00:20 : Modus

110 18 5
                                    

Peter koma. Itu adalah informasi terakhir yang Arexon dapat dari bodyguard yang ia tugaskan menjaga Peter di rumah sakit setelah semalam sempat kejang dan mendapat perawatan intensif di ICU. Pagi ini Arexon datang dengan tergesa-gesa dan mendapati ibu Peter menangis di depan ruang rawat anaknya.

"Tante ... Peter?"

Hana langsung memeluk Arexon. "Arexon, nak ... Peter ... gimana hidup tante kalau Peter sampai kenapa-napa?"

Arexon menepuk pundak Hana. Tenggorokannya serasa tercekik sesaat. Peter adalah anak sulung Hana yang mempunyai dua adik yang masih bersekolah. Mereka hanya tinggal berempat karena ayah Peter lebih dulu meninggal lima tahun lalu. Selama ini Peter yang menjadi tulang punggung keluarganya karena tidak tega melihat ibunya harus bekerja keras. Sepulang sekolah Peter akan langsung bekerja di bengkel dan pulang malam harinya. Untuk itu, jarang sekali Peter ikut berkumpul dan teman-temannya memaklumi.

Pun dengan Hana yang tidak pernah melarang anaknya untuk ikut geng motor. Setiap hari anaknya selalu bersemangat menceritakan seberapa baik teman-temannya. Seringkali Sigra akan mampir ke rumah sekedar mampir atau mengajak bermain adik-adik Peter. Terlebih Arexon yang sampai membuatkannya warung makan agar dia dapat bekerja dan tidak menjadi buruh seperti sebelumnya.

"Tante, kita berdoa semoga Peter lekas sadar dan berkumpul bersama kita lagi." Semua kata Arexon terasa menguap dan hanya menyisakan kalimat tersebut. "Arexon bakal melakukan yang terbaik untuk Peter, dia juga saudara Arex, tante."

"Nak, terima kasih ya untuk bantuan kamu selama ini." Hana melerai pelukannya setelah merasa lebih tenang.

Arexon memberi seulas senyum. "Sama-sama, tante jangan sungkan ya. Anak-anak Sigra, kan anak tante juga. Tante udah sarapan?"

"Ah, iya sudah tadi setelah mengantar adik-adik Peter sekolah."

"Kita duduk dulu, Tan ada yang mau Arexon bicarakan."
.
.
.

Selepas menjenguk Peter, Arexon mampir ke Indojuni terlebih dahulu untuk membeli minum dan istirahat sejenak.

"Berlian?" gumam Arexon dengan mata menyipit memastikan penglihatannya tidak salah. "Eh, iya bener Berlian. Memang ya jodoh itu gak ke mana." Arexon mesam-mesem sendiri, bahkan tangannya spontan mengembalikan minuman yang ada di tangannya ke lemari pendingin lagi dan menghampiri Berlian yang ada di jajaran snack.

"Hai," sapanya dengan senyuman secerah matahari di siang hari yang terik.

"Astaga." Berlian berjengit kaget dan melirik entitas tak dikenal itu.

"Eh, sorry lo kaget, ya?" Arexon langsung merasa tidak enak walaupun kenyataannya dia tadi menyapa dengan pelan atau mungkin hanya perasaannya yang terlalu senang karena bertemu dengan Berlian lagi.

Jangankan membalas, Berlian bahkan tidak menggubris keberadaan Arexon yang masih tak melunturkan senyumnya. Memilih menyibukkan diri dengan niat awalnya untuk memilih beberapa snack dari berbagai varian.

Arexon sedikit tercengang, troli yang Berlian pegang hampir penuh dengan ciki, namun hal itu tak menghentikan Berlian untuk memilih lagi. Dia kira Berlian termasuk jajaran gadis yang membatasi makanannya untuk menjaga tubuh. Gadis ini benar-benar unik sekali.

"Lo suka nyemil juga, ya? Sama dong kayak gue, gue sampai punya etalase mini di kamar buat stok makanan." Meskipun tidak mendapat tanggapan, Arexon tetap mengoceh untuk mencairkan suasana. "Lian, gue boleh bantu dorong troli lo?"

Arexon langsung tersentak kaget, tidak menduga jika Berlian langsung berbalik dan menatapnya. Sejenis tatapan tajam yang di mata Arexon seperti tatapan penuh cinta.

"Gue masih punya tangan."

"Iya, gue tau, tapi kan ada gue. Biar gue aja yang dorong trolinya."

"Lo sok kenal banget, jujur," ucap Berlian dengan sarkas. Biarlah lawan bicaranya sakit hati dan pergi, itu lebih baik dari pada mengganggu dia terus-terusan.

Tidak seperti khayalan Berlian yang mengira Arexon akan tersinggung, cowok itu justru tersenyum. "Gue emang pengen kenal sama lo."

Berlian memincing kesal. "Lo gak ke sini buat nguntit gue, kan? Pergi sana," usir Berlian secara terang-terangan. Dia kembali mengalihkan pandangan dan memilih snack lagi.

Arexon mengambil asal benda yang di rak dan menaruhnya di troli Berlian kemudian menyengir saat mendapat tatapan sengit dari sang empu. "Gue nitip, nanti ke kasir bareng." Selesai mengatakan itu Arexon langsung mengambil alih troli dan mendorongnya ke depan yang mana tindakannya itu mengundang decakan dari Berlian.

"Lo salah arah, Bego." Berlian lelah, biarlah Arexon berbuat semaunya. Dia berharap ini adalah pertemuan terakhir mereka, dunia tidak sesempit itu untuk mempertemukan mereka secara berulang.
.
.
.

"Totalnya jadi lima ratus tujuh puluh enam ribu rupiah, kak."

Baru saja Berlian membuka dompet ingin membayar ternyata Arexon lebih cekatan mengulurkan kartu atm-nya. "Gue traktir."

Berlian memandang cukup lama kemudian menarik tangan Arexon. "Terima kasih untuk niat baik lo, tapi gak usah. Ini belanjaan gue." Kemudian beralih menatap kasir yang bingung menatap interaksi mereka. "Mbak, pake kartu saya aja."

Sebelum kasir mengambil kartu Berlian, Arexon lebih dulu merebut kartu itu dan mengganti dengan kartunya.

"Lo...!" Berlian mengetatkan rahang dengan alis yang menukik kesal, menahan diri untuk tidak membuat keributan di tempat umum. Setelah melakukan transaksi Berlian langsung merebut kantong belanjanya dan mengucap terima kasih, Berlian berlalu keluar.

"Mas semangat bujuk ceweknya ya," ucap mbak kasir yang diangguki Arexon.

"Berlian!" Arexon mengejar Berlian yang sudah ada di tepi jalan.

"Lo gak bawa kendaraan, ya? Mau gue antar pulang aja?"

Berlian tidak menggubris, dia sibuk mengotak-atik ponselnya untuk memesan gocar. Dia cukup menyesal kenapa tidak membawa mobil sendiri tadi jika tahu akan bertemu dengan spesies makhluk perusuh seperti Arexon.

Please, hidup gak mungkin sedrama ini, kan? batinnya mendumel saat tidak ada driver yang tertaut apalagi sejak tadi belum ada taxi yang lewat.

"Gue antar aja yuk, Li gratis loh." Arexon masih belum menyerah untuk membujuk, kesempatan tidak datang lima kali, jadi sebisa mungkin dia memanfaatkan peluang yang ada.

Berlian menyerahkan kantong belanjanya yang disambut manis oleh Arexon. "Mobil gue ada di s-"

"Ambil belanjaan lo dan pulang, gue bisa balik sendiri."

Arexon mencebik, dia kira Berlian menerima tawaran baiknya. "Gue gak bakal macam-macam kok kalau itu yang lo takuti. Gue bisa antar lo ke mana pun."

Berlian mengecek jam tangan yang melingkar di lengan kirinya, berdecak lirih saat menyadari hari semakin siang dan dia memiliki janji dengan seseorang. Gadis itu berpikir sejenak sebelum menghembuskan napas lirih. Seharusnya tidak menjadi masalah, kan jika dia menerima tawaran Arexon?

"Ayo."

Sesingkat kata ayo sudah membuat Arexon ingin jingkrak-jingkrak senang. Lelaki itu mengangguk heboh dan memimpin jalan menuju mobilnya yang terparkir di depan Indojuni.

"Mau ke mana Tuan Putri?" Arexon tidak bisa menghentikan bibirnya yang selalu ingin menyunggingkan senyum.

Berlian melirik sekilas lelaki di kursi kemudi itu. "Panti Asuhan Kasih Abadi."

"Eh? Oh, oke meluncur." Arexon tidak mau banyak bertanya yang justru membuat gadis itu sebal. Susah payah dia menciptakan momen berdua, tidak mungkin ia hancurkan karena rasa ingin tahunya.

...
Halloo, apa kabar??
Part ini Lopie bagi jadi 2 bagian yaa. Kayaknya kebanyakan kalau jadi satu.

Kalau irl, orang kayak Arexon itu lumayan annoying, sih. Untung cuma fiksi dia.

Semangat, Rex lo sendirian, wkwk

Follow ig Lopie yuk : word.dland

See ya next chap👋

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Another Side : Berlian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang