“Kenapa?”
“Jangankan berontak, beda pendapat aja, kayaknya gue langsung dikeluarin dari KK,” kekeh Giskala yang sebenarnya Jelita juga tahu kalimat itu hanyalah sarkas untuk menghibur diri.
“Gue mau tahu cerita lo, ayo berbagi,” ujar Jelita menatap lekat-lekat netra Giskala yang berbinar bukan karena terkena cahaya lampu, tapi netranya memiliki binarnya sendiri.
Dari kecil, jalan hidup Giskala selalu tertata rapi berkat kedua orang tuanya. Seperti yang teman-temannya katakan, Masa depan Giskala sudah tersusun rapi dan tidak perlu bingung akan dibawa ke mana.Awalnya cowok itu memang bersyukur memiliki kedua orang tua yang selalu mengarahkan segala urusannya. Namun, Giskala baru sadar jika orang tuanya bukanlah mengarahkan melainkan mengendalikannya.
Selama ini, Giskala tidak pernah tahu jika semua orang berhak memilih. Sedari kecil Giskala tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih, ia dikendalikan oleh orang tuanya.
Giskala pernah berbeda pendapat waktu itu, masalahnya sama dengan yang Jelita alami, yaitu tentang memilih jurusan. Di SMA, Giskala mulai tertarik pada dunia menulis, cowok itu sesekali iseng menulis acak untuk mencurahkan semua yang ada di pikirannya.Entah kenapa ketika cowok itu membaca buku-buku di perpustakaan, ia selalu takjub dan ingin menyelesaikan bacaannya.
Dari situ, Giskala pernah menolak jurusan kewirausahaan yang direkomendasikan oleh ayahnya, Giskala mencoba menjelaskan kenapa dirinya tertarik pada sastra dan ingin masuk jurusan sastra Indonesia.Tapi, hal itu adalah awal masalah terjadi, Giskala justru mendapat amarah dari ayahnya karena dianggap menentang orang tuanya. Bukankah ia berhak atas apa yang ingin dia pilih?
Setidaknya ayahnya harus memberikan alasan kenapa Giskala tidak boleh memilih sesuatu yang ia inginkan, ia selalu harus mencapai semua yang diinginkan orang tuanya.
“Orang-orang selalu bilang, katanya jadi gue itu enak, nggak perlu pusing mikirin masa depan karena udah ditata rapi sama orang tua…” Giskala tertunduk, napasnya sedikit engap seperti menahan emosi drasanya sesak. Cowok itu mengambil napas dalam-dalam untuk melanjutkan kalimatnya.
“Tapi, mereka sama sekali nggak pernah nanya seberapa besar tekanan yang harus dihadapi, seberapa banyak ketakutan yang dihajar, gue dituntut untuk memenuhi ekpektasi Papa dan Mama. Gue selalu takut gagal, dan itu bikin gue stres karena mikirin gimana caranya semua itu harus terwujud tanpa ada yang gagal.”
“Bukannya lo yang bilang ke gue, kalo semua usaha nggak akan langsung berhasil ataupun selalu gagal. Kalo hari ini gagal, lo bisa coba lagi nanti, sampai lo nemuin keberhasilan yang lo maksud” balas Jelita.
“Gue emang gitu, Ta. Suka nasihatin orang, tapi lupa dipake untuk nasihatin diri sendiri.”
“Dasar! BTW, pasti lo punya impian yang nggak terwujud, kan?”
“Iya, sebenarnya gue mau jadi penerbit bukan pengusaha, gue juga maunya punya studio rekaman bukan punya restoran. Tapi, gue nggak diijinin megang kuncinya dari awal, yang artinya gue kehilangan impian itu.”
Gadis itu menatap Giskala dengan netra yang mulai berkaca-kaca, sedari tadi netranya memang sudah berkaca-kaca. Setelah mendengar semua cerita Giskala membuat gadis itu benar-benar meloloskan air matanya. Giskala yang mendapati gadis di depannya menjatuhkan bulir bening dari netranya.
“Ini cerita gue, kenapa lo yang nangis?” Tangan cowok itu menyeka jejak air mata di area pipi Jelita. Untungnya Jelita tidak menghindar ataupun menepis tangan Giskala yang menyeka bulir tangisannya.
“Lo nggak ada niatan berontak?” tanya Jelita setelah Giskala menurunkan tangannya dari wajahnya.
Cowok itu menggeleng kuat yang menandakan jika dirinya tidak akan melakukannya. Bagi Giskala, semua yang terjadi sudah menjadi jalan takdirnya, lagi pula semua orang tua pasti ingin melakukan yang terbaik untuk anaknya.Para orang tua lebih berpengalaman dalam menghadapi banyak rintangan hidup, maka dari itu mengikuti saran dari orang tua bukanlah sebuah kesalahan.
Meskipun ada beberapa hal yang membuat cowok itu kehilangan impiannya, ia akan berusaha menerima dengan lapang dada sehingga dirinya dapat menikmati perjalanannya karena sudah terbiasa.Dari kecil, Giskala sudah hidup seperti ini. Cowok itu akan memilih jalan hidupnya sendiri ketika kedua orang tuanya tidak bisa lagi memutuskan, di situ ia akan memilih jalannya sendiri dan membuktikan jika ia dapat bertahan dengan kakinya sendiri.
Meskipun Giskala tidak tahu kapan orang tuanya akan berhenti menata jalan hidupnya. Cowok itu percaya suatu saat apa yang menjadi lelahnya hari ini dan perasaan ragu serta kecewanya akan menjadikannya sesuatu yang mungkin tidak ia sangka. Bisa jadi, jalan hidup seperti ini yang akan mengantarkan Giskala pada masa depan yang cerah.
“Cerita lo persis kayak Hanin yang harus menuhin ekspektasi orang tuanya, tapi sayang, pacarnya hancurin semuanya. Gue baru sadar, mungkin itu alasan Hanin depresi berat.”
“Hanin? Temen se-kosan lo yang dihamilin pacarnya namanya Hanin?”
“Iya.”
“Pacarnya tanggung jawab?”
“Hanin nggak akan hampir bunuh diri dua kali kalo pacarnya mau tanggung jawab.”
“Hanin udah kerja atau masih kuliah?”
“Kuliah, anak manajemen kayak gue, seangkatan sama kita.”
“Hanin, anak manajemen angkatan kita. Lo ada fotonya?” tanya Giskala yang membuat Jelita segera membuka penyimpanan di ponselnya.
Setelah mencari di penyimpanan foto yang lumayan banyak, Jelita akhirnya menemukan foto dirinya bersama Hanin yang sedang berada di Ramen Delight. Jelita dan Hanin memang jarang berfoto, mereka berdua juga terkadang heran kenapa foto yang mereka ambil hampir tidak ada.Jelita dan Hanin selalu menikmati waktu mereka untuk mengobrol dan bercanda hingga mereka lupa jika ada momen yang harus diabadikan.
Cowok itu terlihat mengkerutkan kening sambil memfokuskan netranya untuk mengirimkan sinyal pada otaknya ketika melihat fotonya.Otak cowok itu akhirnya merespon dan membuat Giskala terperanjat karena ia tahu wajah itu. Cowok itu begitu yakin jika ia pernah bertemu dengan Hanin yang ada di foto. Sama seperti pacar temannya, Bisma. Tidak salah lagi Hanin yang dimaksud Jelita adalah pacarnya Bisma.
“Anak BEM, ya?”
“Iya! Kok lo tahu? Lo anak BEM juga?”
“Bukan, gue bukan anak BEM ataupun HIMA, cuma mahasiswa biasa.”
“Mahasiswa biasa yang akan jadi pemilik restoran ramen, gimana rasanya?”
“Biasa aja, kan bukan impian gue.”
“Maaf, gue bikin lo sedih lagi.”
“Makanya jangan ganti topik, ini lagi ngomongin Hanin si anak BEM.”
Giskala pernah melihat Hanin di Ramen Delight. Waktu itu sekitar tiga bulan yang lalu, Giskala sedang makan siang bersama teman-temannya.Awalnya, Bisma memanggil gadis itu dan memperkenalkan sebagai pacarnya, Giskala tidak tahu yang dikatakan Bisma benar atau bohong karena Bisma sering menggoda banyak gadis di manapun. Tapi, melihat Hanin memeluk Bisma membuat mereka percaya jika gadis itu pacarnya Bisma.
Selain itu, setelah Hanin pergi dari meja mereka, Kemal memulai topik terkait gadis itu. Hanin menjadi perwakilan BEM untuk mempresentasikan event BEM mengenai seminar.Gadis itu menjadi perwakilan BEM dan ia anak manajemen yang mengusulkan ide untuk mengadakan seminar dan mengundang motivator terkait dunia bisnis.
HIMA lebih setuju jika BEM mengundang pengusaha muda ataupun enterpreneur yang menjanjikan daripada motivator. Sayangnya, BEM sama sekali tidak mendengarkan HIMA sedikitpun.Mereka tetap mengundang motivator yang hanya pandai merangkai kata-kata penyemangat dan tidak memberikan solusi atau contoh nyata. Maksud Kemal, untuk apa BEM mengirimkan perwakilannya untuk presentasi di depan HIMA jika ujung-ujungnya saran dari HIMA tidak didengarkan.
Giskala hampir tidak percaya jika Bisma memacari anak BEM. Jadi, ingatannya melekat untuk menamai gadis itu sebagai pacar Bisma dan sebagai musuh HIMA karena seminar usulannya.
“Gue tahu siapa pacar Hanin!”
“Siapa?”
“Bisma!”
KAMU SEDANG MEMBACA
MARRIED IN TWENTY (END)
RomanceDIPUBLIKASIKAN TANGGAL 18 JULI 2024 Genre : Young Adult, College Life Menikah? Jelita tidak pernah memikirkan itu. Baginya, menikah adalah garis finish sebagai tujuan setelah ia mencapai semua impiannya. Bagi Jelita sebagai mahasiswa semester tiga d...