Gagal

53 2 0
                                    

Hanin menunjukkan ekspresi wajah yang tidak bersahabat, ia bahkan memutar pupil netranya dan menaikkan satu alisnya sambil menatap sinis ke arah tiga temannya yang masih setia bertahan untuk membujuknya.

“Gue nggak mau liat muka kalian lagi! Pergi!” racau Hanin sambil kembali melempar beberapa benda yang ada di atas nakasnya.

“Oke kalo maunya gitu, gue nggak akan anggap lo temen lagi karena apa yang lakuin hari ini bikin gue tersinggung!” bentak Kinan sambil menunjuk Hanin dengan telunjuknya disertai tatapan tajam.

“Gue udah minta maaf tapi lo nggak kasih gue kesempatan buat memperbaiki pertemanan kita, gue bakal lupain lo dan kita bukan temen lo lagi!” tutur Jelita yang sebenarnya ia sendiri tidak sanggup mengatakan itu pada teman seperjuangannya selama kuliah di awal semester saat menjadi mahasiswa baru.

Kenangan bersama Hanin terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Percayalah, Hanin bukanlah orang yang bersikap seperti ini, rasanya seperti ada roh jahat merasuki tubuh Hanin untuk bertindak sesukanya.

Hanin menutup telinganya sambil berteriak karena Kinan dan Jelita menggunakan bentakan mereka untuk menasihatinya. Hal itu sebenarnya membuat ketiga temannya merasa tidak enak, Hanin pernah bilang supaya jangan bicara menggunakan bentakan padanya.

Mungkin karena Hanin juga kesal, emosinya membuat ia memiliki tenaga untuk mendorong ketiga temannya keluar dari kamar lalu segera menutup pintu serta tak lupa menguncinya.
Jelita menjatuhkan lututnya ke lantai, tubuhnya lemas karena ia lelah dengan perjuangannya yang sia-sia.

Isakannya terdengar semakin pilu yang membuat Kinan dan Andrea memeluk Jelita. Kerusuhan yang tejadi sepertinya terdengar sampai lantai bawah sehingga beberapa saat kemudian ibunya Hanin menaiki tangga lalu menemukan ketiga teman anaknya saling memeluk di depan pintu kamar Hanin.

Melihat kedatangan ibunya Hanin membuat ketiga gadis itu berdiri dan meminta maaf karena mereka membuat Hanin marah karena menolak kedatangan teman-temannya.

Ibunya Hanin balas meminta maaf karena sikap putrinya yang akhir-akhir ini semakin berubah menjadi lebih suka marah-marah. Ibunya Hanin mengajak ketiganya untuk turun guna berbincang sedikit tentang Hanin karena ibunya Hanin tahu ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan teman-teman putrinya.

Jelita menanyakan semua hal yang ada di kepalanya mengenai Hanin. Terutama tentang pacarnya Hanin, apakah pacarnya betul-betul kabur dan tidak bertanggung jawab?

“Hanin selalu bungkam dan berujung marah kalau ditanya perihal pacarnya, bahkan kami nggak tahu kalau Hanin punya pacar, Hanin memang anak yang tertutup dan tidak mau terbuka padahal sama orang tuanya sendiri.”

“Tante, kita tahu Hanin punya pacar, tapi kita nggak pernah nanya karena privasi, kita nggak nyangka kalau berakhir begini,” jawab Jelita.

“Mami mau bilang makasih karena kalian selalu di samping Hanin, Mami bingung gimana lagi supaya Hanin mau cerita, setidaknya Mami ingin tahu siapa ayah dari janin yang ada di perut Hanin.”

“Kita nggak bisa janji, tapi kita akan berusaha untuk cari tahu siapa pacarnya Hanin, doain ya Tante biar kita balik ke sini sambil bawa pacarnya Hanin untuk ngasih kejelasan,” tutur Jelita dengan netranya yang masih berkaca-kaca.

Ibunya Hanin lalu memeluk Jelita erat karena keduanya memang sudah akrab sejak Jelita dan Hanin satu kamar kos. Ketika ibunya Hanin berkunjung ke kosan, justru ibunya Hanin lebih banyak mengobrol dengan Jelita dibanding dengan putrinya sendiri.

Setelah dirasa sudah tidak ada yang dibicarakan lagi mengenai Hanin, mereka bertiga pamit sembari memeluk ibunya Hanin. Hari sudah semakin gelap, dapat dipastikan mereka bertiga akan sampai rumah larut malam karena di jam ini adalah jam sibuk pulang kerja.

Jalanan di tengah kota pasti akan macet dan hal itu membuat Andrea mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi sebelum menemui jalanan tengah kota yang macet.

Di dalam mobil, Jelita kembali menangis dan meracau tidak jelas, Kinan sesekali ikut meluapkan emosinya sedangkan Andrea tetap tenang karena harus fokus mengemudi.

Jelita kembali menjatuhkan bulir air matanya mengingat semua kenangan bahagianya bersama Hanin sambil menatap kaca mobil. Ia tidak menyangka pertemanannya dengan Hanin akan menjadi seperti ini, ia sama sekali tidak mengenal Hanin yang sekarang.

“Semua berawal dari gue, kalo gue nggak marah ke Hanin waktu itu, Hanin masih mau bercanda sama kita, Hanin masih bisa ketawa dengerin lawakan kita yang garing. Semua hancur karena gue,” racau Jelita sambil meremat ujung bajunya, air matanya masih belum berhenti menetes.

“Ta, berhenti nyalahin diri lo sendiri, kita udah minta maaf, emang Hanin aja yang jual mahal,” cetus Kinan.

“Lo jangan nyulut api dan jangan berprasangka buruk, kita nggak tahu gimana perasaan Hanin sebenarnya,“ sanggah Andrea memperingatkan Kinan.

“Habisnya gue lama-lama kesel sama Hanin, udah dibaikin malah makin ngelunjak, dikira kita nggak capek karena harus ngertiin dia? Capek, tahu! Udah berusaha menghibur tapi yang dihibur malah nggak bersyukur kalo masih ada yang sayang sama dia!” sungut Kinan dengan menggertakkan giginya dan rahangnya mulai mengeras.

“Kita mau mampir cari makan di mana?” Andrea sengaja mengalihkan topik agar meredam racauan Kinan yang semakin tidak enak didengar.

Kinan bilang jika dirinya ikut saja karena ia bisa makan apapun, sedangkan Jelita masih sibuk bergelut dengan pikirannya dan tidak kunjung menghentikan tangisannya.

Andrea bertanya pada Jelita namun yang ditanya bilang jika dirinya tidak nafsu makan, ia akan menunggu teman-temannya saja tanpa memakan apapun, percuma jika ia makan tapi tidak menikmatinya.

“Tapi lo harus makan,” tutur Andrea yang dibalas gelengan Jelita, Andrea tidak mau semakin merusak mood Jelita, maka dari itu ia diam dan memutuskan untuk mampir ke restoran cepat saji dan memilih take away untuk dimakan di mobil.

Andrea tidak ingin melewatkan waktu sedikitpun jika tidak ia akan lebih lama terjebak macet di tengah kota yang jaraknya masih sekitar satu jam lagi.

Meskipun sudah dibelikan makanan, Jelita tidak menyentuhnya sama sekali, ia meletakan paper bag di kursi sebelahnya yang kosong. Kinan memakannya dengan lahap sedangkan Andrea memakannya perlahan karena masih harus fokus menyetir dengan hati-hati.

Sebenarnya tadi mereka bertiga ditawari makan oleh ibunya Hanin hanya saja mereka menolak dengan alasan mereka buru-buru takut terjebak macet.

Padahal, mereka tahu diri dan merasa tidak enak pada ibunya Hanin, bayangkan saja mereka sudah membuat Hanin marah dan berteriak lalu mereka berakhir menumpang makan di rumah Hanin? Itu sangat tidak etis, kan?

Sekitar pukul delapan malam mereka akhirnya sampai di perumahan dan parkir di halaman rumah Jelita. Nyatanya mereka terjebak macet lebih lama dari perkiraan.

Andrea dan Kinan keluar dari mobil namun ternyata saat membuka pintu penumpang, Jelita terlihat tertidur pulas yang membuat Kinan dan Andrea tidak tega membangunkannya. Mendengar suara klakson membuat seseorang keluar dari rumah untuk menyambut orang yang meminjam mobilnya.

“Makasih, ya! Bensinnya udah gue isi penuh,” ujar Andrea sambil menyerahkan kunci mobilnya pada cowok itu. Giskala lantas bertanya di mana Jelita karena hanya melihat dua orang di depannya.

Kinan menunjuk ke kursi penumpang yang menampakkan Jelita tertidur pulas dengan kantung kertas berisi makanan di sebelahnya. Andrea dan Kinan pamit karena hari sudah malam, Giskala mengangguk dan mengucapkan hati-hati pada kedua teman Jelita.

Giskala membuka pintu mobil yang lebih dekat dengan Jelita, ia kembali meminta maaf pada Jelita karena harus menyentuhnya,  Giskala mengangkat tubuh Jelita lalu masuk perlahan ke pintu utama.

Kejadian itu disaksikan oleh Kinan dan Andrea yang mencuri pandang ke arah pasutri itu.

“Siapa yang nggak mau dijodohin sama cowok modelan Giskala? Apalagi Giskala masuk tipenya Jelita. Nggak mungkin kalo Jelita nggak jatuh cinta sama suaminya.”

MARRIED IN TWENTY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang