langkahnya tepat berada di depan Naya. Bahkan perempuan itu tidak menyangka dalam kedipan mata lelaki itu kini sudah berlutut di bawah sana.

Lelaki itu sudah lelah mengitari bukti-bukti yang ada, semua abu-abu. Siapa yang sudah menyabotase semua bukti itu? Kedua korban yang tewas di nyatakan bunuh diri? Semua tidak masuk akal. Adik laki-laki nya tertusuk di pangkal tenggorokan, pisau ukir itu tergenggam erat di tangan kanannya. Sedangkan sang korban yang ia ketahui adalah seorang kidal, lihatlah? Dengan mudah pihak berwenang menyatakan bunuh diri? Bahkan pihak keluarga hanya diam saja mendengar putusan itu?

Ia masih tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi pada Shaka. Napasnya memburu, rasa sesak memenuhi dadanya. Lelaki itu mengangkat pandangannya. Netra mereka bertemu. Diraihnya tangan kanannya Naya. "Gue mohon, Nay," ucapnya gentir.

Naya sendiri sadar, kasus ini juga menjadi kasusnya. Sudah telak kalau ia juga yang membuat keputusan untuk terseret ke dalamnya. Ia tidak bisa mengundurkan waktu lebih lama jadi, dengan waktu yang ada sebisa mungkin ia gunakan untuk membuat semuanya terlihat. Ini juga termasuk keputusannya, untuk membeberkan siapa bayangan di hari itu? Meskipun ia harus ingkar janji, akan ia lakukan untuk menguak kebenaran. Meskipun resiko yang harus dia tanggung besar, perempuan itu tidak perduli.

"Gue nggak bisa langsung sebut namanya. Gue punya rencana, tapi gue butuh bantuan lo supaya dia sendiri yang menyerahkan diri kalau itu nggak berhasil, kita bisa pake plan satunya," balas Naya.

Diwaktu yang sama ia mengeluarkan handphone nya dan menyerahkan ke lelaki di depannya. "Ketik nomor lo, kedepannya bisa lebih gampang buat komunikasi," ucap perempuan itu.

***

Bau lembaran-lembaran kertas baru dan lama begitu menyengat di indra penciumannya. Keadaan yang begitu senyap membuat fokus pada tulisan di depan matanya. Seminggu kedepan di sinilah ia berada dalam tumpukan-tumpukan rumus yang begitu banyak memenuhi mejanya. Tangannya terus menulis dengan cepat rumus-rumus itu. Situasi yang damai itu berubah saat sebuah kertas jatuh di atas coretan rumusnya. Kertas itu kosong, namun ada satu kalimat di paling atas bertuliskan, Keinginan Nadeya Vallrane.

Naya mengeluarkan suara yang terdengar seperti dengusan. "Kaya anak kecil," paparnya.

Decitan kursi yang ditarik Radit terdengar menggema dalam perpustakaan sekolah itu. "Tulis aja, apapun itu gue kabulin," nada yang keluar terdengar sombong di pendengaran Naya.

"Yakin nih, apapun bakalan lo kabulin?" Naya memicingkan matanya. "Ck, nggak yakin gue," ucapnya lagi.

Radit menidurkan badannya pada badan kursi, lalu kakinya ia julurkan lurus ke bawah meja dan tangannya menyilang di dada. "Apa sih yang nggak bisa gue lakuin?" ujar Radit. Matanya ia pejamkan. "Itu lo bawa pulang aja, jadiin pr. Sekarang lo lanjut aja liat tuh rumus, bukannya lo mau full time bareng Bara?" tanyanya.

"Ide bagus, apa gue list full nama Bara aja? Bisakan?" tawar Naya.

"Bisa, tapi mati," balas Radit cepat.

"Iya, tau gue yang mau mati."

Radit langsung menegakkan badannya, "Gelap, Nay, gelap."

***

Seminggu berlalu dengan cepat. Satu hari pun tidak ada ia sisihkan waktu untuk melihat Bara barang sedikitpun menegur lelaki itu, ia tampak begitu fokus pada tujuannya. Namun, kemarin adalah hari yang tidak pernah ia sangka. Hari dimana ia harus memangkas rambutnya yang sebahu itu menjadi pendek sedagu. Naya habis di bully oleh Rivany.

Flashback on

Mereka berantem hebat di kamar mandi. Saat itu Naya yang akan kembali dari perpustakaan ke ruang kelas yang akan melewati kamar mandi, ditarik masuk ke dalamnya. Begitu masuk, tubuhnya langsung basah kuyup terkena siraman air langsung oleh Rivany. Dalam kamar mandi ini hanya ada mereka berdua.

"Lo masih nggak dengar apa yang gue bilang?"

"Kenapa sih, Riv? Semua pihak sekolah udah setuju, kok lo yang ngebantah, sih?" tanya Naya berani. Rivany langsung maju menarik kerah baju Naya dan mendorong Naya ke dinding.

"Lo bilang apa? Ngebantah? Itu seharusnya posisi gue, sialan!" Pekik Rivany. Naya memejamkan matanya.

Napas Rivany memberat dan cepat, sementara matanya menyalakan kobaran api yang siap membakar siapapun yang menaikan emosinya. Tangan kanannya meraih Gunting dalam sakunya dan langsung menarik rambut sebahu Naya. Ia menggunting asal rambut perempuan di depannya ini.

Mata Naya melebar dengan keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. "Lepas, Rivany. Lo gilaa?!" teriaknya sambil menahan tangan Rivany.

"Lepasin," Naya sudah berusaha melepaskan diri dari siluman di depannya ini, namun tenaganya kalah jauh.

Seringai tercetak di bibir Rivany, "Ini balasan lo karena lancang, Naya," ia membisikan kalimat itu pada telinga kanan Naya.

Rivany memundurkan langkahnya dan meneliti hasil karyanya di dapan sana. Senyuman lebar terpampang jelas pada wajah perempuan itu. Dan meninggalkan Naya sendiri yang sudah bernapas tidak karuan. Dadanya berdenyut terasa begitu terhimpit dan ngilu yang menyiksanya. Dirogoh saku roknya mengambil inhaler. Dengan beberapakali hirupan ia bergumam, bertahan, Nad. Bertahan gue mohon.

Flashback off

***

Gimana, manizzz??

Ternyata oh ternyata Rivany bahaya, ya!!

Kepoin mereka terus, yaaa
Vote dan komen 🫶🏻

Kembali? [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang