15. Heartbeast

128 20 16
                                    

"Bintang kemana, sih, Ky? Selingkuh, ya? Punya cewek lain, ya?" tanya Bella, dia tahu Ricky lebih suka terjaga di malam hari jadi dia melakukan panggilannya sekarang. Anak itu terlihat tidak terlalu fokus pada panggilan, dia menyisir rambut dan juga mengolesinya dengan gel yang sepertinya memang hanya dimengerti anak laki-laki.

"Pala lu selingkuh, kaya nggak tahu Bintang aja."

"Jadi dia kemana? Sakit?" tanya Bella.

"Iya, sakit. Gue nggak tahu harus apa lagi, jangankan gue. Nyokap dan dokter aja gak tahu harus ngapain, cuma obat-obatan yang bisa bantu dia." Ricky yang tidak hadir setiap saat saja merasa lelah. Apalagi Ibunya, apalagi Bintang sendiri?

"Duh, gue harus gimana dong? Pulang?" tanya Bella.

"Emang bisa pulang?" tanya Ricky, Bella ragu juga bagaimana caranya pulang. Dia tidak sedang berlibur, program pertukaran pelajar ini terasa benar-benar lama. Pengalamannya di negara adidaya tidak ada rasa, semua pikirannya tetap tinggal di Indonesia.

Bella usahakan dia akan segera pulang tanpa memikirkan acara terakhir atau closing ceremony nanti.

"Lo tenang aja, Bintang nggak bakal kalah secepat itu," ucap Ricky, akhirnya Bella bisa melihat laki-laki itu menatap layar.

Bella dapat menangkap tatapan menipu Ricky, dia tidak sedang jujur. Dia sendiri ragu, teman satu grup musiknya itu akan kalah atau menang kali ini.
Mereka berdua merasa skeptis tentang rahasia manusia, rahasia bahwa waktu mati mungkin atau tidak segera datang.
Kesayangan mereka itu tidak pantas cepat pergi.

***

Bintang sendiri tidak punya kegiatan apa pun sekarang, segalanya dia batasi sendiri. Bukan karena tidak mau, tapi tidak mampu. Anak itu hanya duduk di halaman belakang rumah, di kursi yang nyaman ditemani secangkir teh tawar dan juga senja yang mulai menghilang.

"Amerika itu ke sana? Atau ke sana?" tanya Bintang menunjuk arah matahari lalu ke arah lain.

Ibunya tersenyum, lalu menggeleng. Dia tidak tahu kemana arah negara yang begitu jauh itu.
Namun, setidaknya Irish bisa menangkap maksud percakapan anaknya.
Jika saja boleh membawa Bintang ke Amerika untuk melepas rindu, sudah dilaksanakan. Membawa manusia sesekarat Bintang untuk terbang jauh adalah bunuh diri.

"Mama kenapa nggak nikah lagi?" tanya Bintang.

Irish tidak bisa menjawab, meski dia muda dan cantik. Tidak ada yang bisa menggantikan sosok Yuda yang sudah lebur dengan tanah dan kembali ke Tuhan.

"Sesakit itu, ya ditinggal Ayah?" tanya Bintang.

Benar, sesakit itu. Terkadang, rasa paling sakit adalah bagian yang terluka tidak bisa merasakan apa-apa. Hati yang dulu merasakan cinta kini benar-benar mati rasa.
Tidak ada yang bisa membuatnya hidup kembali, seperti lautan pasir di Sahara yang tidak akan dapat ditumbuhi sesuatu yang baru lagi.

Irish menggenggam tangan anaknya yang membengkak, bisa dia lihat dengan jelas bahwa tangan kanan mau pun kiri Bintang tidak selamat dari luka jarum.

"Janika juga sesakit itu, dia masih nangis setiap nonton film itu. Masih sering ngunjungin Sagara dan ngomong sendiri kaya orang gila, Mama juga nggak ada bedanya," ucap Bintang.

"Bintang, kamu jangan mikir yang aneh-aneh."

"Kalau Bintang sama Bella, belum sejauh itu, 'kan? Kalau Bintang pergi Bella nggak akan kaya Mama dan Janika, 'kan?" Pertanyaan itu membawa tekanan yang tidak bisa Irish selesaikan.

Dia membiarkan keputusasaan anaknya menguasai tubuh ringkih yang duduk di sebelah. Mata Bintang merah, entah karena sudah menangis atau karena pengaruh tidur yang tak pernah nyenyak.

"Setiap orang punya cara menikmati hidupnya masing-masing, Bintang. Mungkin menurut kamu, Mama dan Janika menyedihkan. Kamu salah, kita bahagia karena masih bisa menikmati cinta itu sampai akhir. Sampai bertemu lagi. Dengan Yuda dan Sagara." Irish mengelus rambut sehat Bintang.

Bintang menundukkan kepala, bergeming dengan perkataan Ibunya.

***

Bintang ke Orion diam-diam, dia membawa banyak makanan untuk anak-anak yang sepertinya merindukan sosok Bintang paling bersinar yang selain mengajari mereka membaca dan menulis mereka diajari bermain musik.

"Kak Bintang bawa banyak makanan!" Anak-anak itu berlarian menghampiri Bintang, merogoh sesuatu dari dalam kantong kresek yang dibawa pemuda pucat tersebut.

Setelah mereka mendapatkan masing-masing satu snack, mereka semua duduk rapi di tikar sementara membiarkan Bintang duduk di atas gazebo dengan gitar akustik yang selalu terlihat keren di mata anak-anak.

"Kak Bintang sudah jadi artis kok nggak diterusin?" tanya salah satu anak berbaju merah muda yang kelihatan sudah lama karena lusuh dan gambar Masha and The Bear yang memudar.

Tentu Bintang tidak mau menjawab jika dia berhenti karena jantungnya bisa kapan saja membuatnya mati. Itu membuat anak-anak takut, dia hanya menanggapi dengan senyuman lalu tidak mau menjawab.

"Cita-cita Kak Bintang apa? Aku mau jadi dokter!"

"Aku mau jadi polisi!"

"Aku mau jadi PLN!" mereka semua berceloteh tanpa menunggu giliran.
Kemudian setelah semua sudah mengucapkan dan mengutarakan mimpinya, mereka memberi waktu untuk Bintang menjawab pertanyaan mereka.

Bintang memandang langit yang mulai membiru setelah senja tadi datang begitu cantik, setitik cahaya pudar mulai berkelip di antara langit yang mulai gelap.

"Jadi Bintang, di langit, yang paling terang."

Semua anak-anak tertawa, menganggap bahwa Bintang bercanda. Namanya sendiri sudah Bintang, kenapa ingin menjadi Bintang?
Padahal maksud Bintang dalam, tidak dapat dimengerti anak kisaran usia sekolah dasar.
Hari esok itu mungkin tidak ada, hari terakhirnya bisa jadi hari ini atau nanti. Menjadi Bintang paling bersinar adalah satu-satunya impian yang dia punya.

Jika dia bersinar paling terang, orang-orang di sini dapat melihatnya dengan mata telanjang. Ia akan terasa paling sehat dan paling dekat di antara benda berkilauan lain di atas sana.

Apa benar semua orang mati akan naik ke langit dan menjadi bintang? Terasa seperti dongeng yang masuk akal.

***

@bad

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

@bad.madja

20's is not that short kok. Tuhan menciptakan kita ke dunia untuk bahagia, tergantung bagaimana kita mensyukuri hal-hal kecil yang sebenarnya hal luar biasa bagi orang-orang di sekitarmu.

Kamu bisa napas itu udah hal yang bahagia, karena bagiku napas lancar itu anugrah paling indah.

Lalu bagaimana masa dua puluh tahun ini digunakan untuk merasakan hal paling rumit bernama cinta, tergantung bagaimana cara kita menikmatinya. Benar-benar hal seperti itu.

Aku kenal banyak orang-orang baik yang menyayangi aku, itu juga bagian dari hikmah dua puluh tahun yang mungkin gak semua orang punya.

Mungkin kalau mimpi-mimpiku nggak terkubur, mungkin kalau aku nggak sakit, aku nggak akan mensyukuri hal sekecil jatuh cinta dan menjadi pusat perhatian di Orion (rumah belajar bagi anak-anak kurang beruntung di Pasar Kliwon).

Aku bahagia selama hidup, tapi aku juga belum ingin mati. Aku mensyukuri jika aku masih punya beberapa tahun, beberapa bulan, beberapa minggu, bahkan beberapa hari lagi.

Bintang Admadja grateful to see you.

Bellatrix [terselesaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang