Bab 17

202 28 11
                                    

Keesokan harinya, Indra berjalan menuju kafe tempat dia akan bertemu dengan Surya. Dia berusaha menenangkan dirinya dengan mengingat kembali bagaimana baiknya Surya selama ini. Tapi, situasi kali ini berbeda. Ancaman yang dia terima adalah hal serius yang tidak bisa dianggap enteng.

Setibanya di kafe, Indra melihat Surya sudah duduk di pojok ruangan dengan secangkir kopi di depannya. Surya melambai ke arah Indra dan tersenyum. Indra membalas senyum itu, meski hatinya masih diliputi kekhawatiran.

"Bang Surya," sapa Indra sambil duduk di hadapan Surya.

"Indra, apa kabar? Gimana liburannya kemarin?" tanya Surya.

"Baik, Bang. Liburannya juga seru banget! Tapi kami buru-buru pulang karena di rumah ada kejadian."

"Kejadian apa?"

Indra menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara. "Itu yang mau aku omongin, Bang. Rumah kontrakanku dilempari batu sama orang. Aku sama teman-temanku diancam sama geng motor. Mereka ngirim-ngirim surat ancaman. Katanya mereka nggak suka sama kita dan nyuruh kita pergi dari Jakarta."

Surya mengerutkan alisnya. "Serius?" Surya berpikir sejenak, berdoa semoga yang dia pikirkan salah.

"Kami nggak tahu nama gengnya dan kami dapat info dari kawanku, kalau mereka itu bahaya," jawab Indra.

Surya mengangguk pelan. "Kau tahu siapa mereka?" tanya Surya.

Indra berpura-pura tidak tahu. "Aku nggak tahu, Bang, tapi aku dapat fotonya. Gak terlalu jelas sih gambarnya," ucap Indra sambil memberikan foto yang dia cetak pagi tadi.

Surya terlihat terkejut. Indra yang diam sedari tadi memperhatikan wajah Surya, mencoba menyelidiki ekspresinya. Beberapa saat Indra memperhatikan Surya, Indra menyadari perubahan ekspresinya.

"Bang?"

Sekilas Surya menatap Indra dengan tajam, ekspresinya terlihat marah, tetapi sebenarnya sedikit ada rasa khawatir pada tatapan tersebut.

"Kenapa ngeliatinnya gitu, Bang?" ucap Indra pelan.

Surya melihat foto itu lagi, terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.

Indra sedikit terkejut dengan sikap Surya yang langsung berubah.

"Bang, jangan diam gitu," ucap Indra sedikit ketakutan.

Tiba-tiba Surya berdiri dari tempat duduknya, menaruh beberapa uang di meja dan pergi begitu saja membawa foto yang Indra cetak, meninggalkan Indra sendirian di sana.

"Bang," panggil Indra berharap Surya tidak meninggalkannya di situ.

Surya tidak menoleh sedikitpun, dia benar-benar pergi begitu saja dan hilang dari pandangan.

Indra menyadari tangannya sedikit bergetar dan napasnya sedikit tak beraturan. Keheningan terjadi, Indra diam. Dia hanya mengatur napasnya, tetapi pikirannya berisik, segala hal dia pikirkan.

Bang Surya marah nggak ya sama aku? Aku salah ngomong kayaknya tadi. Pasti dia benci sama aku. Harusnya aku nggak usah pura-pura nggak tahu gitu. Dia mau ke mana ya? Nanti aku mau bilang apa sama Boris, Oki, Bene? Gimana kalau nanti geng motornya nyerang mereka gara-gara aku? Harusnya aku terus terang aja tadi.... Berhenti mikirin hal yang belum tentu terjadi, Indra.

~~~

Di sisi lain...

Surya tiba di markas geng motornya dengan wajah marah. Anggota-anggota geng yang sedang bersantai langsung memusatkan perhatian mereka ke Surya.

"Wendy!!"

"Kenapa lu, Sur?" tanya Wendy.

Surya menunjukkan foto Indra, Boris, Bene, dan Oki di hp-nya, yang dia dapatkan dari Indra waktu camping. Mereka berfoto bareng. Surya melemparkannya ke meja di tengah ruangan. "Ini orang-orang yang lu ancam itu? Yang kemaren lu bilang mau kasih pelajaran?"

Wendy melihat foto itu dan mengerutkan kening. "Oh, itu... iya, kenapa?"

"Lu bilang lu bermasalah sama satu orang doang, Wen. Kalau dendam sama satu orang yaudah satu orang aja yang kita incar. Gak perlu sampai ke temen-temennya juga," seru Surya dengan nada tinggi.

"Gue mau ngancam temen-temennya juga biar dia takut, Sur. Lagian lu kenapa sih malah marah-marah gini? Kemaren-kemaren lu setuju aja buat serang mereka," ucap Wendy mulai emosi.

"Sur, tenang dulu, Sur," ucap seseorang.

"Gak, Ndre, gue gak bisa tenang. Masalahnya gue kenal sama salah satu dari mereka. Dia temen gue, Ndre. Kasihan dia gak salah apa-apa, gak tahu apa-apa juga, tapi kena juga sama kalian."

"Iya iya, kita diskusi dulu ya. Lu duduk dulu biar sama-sama enak ngomongnya," ucap Andre berusaha menenangkan Surya.

Surya pun duduk di situ bersama anggota yang lain. "Wen, gue sebenernya gak peduli lu mau ngincer anak-anak itu, asal jangan sampai temen gue keikut juga."

"Temen lu yang mana, Sur?" tanya Vincent.

Surya menunjuk salah satu orang dalam foto tersebut. "Indra, dia gak tahu apa-apa."

"Gue gak mempermasalahkan juga kok kalau si Indra ini kita amanin. Gue pun ngincer Oki doang, tapi karena mereka satu rumah dan dari kota asal yang sama jadi gue libatin temen-temennya," ucap Wendy.

"Oke kita lihat dulu ya. Yang botak ini Oki, yang sepantaran sama Oki tingginya ini Boris, Bene ini yang rambutnya lebih pendek sedangkan Indra yang rambutnya agak panjang, bener?" ucap Desta mencoba memahami.

"Iya, gue nyari info kemaren begitu," kata Wendy.

"Gue cuma kenal sama Indra, dia yang paling kecil di situ," ucap Surya.

"Bene sama Indra nih beda tipis doang tingginya, tapi lebih kecil Indra. Ingat aja wajahnya, biar gak salah target," kata Tora.

"Berarti nggak masalah kan? Kalau kita ngincer mereka selain Indra?" ucap Andre mencoba mengambil kesimpulan.

"Iya, asal jangan dia, gue nggak masalah," kata Surya.

~~~

Indra masih duduk di kafe tersebut, sembari meminum teh manis hangat yang dia pesan dan menenangkan diri. Tiba-tiba hp Indra bergetar, Surya menelponnya. Indra menghela napas kemudian mengangkat telepon tersebut.

"Halo?" sapa Indra pelan.

"Halo, Da, maaf ya tadi gue ninggalin lu gitu aja. Gue kebawa emosi tadi, lu gpp kan sendirian?" tanya Surya khawatir.

"Gpp kok."

Surya berusaha menjelaskan semuanya. "Gue memang ikut geng motor, Da, dan geng motor gue yang ngancem lu dan temen-temen lu. Maaf ya, Da. Gue janji lu bakal aman-aman aja, tapi..."

"Tapi apa?"

"Tapi gue nggak janji temen-temen lu bakal aman. Gue tau salah satu temen lu ada masalah sama temen gue. Gue nggak bisa ikut campur urusan itu, Da. Temen lu harus selesain sendiri, sorry, Da," ucap Surya.

"Iya, gpp Bang, nanti aku yang ngomong sama mereka."

Surya merasa ada sesuatu yang beda dari Indra. "Beneran nggak apa-apa, Da? Yaudah. Btw, nada lu kayak agak lemes gitu, lu masih di kafe? Gue susul ya."

"Ga usah, Bang, aku udah pulang," ucap Indra berbohong.

"Lu nggak marah kan sama gue, Da?" tanya Surya.

"Engga, Bang. Makasih ya."

"Iya, sorry ya, Da," ucap Surya.

"Iya, Bang," Indra pun menutup telepon.

Indra mengusap wajahnya, pusing.

Kok... lemes ya

~~~

.
.
.

Bersambung ~

4 kehidupan 1 duniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang