Sebelumnya hal paling berharga untuk Bella hanyalah nilai ujiannya, pengakuan dari orang-orang terdekatnya, mengalahkan teman-teman sebaya. Hingga Bintang Admadja menjadi prioritas utama.
Sebelumnya bahkan menjadi bintang paling terang pun tak cukup...
Pelukan dua anak itu benar-benar erat, bahkan mungkin Bella lebih berat meninggalkan Bintang dibanding orang tuanya. Bella bermata sembab, dia tidak tahu akan sehampa apa hidupnya jika harus menahan rindu selama satu semester penuh. Belum lagi perbedaan waktu antara US dan negara mereka yang sedang berkembang itu. Antara Bintang yang begadang atau Bella, hanya sekadar untuk bertukar pesan dan melakukan panggilan akan semerepotkan itu.
"Jaga diri baik-baik, nurut sama LO di sana," ucap Bintang lalu menepuk pelan pucuk kepala Bella, afeksi yang paling Bella sukai. Setelah itu gadis cantik itu menangis lagi, meminta sekali lagi pelukan dari Bintang.
Bintang membuka lagi lengannya, mempersilakan gadis cerdas itu masuk lagi ke dalam dekapan hoodie hitam itu. Aroma Bintang sangat harum, meski dia mengkonsumsi banyak sekali obat, aroma itu tidak hinggap sama sekali di tubuh anak itu. Semakin membuat Bella lupa bahwa pacarnya itu berbeda.
"Sana, nanti ketinggalan pesawat eman tiket lima belas juta," ucap Bintang.
Bella menarik kopernya, setiap tiga langkah ia selalu kembali menengok ke arah Bintang yang mengantarnya. Laki-laki itu tetap berdiri di sana dengan senyuman yang tetap selalu diberikan setiap kali Bella kembali meminta perhatian.
Tangan Bintang melambai, menandakan perpisahan yang bersifat dukungan. Dalam lubuh hatinya yang terdalam pun dia tidak suka perpisahan ini, karena jika dia rindu dia tidak bisa memangkas jarak yang sejauh itu. Ingin menyusul pun Bintang tidak mungkin diizinkan untuk terbang ke Amerika terkait kondisi medisnya yang merepotkan.
Bintang melihat sendiri Bella mulai menghilang, dia menghela napas. Bintang tidak punya kesempatan untuk menikmati malam pergantian tahun bersama Bella nanti.
***
Sementara beban yang lebih berat mungkin sedang dialami oleh Irish. Dia berkunjung ke makam mendiang suaminya, melihat sebuah tanah yang sedikit lapang di sebelah tempat berbaring suaminya.
Irish menggeleng cepat, dia tidak bisa membayangkan Bintang tertidur dengan damai. Selama ini anak itu selalu tidur dengan wajah yang lelah, sepertinya itu lebih baik dibanding harus menyaksikan sang anak tak bernyawa dan damai dalam kuburnya.
"Seharusnya dia menikah dulu, 'kan? Bahagia dulu seperti kita? Setidaknya dia harus pernah merasakan bahagia." Irish menangis, perkataan dokter kemarin benar-benar membuatnya hampir gila.
Terjadi penggumpalan darah di paru-paru dan kakinya, ini adalah efek samping dari operasi yang dilakukan. Sebenarnya, resiko perbaikan katup jantung tidak punya resiko yang tinggi. Namun, itu bukan operasi pertama Bintang.
Kabar paling buruknya adalah, katup-katup yang baru saja diperbaiki rusak lagi. Mengoperasinya sepertinya lebih punya resiko yang lebih besar dibanding penggumpalan darah, penolong Bintang hanya obat-obatan. Kondisinya benar-benar tidak cukup baik untuk tetap hidup sampai usia dua puluh satu tahun.
"Dua puluh satu tahun, aku dan kamu baru bertemu dan pertama kali kita berbagi permen kapas, Mas. Kenapa kamu berikan penyakit itu ke anakmu?" Untuk pertama kalinya, Irish memaki orang yang paling dia cinta.
Itu karena dia frustasi, rasanya berobat selama ini tidak ada gunanya karena lagi-lagi lawan yang harus dia hadapi adalah mati.
*** *
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.