“Ta, pacar Hanin siapa, sih?”
“Gue nggak pernah nanya karena privasinya Hanin, tapi gue juga penasaran sih.”
“Pacarnya tanggung jawab nggak?”
“Gue nggak berani nanyain itu ke Hanin, takutnya bikin Hanin nggak nyaman.”
“Kalo tanggung jawab sih nggak masalah, kalo misalnya nggak mau tanggung jawab terus kabur? Kan kasian Hanin.”
“Sebenernya gue punya banyak pertanyaan, tapi gue tahu Hanin orangnya perasa dan semua hal dipikirin, gue takut pertanyaan gue jadi beban pikiran Hanin. Makanya gue nggak pernah nanya ke arah situ kalo lagi telfonan.”
Jelita memang terbilang cukup konsisten menghubungi Hanin. Memang hanya seminggu sekali, tapi ini jauh lebih baik karena Jelita sekalian memantau kondisi Hanin yang sedang mengandung. Meskipun Jelita merasa Hanin berbeda dari raut wajah dan ekspresinya, tapi Jelita berusaha untuk selalu bersama Hanin.
Semenjak kejadian itu, Jelita sudah jarang sekali melihat senyum Hanin yang tersungging, temannya itu juga jarang tertawa meskipun Jelita sudah mencoba berceloteh dan mengumpan lelucon. Jelita paham perasaan Hanin, terekam jelas banyak rasa lelah di nentranya, penyesalan di kerutan keningnya, serta kecewa dalam senyumannya yang mulai sirna.
Ada banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan, namun Jelita masih belum berani menanyakan apapun yang berkaitan dengan masalah Hanin. Semoga saja, ada kalanya Hanin mau mencurahkan isi hatinya pada Jelita.
Kapanpun itu, Jelita akan menunggu Hanin siap untuk bercerita sehingga tidak ada paksaan dari pihaknya. Jelita takut jika Hanin akan semakin banyak berpikir dan itu bisa mempengaruhi kesehatan bayi yang ada dalam kandungannya.
Andrea yang baru-baru ini menghubungi Hanin juga mengeluhkan hal yang sama. Hanin berubah seperti bukan Hanin yang dikenal. Wajahnya semakin tirus, tulang pipinya terlihat jelas dan rambutnya mengembang seperti memang sengaja tidak dirawat.
Tapi, Kinan bilang jika ada beberapa faktor bawaan bayi yang bisa mempengaruhi fisik ibunya, bukan karena masalah Hanin. Tapi tetap saja Jelita sedih melihat Hanin seperti kehilangan harapan karena terkadang ketika diajak bicara, Hanin melamun dan banyak diamnya.
“Kira-kira pacar Hanin anak kampus ini, bukan?” tanya Andrea.
“Gue nggak tahu, tapi Hanin nggak pernah keliatan pacaran di kampus. Hanin kalo pacaran pasti pergi setiap hari libur,” sahut Jelita sambil menyeruput matcha late yang dipesannya.
“Hah!” sergap Andrea yang membuat Jelita terkejut lalu bertanya apa yang membuat Andrea setengah berteriak.
Andrea lantas menunjuk minumannya yang mana itu adalah jus alpukat. Pesanan milik Andrea salah, sebenarnya jika bukan jus alpukat, Andrea tidak akan memanggil karyawan cafe untuk meminta ganti. Kenapa harus jus alpukat yang dia terima?
Karyawan itu terlihat berjalan tergesa-gesa ke meja Andrea, setelah mendengar penjelasan Andrea, karyawan itu segera meminta maaf karena pesanan Andrea bukan salah, tapi sepertinya tertukar.
“Ketuker sama pelanggan di meja nomor lima, Kak. Tadi saya baru dapat komplain, ternyata minumannya ketuker sama Kakaknya. Maaf ya, Kak. Saya karyawan baru.”
Mendengar itu, Andrea justru merasa tidak enak. Jadi ia bilang jika dirinya yang menukar pesanan ke meja nomor lima. Awalnya karyawan itu menolak, tapi Andrea malah memaksa karena gadis pemakai jedai itu tidak mau membuat karyawan baru ini mendapat masalah.
Akhirnya karyawan itu setuju dan berterima kasih. Andrea tidak berniat menukarnya, hanya ingin memberikan jus alpukat ini kepada si pemesan, kemudian langsung pulang karena suasana Andrea mendadak buruk karena melihat ada jus alpukat di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARRIED IN TWENTY (END)
RomanceDIPUBLIKASIKAN TANGGAL 18 JULI 2024 Genre : Young Adult, College Life Menikah? Jelita tidak pernah memikirkan itu. Baginya, menikah adalah garis finish sebagai tujuan setelah ia mencapai semua impiannya. Bagi Jelita sebagai mahasiswa semester tiga d...