8. Lullaby

128 21 15
                                    

Ada sebuah olimpiade lain, tapi aku tidak tertarik untuk mendaftarkan namaku. Aku tahu, tiba-tiba aku hanya berubah menjadi Bella yang tidak dikenal siapa pun. Sekilas, mungkin aku seperti perempuan yang tidak punya pendirian. Jalanku lantas berubah setelah menemukan persimpangan.

Bahkan Bintang menolak aku secara terus terang. Namun, dia adalah preoritasku entah sejak kapan. Setelah pulang dari kampus aku akan datang ke rumah sakit, dia belum pulih bahkan setelah dirawat sepanjang hari.

Menang olimpiade mana pun tidak akan terlihat menarik di mata Bintang yang lebih sering terlelap dibanding membuka matanya untuk menghargai aku yang jauh-jauh datang ke mari, membawa semangkuk sup sehat untuknya. Semua masakanku selama ini hanya menjadi pajangan dan berakhir di tempat pembuangan karena Bintang tidak nafsu makan.

Sekarang Bintang sudah kurus, aku bisa melihat tulang pipinya lebih tegas dibandingkan sebelumnya, dia benar-benar terlihat menyedihkan dibanding siapa pun yang pernah aku lihat sebelumnya. Dia tertidur, terus tertidur sampai kadang aku khawatir apakah nasal canulla itu benar-benar membuatnya bernapas atau tidak.

Jujur saja Bintang sudah tidak setampan dulu, tapi rasa sukaku justru semakin besar dibandingkan itu.

Aku hanya bisa membantunya mengatasi rasa sakit di bibirnya karena pecah-pecah dengan mengoleskan pelembab di sana. Jika ditanya Ibunya tentang statusku, aku jawab saja Bintang pacarku. Bintang juga tidak pernah berbicara setelah sekian lama, dia tidak menolak, atau tidak bertenaga untuk bertikai.

***

"Kayaknya lo harus bangun dan jelasin kalau gue bukan siapa-siapa lo, atau gue bakalan gangguin lo sepanjang hari." Bella selesai dengan PR membuat bibir Bintang tetap lembab.

Bintang kuat sekali, dia masih terus hidup bahkan sampai hari ini. Setelah delapan hari dirawat dengan keluhan mengerikan, di bagian alat vital manusia. Jantungnya yang sakit tetap tidak membawanya mati, Bella terkesan.

Gadis yang masih mewarnai rambutnya pirang itu mencium ringan bibir Bintang yang baru saja diolesi lipbalm, bibir Bintang sedikit bergerak merespon kontak dengan bibir lain yang lembut. Pemuda itu tiba-tiba tersenyum karena malu, dia membuang wajahnya ke kiri tidak mau menatap Bella.

"Maaa!" Bintang memanggil Ibunya meski lirih, dua wanita cantik di dalam ruangan ini saling pandang karena itu suara pertama Bintang selama ini.

"Ya, Bintang?" tanya Irish lantas mendekat.

"Bella, Ma." Bintang mengadu, dia tidak terima tapi juga suka karena Bella mencuri ciuman pertama seorang Bintang Admadja.

Bintang sendiri merasa ini semua tidak benar. Harusnya anak band jauh lebih agresif dibandingkan kutu buku bukan?

Bella dan Irish hanya tertawa kecil. Sepertinya ciuman Bella seperti sebuah mantra yang perlahan menyembuhkan Bintang.

Di hari berikutnya Bintang merasa lebih hidup, dia bisa merespon banyak hal di sekitarnya. Kemarin sebenarnya dia tahu apa yang ada di sekitar, hanya saja dia tidak mau membuang tenaga yang memang sudah tidak ada.

Remaja itu duduk di atas brangkar, cahaya senja menerpa wajahnya selepas Bella membuka tirai kamar. Bintang mengeriyitkan matanya karena sudah lama tidak memandang sinar Matahari.

Hari ini mesin EKG tidak terlalu bising karena Bella kemari membawa gitar yang kemarin dibeli mahal-mahal dengan setengah kekayaan yang dia punya, semoga cukup dan senarnya tidak putus.

Gadis itu duduk di kursi plastik yang bertengger tepat di sebelah jendela, sorot jingga adalah teman Bella untuk membawakan lagu yang dia pelajari seminggu ini.
Bintang bisa melihat beberapa luka di jemari Bella yang belakangan ini tidak sengaja dia ketahui karena rutinitas mengoles lipbalm di bibirnya yang kering. Rupanya Bella mencoba berkenalan dengan sinar gitar yang sering kali membuat luka pada pemula.

Bintang tersenyum karena ia sangat menyukai musik dan Bella punya suara yang indah. Dia juga cerdas, sangat cepat menghafal setiap not untuk lagu berdurasi tiga menit. Bintang menghangat.

"Bintang, aku nggak bisa mainin gitarnya lebih baik dari kamu. Aku mau kamu yang mainin," ucap Bella setelah lagu berjudul First Love itu selesai dia senandungkan.

Bintang mengadahkan tangan kanannya, meminta gitar itu dari tangan Bella. Gadis cantik berambut pirang itu lantas memberikannya, dia juga membawa kursinya untuk mendekat.
Sudah lama sejak Bintang tidak memangku gitar, Bella menyesal pernah mengatakan bahwa Bintang terlihat seperti gelandangan dengan gitar yang selalu dia bawa.

Bintang memetik dawai gitar itu berlahan.
Bella tersenyum terkesan dengan kelihaian Bintang dan sementara itu Bintang terkesan karena senyuman itu membuatnya bahagia.

"Bintang hari ini puasa, ya? Besok operasi." Irish datang membawa berita, entah itu bagus atau buruk.

Bintang tidak merasa cukup bagus, karena tubuhnya yang selalu gagal diajak berjuang, dia sama sekali tidak percaya diri.

"Kamu cantik, pake rambut itu, Bell."

Bella terdiam, saking lamanya dia ingin mendengar hal itu dia sampai lupa tentang ingin yang sudah dia kubur.

"Bahkan kalau warnanya hitam atau ungu, merah atau biru, kamu tetap cantik."

Semua orang terdiam, membiarkan Bintang bicara lebih banyak.

"Kamu cantik, kamu pinter. Aku seneng kamu menang olimpiade, aku bangga."

Bella tersenyum, tidak ada kalimat yang lebih indah lagi menurutnya. Ini semua sudah cukup, hatinya menghangat, rasa sakit yang dia dapat dari Bintang kemarin sirna seketika.

"Karena itu kamu harus tahu, kalau kamu lebih berharga dibanding harus sama aku. Kalau besok aku mati, kamu bisa cari yang lebih baik daripada aku. Itu mudah."

Bella batal tersenyum, gadis itu menguatkan diri meski kalimat Bintang itu memuakkan. Terlalu lemah dan gampang pasrah, meski dia sendiri tahu menjadi Bintang pasti sulit, tapi gadis dua puluh tahun itu tidak suka mendengar kalimat putus asa seperti ini.

Padahal jika memang benar dia cantik, pintar, dan berbakat dia juga tidak bisa jatuh cinta selama ini selain pada Bintang.

"Aku ngomong gini karena mungkin aku nggak bisa ngomong lagi besok." Bintang meletakkan gitarmya di bawah ranjang, bersandar dengan nakas di sebelah ranjang.

***

Lampu operasi menyala, Bintang menghela napas.
Dibanding berdebar karena penyakitnya sendiri dia lebih berdebar karena dia akan dibelah lagi, berlahan pengaruh bius membawanya tidur entah kemana. Masker oksigennya dicabut dan digantikan dengan ventilator yang dimasukkan ke mulut menerobos kerongkongan.

Bintang sudah tidak tahu apa lagi yang bisa sedang dilakukan oleh para medis pada tubuhnya karena dalam bawah sadarnya dia dibawa ke sebuah tempat yang tidak jelas, berasa di atas tumpukan kapas, bertemu orang-orang asing dan tak jelas.

Bella tidak mungkin menunggu Bintang selesai operasi di rumah sakit karena itu terjadi sampai dini hari, yang bisa dia lakukan hanya berdoa di rumah dengan cemas.

Bellatrix [terselesaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang