7. Blank

151 25 21
                                    

Bella pernah menghadiri pemakaman sebelumnya. Ke pemakaman sanak saudara, bahkan teman sebayanya. Namun, menyaksikan bagaimana Bintang berhenti bernapas hanya karena petasan yang meledak adalah satu-satunya pengalaman aneh yang dia punya.

Dia mematung di antara orang-orang yang panik dan meraung, di balik pintu itu orang-orang dewasa sedang berusaha mengembalikan Bintang kembali ke dunia. Sekujur tubuh Bintang tadi membiru, seakan memberi tahu dunia bahwa tubuh itu sedang kesakitan meski raganya diam membisu.

Bagaimana pun Bella hanya seorang gadis yang diperlakukan seperti ratu di keluarganya, orang yang hanya tahu caranya mencari sebuah bilangan di atas rumus yang begitu membingungkan, dia terguncang jika harus berhadapan dengan seseorang yang selalu hampir meregang nyawa. Ini kedua kalinya Bella terpenjara dalam rumah sakit karena menyaksikan sendiri Bintang jatuh dan hampir mati.

"Pelakunya anaknya Pak Santoso, Doni." Pak Tri membawa kabar, anak itu adalah orang yang berkelahi dengan Bintang tempo hari.

Irish marah besar dan berjanji akan membuat anak nakal itu mendekam di penjara, tidak ada maaf karena Bintang benar-benar hampir meregang nyawa, atau bahkan sekarang dia sedang proses kembali ke pencipta.

***

Bella dengan lesu pulang ke rumah, keluarganya sudah menyambut kepulangannya yang membawa medali emas untuk olimpiade Nasional. Papa dan Mama meniup trompet, kue ucapan selamat, dan rumah susah didekorasi untuk Bella. Adiknya juga berlarian mengucapkan selamat untuk Bella.

Medali itu terjatuh di atas lantai, ia sedang tidak nafsu merayakan apa-apa. Keluarganya tentu bingung, senyum mereka luntur.

Bella menangis karena bahkan sampai selarut ini Bintang belum berhasil bangun dan meminta maaf untuknya. Meminta maaf karena mengatakan hal jahat, menjelaskan bahwa semua hanya karena emosinya yang tidak stabil karena sakit, Bintang harus memuji rambut barunya.

"Anak Mama kenapa?" tanya wanita paruh baya itu lantas mendekat. Bella lari ke kamarnya sendiri, dia tidak ingin merayakan apa pun karena hari ini tidak menyenangkan. Hari ini Bintang kesakitan dan Bella merasa dia tidak boleh bahagia di momen yang sama.

***

Bintang membuka matanya, tentu dia merasakan sesak yang membuatnya tidak bisa bernapas sendirian. Bibirnya kering dan putih, bahkan mungkin akan segera pecah lagi seperti biasa di tengah-tengah bagian bibir bawahnya. Hidungnya lagi-lagi harus menerima nasal canulla secara paksa, itu membuatnya bisa bernapas meski pun berat.

Ia tahu dia tidak lumpuh, tapi setiap ingin memindahkan tubuh Bintang merasakan nyeri. Mungkin dia benar-benar hampir mati.
Bibirnya langsung mendesis karena rasanya sakit, ia sendirian di ruang perawatan intensif ini. Bunyi EKG begitu berisik, ia tidak suka bunyi tanpa melodi.

Darahnya berhenti mengalir karena Bintang mengalami kelainan pada katup jantung, tubuhnya membiru dan rasa sakitnya mengalir.

Bintang mual, tapi tidak ada siapa pun di sini kecuali orang yang sedang berdiri di ujung ruangan, mungkin itu suster. Bintang tidak sanggup memanggil orang tersebut pun tak sanggup menahan apa yang ingin dia keluarkan, hingga dadanya yang tak terbungkus baju pasien yang dibiarkan tak terkancing itu merah. Bintang muntah darah.

"Mas?" Suster itu tergopoh menghampiri Bintang, membantu membangunkan anak tersebut untuk mengeluarkan darah yang sudah menghitam itu dari kerongkongannya ke dalam pispot.

Suster yang berjaga lantas memencet tombol pemanggil keributan---kalau kata Bintang. Orang-orang langsung datang tergopoh untuk menyelamatkan Bintang yang sedang sekarat.

***

Bella menatap dirinya yang sudah tidak cantik di cermin, padahal mungkin sebenarnya itu hanya pikirannya yang liar. Rambut pirang itu tiba-tiba terasa tidak cocok dengannya, ia menyisir berharap besok setelah Bintang sadar dia akan tetap memuji rambut barunya.

Bintang sadar saja sudah cukup.

Papa datang setelah mengetuk pintu, dia memberikan sekotak aksesoris baru hadiah kemenangannya di Olimpiade Nasional tahun ini. Namun, Bella tidak terlihat senang.

"Nggak semua orang butuh medali emas, Pa."

"Itu tolak ukur kehebatan kamu, Bella sayang." Papa mengelus rambut anaknya, seumur hidup dia merasa bangga karena Bella belum pernah gagal membanggakan.

Nilainya tidak pernah buruk, tidak ada lomba yang pernah menjadikan Bella sebagai pihak yang kalah. Apresiasi yang dia berikan hanya memberi kecupan, merayakan, memberikan Bella hadiah. Namun, tahun ini Bella terlihat berbeda.

"Aku selalu usaha dapetin apa yang aku mau lewat medali, penghargaan, nilai," keluh Bella. Kemudian raut wajahnya kembali kusut, dia menangis.

"Kenapa, sayang?" tanya Papa memeluk tubuh putrinya yang menangis.

"Aku udah usaha, tapi aku sadar apa yang aku mau nggak perlu otak aku, Pa!"

"Apa yang kamu mau? Papa kasih buat kamu," ucap Papa, ia yakin dia bisa membelikan putri kesayangannya apa pun meski itu mahal harganya.

"Bintang, Pa. Aku mau Bintang sembuh!"

Berat, orang tua Bintang sendiri pun ingin mengabulkan permintaan Bella, bahkan sebelum Bella membuatnya. Tidak bisa dibayangkan betapa putus asanya orang tua yang menyaksikan anaknya sakit tanpa sembuh.

Tidak ada yang bisa Papa katakan selain menepuk punggung anaknya pelan.

***

Bintang hidup, tapi seperti mati. Ia tak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena mungkin beberapa hari ini dia tidak beranjak dari atas ranjang.
Tubuhnya dibersihkan dengan hati-hati karena salah pergerakan sedikit saja darah Bintang terasa berdesir dan mendidih, katakanlah jika dia berlebihan menafsirkan rasa sakitnya. Namun, benar bahwa dia sekarang hanya terbaring tanpa melakukan apa-apa.

Irish tidak tahu anaknya itu sedang tidur atau bangun, pandangannya layu dan lelah.

"Bintang mau apa?" tanya Irish, setelah tubuh anaknya sedikit lebih bersih, dia membenarkan posisi selimut.

Katanya, jika keadaan Bintang sedikit lebih baik dia akan dioperasi. Jika melakukannya sekarang mungkin jantungnya akan segera berhenti, sehingga prosedur-prosedur keamanan harus benar-benar diterapkan sekarang.
Jika keadaannya tidak membaik, sebaiknya orang-orang mempersiapkan diri mereka untuk mendengar kabar kematian.

Seseorang mengetuk pintu, Ricky datang menjenguk setelah teman-teman lainnya menjenguk secara bergantian karena dokter tidak mengizinkan banyak orang masuk secara bersamaan.

Ricky membawa seseorang di belakangnya.
Bella terlihat lucu karena menyembul dari balik badan Ricky yang tinggi.

"Bella ke sini," ucap Irish sambil menepuk punggung tangan Bintang yang layu.

Dua remaja itu dipersilakan duduk, terjadi pertikaian antara Bella dan Ricky bahkan sesaat setelah mereka duduk di sebelah Bintang.

"Ini kue buat Bintang!" Ricky bersikeras meminta kue kering bawaan Bintang.

"Eh, Bintang itu harus kurangin gula dan garam, tau, nggak? Lo mau racunin temen gue pake kue lo yang nggak seberapa ini?" tanya Ricky sambil menjauhkan kue dari jangkauan Bella.

"Ssssttt!" Irish mengutus mereka untuk tetap tenang, Bintang mengangkat sudut bibirnya. Tersenyum karena terhibur.

"Bintang apa kabar?" tanya Bella pelan-pelan. Bintang pikir kemarin gadis itu marah dan menyerah, tapi dia lupa bahwa Bella adalah gadis yang gigih.

"Tante, Bella boleh ngolesin lipbalm ke bibir Bintang, 'kan?" tanya Bella, Irish sedang menyiapkan minum untuk dua teman sebaya Bintang.

Sedih, karena mereka benar-benar masih kekanakan, tidak ada satu pun dari anak dua puluh tahunan yang sudah pantas mati. Mereka harus bersenang-senang seperti Irish dulu.

"Boleh, bibir Bintang pecah-pecah."

Tatapan Bella dan Bintang bertemu karena jemari lembut Bella mengoleskan lipbalm pada permukaan bibir Bintang dengan hati-hati.

***

😏 Puji dulu baru up, emang pick me penulisnya maaf tapi makasih.

Bellatrix [terselesaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang