Serumah

111 2 0
                                    

Setelah berminggu-minggu persiapan, akhirnya tiba  di penghujung acara pernikahan Giskala dan Jelita yang digelar secara privasi dan hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Bahkan, Jelita tidak menggundang Kinan dan Andrea karena ia berniat untuk menyembunyikan pernikahannya.

Bukan takut karena harus mentraktir Kinan dan Andrea selama seminggu, tapi Jelita merasa malu dan tidak tahu harus mulai dari mana memberitahu mereka.

Giskala juga menyetujui untuk merahasiakan pernikahannya, hanya pihak kampus saja yang tahu dan beberapa teman dekat Giskala yang memang sudah tahu jika Giskala akan menikah dalam waktu dekat.

Jelita dan Giskala sampai di sebuah perumahan, rumahnya tampak minimalis dan hangat, Jelita senang karena perumahan ini dekat dengan kampusnya, bahkan lebih dekat daripada kosan Jelita.

Kedua orang tua mereka mengantarkan anak-anaknya untuk masuk dan menjelajahi seisi rumah. Ruangannya terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, ada satu kamar utama dan satu kamar tamu. Ada dua kamar mandi, yang satu terletak di dekat dapur dan satunya lagi di dalam kamar utama.  Ada meja makan dengan empat kursi yang mengisi ruang kosong di depan dinding kamar mandi.

Setelah beristirahat sebentar, kedua orang tua Jelita dan Giskala memilih untuk berpamitan dan meninggalkan anak-anak mereka di rumah ini. Setelah mengantar sampai depan teras, Jelita dengan buru-buru masuk dan berbaring di kasur yang ada di kamar utama.

Rasanya nyaman sehingga membuat Jelita mengantuk, baru saja hendak memejamkan netranya, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka yang membuat Jelita mau tidak mau harus bangun.

“Ngapain lo ke sini?” tanya Jelita setelah melihat Giskala masuk sambil membawa dua koper miliknya dan milik cowok itu.

“Ini kamar kita, bukan kamar lo doang,” sahut Giskala lalu menaruh dua koper itu ke sembarang arah. Dirinya berniat untuk merebahkan diri ke kasur namun ditahan oleh Jelita.

“Kan ada satu kamar lagi, lo yang tidur di kamar tamu,” ucap Jelita sambil menghalangi Giskala yang sudah siap melempar tubuhnya ke kasur.

“Biar adil kita suit, yang menang dapat kamar ini,” usul Giskala lalu dibalas dengusan Jelita. Cowok ini kenapa tidak mau mengalah, sih?

Mereka berdua pun beradu suit hingga dimenangkan oleh Giskala, alhasil Jelita terpaksa mengambil kopernya untuk pindah ke kamar tamu.

“Baju-baju lo ditaro di lemari sini aja, biar kalo orang tua kita ke sini nggak curiga kenapa baju-baju lo ada di kamar tamu.”

Jelita mengangguk saja karena dia sudah mengantuk, ia memilih merapikan baju-bajunya besok saja dan sekarang dirinya keluar dari kamar menuju kamar tamu untuk tidur. Acara pernikahannya seharian membuatnya harus tidur panjang, untung saja besok hanya ada kelas sore, jadi Jelita dapat istirahat sampai besok siang.

Paginya, Jelita sudah bangun dari setengah jam yang lalu, hanya saja dirinya masih belum beranjak dari kasur karena masih nyaman dengan posisinya. Ponselnya mendapat notifikasi pesan dari ibunya yang menyuruh Jelita untuk segera bangun dan menyiapkan sarapan untuk suaminya.

Jelita mendengus, biarkan saja cowok itu masak sendiri, atau paling mudah tinggal beli sarapan di area kampus. Jaman sekarang sudah dimudahkan terkait apapun, kenapa Jelita harus repot-repot memasak? Lagi pula kulkasnya juga pasti masih kosong.

Dering ponselnya memekikkan telinga Jelita, ternyata dari ibunya. Setelah menyambungkannya, Jelita mendapatkan celotehan dari ibunya yang membuat gadis itu kesal. Ibunya bilang jika di kulkas sudah ada beberapa bahan yang sengaja ibunya letakkan kemarin sebelum Jelita dan Giskala sampai ke rumah ini.

Ibunya juga bilang jika bahan masakan itu tidak boleh terlalu lama berada di kulkas karena nanti tidak segar lagi, jadi harus segera dimasak. Jelita hanya mengiyakan lalu menutup sambungan teleponnya. Dengan berat hati, Jelita memutuskan pergi ke dapur dan membuka kulkas yang berisi beberapa bahan masakan sederhana.

Ada tahu putih, sawi, toge, sekotak telur, seplastik cabai dan bawang. Jelita beralih ke dapur dan memeriksa semua tempat bumbu masakan yang ternyata sudah terisi sesuai tulisan yang ada di masing-masing tempat. Seperti gula, garam, bubuk lada dan merica, kunyit bubuk, penyedap rasa, dan bumbu lainnya.

Jelita sepertinya harus berterima kasih kepada ibunya karena telah menyiapkan semua ini. Jelita memutuskan untuk memasak dan akan menunjukkannya pada ibunya sebagai bentuk menghargai usaha ibunya yang sudah menyiapkan bahan-bahan dapur.

Jelita begitu serius dalam memasak, ia telaten mengirisi cabai dan bawang kemudian memotong tahu putih dan sawinya. Jelita juga meracik bumbu untuk membuat masakannya lezat.

Gadis itu memang bisa memasak namun tidak sepandai ibunya, masakan ibunya tidak ada yang bisa mengalahkan. Akhirnya tumis tahu putih yang juga berisi sawi dan toge siap dihidangkan. Jelita juga menggoreng telur sebagai pelengkap sarapannya.

Jelita mengetuk pintu kamar Giskala untuk membangunkannya, tapi tidak ada sahutan sama sekali, Jelita membuka kenop pintu yang ternyata tidak dikunci. Tampak cowok itu masih bergelung dengan selimutnya padahal alarm sudah bunyi.

Mau tidak mau Jelita menarik selimut Giskala yang membuat sang empu menggeliat. Bukannya bangun, Giskala justru kembali memeluk gulingnya, hal ini membuat Jelita kesal hingga akhirnya tangannya bertindak.

“Aduh!” Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri cowok itu, dengan cepat Giskala langsung membuka matanya sembari mengelus pipinya yang sakit.

“Lo hobi banget nampar orang! Sakit, bego!” gerutu Giskala dengan suara beratnya khas orang baru bangun tidur.

“Makanya jangan jadi kebo kalo tidur, alarm lo udah bunyi dari tadi. Gue udah masak, emangnya lo nggak mau sarapan?” tanya Jelita yang melipat selimut lalu menaruhnya di ujung dekat kaki cowok itu.

Giskala sontak bangun setelah mengecek ponselnya. “Gue ada kelas pagi! Lo kenapa nggak bangunin gue lebih pagi!” teriaknya lalu dirinya duduk di pinggiran kasur.

“Mana gue tahu lo ada kelas pagi, BTW lo biasanya sarapan nasi, kan? Apa sarapan yang lain? Roti misalnya?” tanya Jelita yang hanya ingin memastikan, karena ada beberapa orang punya menu sarapan yang berbeda.

“Gue sarapan nasi, lambung gue bakal ngambek kalo dikasih roti doang,” jawabannya sambil mengucek netranya.

“Udah tahu telat, kenapa masih duduk? Mandi sana, liat tuh jam delapan kurang lima belas,” ujar Jelita sambil menunjuk ke arah jam dinding yang terpajang di dinding.

“Sialan!” umpat cowok itu lalu segera beranjak untuk masuk ke kamar mandi. Jelita tahu jika cowok itu pasti tidak punya waktu untuk sarapan, Jelita berinisiatif menaruh sarapan Giskala ke kotak makan agar cowok itu bisa memakannya di kampus.

Jelita menggeledah lemari dapur dan akhirnya menemukan kotak makan. Ibunya benar-benar melengkapi semua barang-barang di dapur. Jelita bahkan melihat beragam panci seperti panci presto, panci kecil, dan beberapa ukuran wajan di lemari dapur bagian bawah.

Sedangkan lemari dapur bagian atas berisi toples cemilan, kotak makan, dan botol minum. Jelita memdengar suara air yang cukup berisik dari meja makan. Sebenarnya cowok itu sedang mandi atau sedang tawuran, sih?

“Ngapain lo bawain gue bekal?” tanya Giskala ketika dirinya sudah siap meluncur karena diburu waktu.

Jelita menjawab jika dia disuruh ibunya untuk memasak sarapan, dan masakannya berlebih, jadi Jelita berikan saja padanya. Lagi pula, Giskala juga belum sarapan.

“Gue malu kalo harus bawa bekal segala, diledekin temen-temen gue yang ada, buat lo aja ya.” Giskala kemudian keluar dengan terburu-buru.

“Gue nggak mau berbagi masakan gue lagi sama lo, cowok brengsek! Gue bakal masak sendiri dan makan masakan gue sendiri! Awas aja kalo minta dimasakin!”

MARRIED IN TWENTY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang