13. Apartemen

42 26 3
                                    

Happy reading!!

***

Ricuhnya kendaraan yang berlalu-lalang memenuhi jalanan di malam minggu. Gedung-gedung pencakar langit terang benderang di tengah kota. Dua insan tengah bersandar pada kursi di balkon salah satu bangunan pencakar itu. Netra nya masing-masing fokus melihat pemandangan di malam itu. Namun, salah satu di antara keduanya terdiam karena pemikiran lain. Suara notifikasi dari handphone Naya memecahkan keheningan itu.

Sahara, ganggu aja lo. Batinnya. Ia hanya melihat notifikasi yang masuk itu, sama sekali tidak berniat untuk membaca isinya.

"Balas aja kali, ntar dia nyariin," ungkap Bara saat melihat Naya mengabaikan notifikasi itu.

Sudut bibir Naya berkedut tipis. Disusul dengan batuk ringan, "Dari Sahara, sayangg. Cemburuan banget, sih." Ia mencolek bahu lelaki di sampingnya.

Bara tersenyum. Tidak! lelaki itu hanya mengukir garis lengkung yang begitu tipis dan samar. Jantungnya berdegup kencang, hanya karena panggilan sayang yang di sematkan untuknya. Ia berharap suara debaran jantung ini tidak didengar oleh sang pelaku. Tidak ada yang mengetahuinya selain tuhan dan author.

"Kenapa enggak dari dulu?" pertanyaan yang menguar di udara membuat Naya menoleh dan menaikkan alisnya.

"Apa?" balas Naya.

"Sifat lo yang ini," tutur Bara.

"Kenapa harus sedingin itu sama gue yang dulu?" lanjutnya.

Perempuan itu menerawang jauh namun tidak menemukan jawaban yang tepat dari pertanyaan yang dilontarkan padanya.

"Gatau, mungkin setelah menghilang baru ngerasa kalau lo berharga bagi perempuan ini," ucapnya gentir.

"Bar, perempuan di samping lo ini enggak setegar kelihatannya. Tapi demi terlihat sempurna di depan lo, dia lakuin semua hal terlihat gampang di pandangan orang lain. Padahal dia enggak sanggup buat jalanin semuanya sendiri," ujar Naya.

"Bagian mana yang buat lo goyah buat jalanin semuanya?" tanya Bara.

"Semua, Bar. Semuanya. Hidup di dunia sebesar ini sendirian, itu kaya uji nyali. Nyokap dan kakak gue udah jumpa tuhan. Bokap entah dimana. Gue di sini enggak punya tujuan. Semua terlihat abu-abu, bahkan lo sekalipun." Naya mengadu. Kadang hal seperti ini memang harus di keluarkan unek-unek nya. Jika tidak, bisa saja menjadikan mental yang rusak untuk hidup yang berkelanjutan. Tidak salah menceritakan kesulitan hidup kita pada seseorang. Pastikan seseorang tersebut adalah orang yang kalian percayakan. Karena, jika tidak malah akan membuat masalah yang baru di kemudian hari.

Keduanya kembali terdiam. Keheningan melanda antara Bara dan Naya. Tidak ada kata yang keluar dari mulut Bara, begitupun Naya. Mereka menyelami pemikiran masing-masing. Notifikasi dari handphone Naya kembali memecahkan keheningan itu. Perempuan itu mengerutkan keningnya saat nama Radit terpampang di layar handphone nya. Namun, kali ini di lihat langsung oleh lelaki disebelahnya.

"Tuh, kan gue bilang apa? Nyariin, kan?" tiba-tiba saja nada yang dikeluarkan Bara terdengar begitu kesal.

Naya tidak sanggup menahan senyumannya. Lihat lah benar yang dikatakan Radit kalau lelaki ini juga sama-sama gagal move on dari hubungan mereka. Jadi apakah salah jika ia berharap lebih untuk ini? Perempuan itu mengerti kalau yang dilakukannya adalah egois. Jangka hidupnya sudah vonis oleh dokter, bagaimana bisa ia malah ingin mengikat orang yang dicintainya kedalam keegoisannya? Naya tidak memikirkan konsekuensi yang akan diterima oleh Bara jika ia pergi, biarlah itu urusan Bara. Pikirnya. Ia ingin egois. Apakah salah?

Tiga bulan. Dokter itu mengatakan bisa memastikan ia akan hidup selama tiga bulan. Bisa menjadi lebih, bisa menjadi kurang. Ia mau menghabiskan waktunya untuk lelaki di sampingnya ini. Jika bukan dia siapa lagi? Ia sudah tidak punya keluarga, benar-benar merasakan sebatang kara. Setelah vonis, pikirannya menjadi buntu daripada awal diagnosis. Jujur ia bingung harus bagaimana menanggapi pernyataan yang menghantamnya. Namun Naya mencoba mewaraskan pemikirannya. Karena ia juga memiliki janji dengan kakaknya sebelum menemui sang ilahi. Menggantikan perannya untuk terus di samping Bara, tapi ia malah menjatuhkan seluruh hatinya kepada lelaki ini. Naya tahu ini salahnya yang tidak bisa mengontrol perasaannya. Ditambah lagi perempuan itu juga ikut andil menutupi perbuatan jahat adiknya Bara. Ia tidak tahu harus mulai dari mana mengakui kesalahan-kesalahannya.

"Lo anak Beasiswa yang tercatat paling unggul. Gue dengar-dengar lo lagi ngebacking olimpiade, kan?" yang di jawab anggukan ribut oleh Naya.

"Gue punya tantangan, dapetin juara utamanya," lanjut lelaki itu.

"Apa hadiahnya?" komentar Naya

Berbeda dengan senyum simpul tadi, kini Bara tergelak. "Lo maunya apa, hm?" tanya lelaki itu.

"Balikan." Naya membalas dengan cepat ditambah senyuman yang merekah.

"Selain itu."

Senyuman lebar tadi tergantikan dengan wajah murung. Perempuan itu berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Sebulan full time bareng lo."

"Sebulan? Kelamaan, seminggu aja. Gimana?"

"Dua, deh. Dua minggu," tawar Naya.

"Oke, seminggu," final lelaki itu.

Perempuan itu mendengus kesal. Sebenarnya yang punya waktu terbatas itu lo atau gue, sih. Tuturnya dalam hati.

"Lo kerjaannya main terus, enggak ada belajarnya. Minggu depan udah berangkat olim, emang bakal yakin pulangnya bawa piala?" Bara senyum meremeh.

Naya melirik Bara dari ujung matanya. "Lo ngeremehin gue?"

"Liat aja minggu depan. Pokoknya lo harus siapin waktu lo buat gue." Ia merasa sedikit lega, setidaknya masih bisa bersama dengan orang ini sebelum hilang dari muka bumi ini.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Keduanya tidak ada tanda-tanda akan beranjak dari tempat duduknya. Mereka benar-benar menikmati malam ini dengan obrolan ringan yang sudah lama sekali tidak mereka lalui. Tawa Naya menguar kala Bara kembali mengungkit masa-masa lalu mereka. Bara kembali terpaku melihat wajah perempuan itu yang begitu sumringah di sampingnya. Ia sendiri sadar masih terjebak dalam perasaan yang sama. Atau mungkin tidak ingin keluar dari lembaran lama itu.

"Nay."

Naya menoleh. "Kenapa?" suara lembut dan senyuman hangat menyapa Bara. Tidak! Bara gelagapan, ia tak fokus mengedarkan pandangannya. Tapi sebisa mungkin menahan gelagatnya yang ingin menggonyoh pipi perempuan itu dan menariknya ke dalam pelukan. Tahan, Bar. Tahan. Pikir lelaki itu.

Tidak ada tanda-tanda akan mengeluarkan suara dari lelaki disampingnya.

"Kenapa, sih? Malah diem," tutur Naya.

"Udah malem, lo enggak pulang?"

"Kalau gue mau nginap, boleh, enggak?" Naya menaik-naikkan kedua alisnya. Tawanya kembali menguar, kali ini gelagat aneh Bara tertangkap retina Naya.

"Bercanda, tapi kalau di bolehin mau juga, sih." Naya bangkit dari duduknya. Namun, saat ia berdiri sebuah benda berwarna biru jatuh dari sakunya menimbulkan suara. Pandangan keduanya langsung tertuju pada benda itu. Naya yang melihat miliknya terjatuh, matanya tertuju pada benda itu lalu mengedarkan arah pandang kepada lelaki di depannya yang masih terduduk. Tidak ada tanda-tanda apapun dari lelaki itu. Naya tahu Bara tidak bodoh, ia tau benda apa itu. Inhaler.

Naya tidak sengaja menjatuhkannya. Dengan cepat diambilnya inhaler itu. Matanya berkaca-kaca, seiring hatinya ikut diremas perlahan tapi begitu menyiksa. Tidak ingin kah lelaki itu menanyakan hal sepele ini kepadanya. Begitu tidak perduli kah ia dengan perempuan ini?

Dicengkeramnya inhaler biru itu kuat. Sebuah senyuman miris tercipta di bibirnya. "Gue balik, ya." Naya tidak mendapatkan respon dari sang pemilik apartemen. Perempuan itu mengangguk kecil. Dan meninggalkan tempat itu dengan cepat.

***

Gimana, kalian suka nggak?
Honestly, aku udah mulai write blok tapi, aku maksa biar nggak libur huhu

vote dan komen, yaa, manizzz 🫵🏻🫶🏻

Kembali? [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang