Bab 34 | Arshaka: Sedikit Cerita

237 47 140
                                    

Sedihnya masih lanjut nih!

Siap kan?

Happy Reading ❤️

🍁🍁🍁

Begitu banyak wartawan yang menunggu di luar pintu utama Rumah Sakit Harapan Keluarga. Beberapa staf keamanan berjaga di sana. Berita tentang Pak Danuar yang dibawa ke rumah sakit sudah kudengar bahkan sebelum Aska meneleponku. Dia berkata Nala bersamanya saat ini.

Aku bisa masuk dengan lancar melalui pintu utama yang dijaga ketat, kemudian berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Begitu memasuki ruangan, aku terkesiap. Diujung ruangan tampak istri Pak Danuar, Tante Ira dengan kalap menyerang gadis berseragam SMA di depannya, Nala.

Pak Doddy dan seorang dokter juga perawat bersusah payah melepaskan wanita itu dari Nala. Namun seperti tengah kesetanan, Tante Ira malah makin mengeratkan cekalannya pada leher gadis itu. Aska juga berada di dekat Nala, terlihat mencoba membantu sebisanya.

Tanpa pikir panjang aku mendekat, bersama dua perawat lain mencoba melerai kekacauan itu. Cekalan tangan Tante Ira melemah, dan wanita itu jatuh tak sadarkan diri.

Namun perhatianku hanya tertuju pada Nala yang juga terjatuh, terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya. Gadis itu mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang dia miliki. Menjangkau ke brankar dengan tertatih.

Napasku tercekat melihat tubuh Pak Danuar terbujur kaku dengan selimut menutup hingga ke wajah. Nala memeluk tubuh dingin itu, isak tangisnya terdengar memilukan. Dia terus menyebut nama ayahnya, melontarkan kata maaf berkali-kali.

Cukup lama Nala mendekap tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa hingga isakan gadis itu sudah tak terdengar. Aku menarik tubuh gadis itu menjauh karena perawat harus segera memindahkan Ayah Nala ke kamar jenazah. Nala mencoba memberontak, aku terpaksa mendekapnya dan tangis gadis itu kembali pecah.

Tak ada yang bisa kulakukan selain memeluknya erat, karena kata-kata penghiburan tak berarti untuknya sekarang. Pikiranku melayang pada kejadian dua belas tahun silam waktu Nala menangis meraung-raung dipelukan Amma ketika bundanya meninggal. Sekarang gadis itu melakukan hal yang sama dalam dekapanku. Hatiku sakit menyadari sesuatu, Nala kini yatim piatu.

🍁🍁🍁

Aku terus membujuk gadis itu pulang. Tak aman baginya berada disini karena selain Tante Ira yang hilang akal bisa menyakitinya lagi, kudengar makin banyak wartawan yang berada di luar rumah sakit. Nala bisa dengan mudah terekspos.

Kami kini berada dalam mobil. Nala yang sudah kelelahan menangis, jatuh tertidur disampingku. Aska sudah kuminta pulang lebih dulu, memberitahukan kabar ini pada Amma meski beliau mungkin sudah tahu. Meninggalnya Pak Danuar sudah diberitakan dimana-mana.

Sampai di rumah Nala, Amma, Mbak Yani, dan juga Aska menunggu di luar. Tampak kekhawatiran diwajah ketiganya. Aku keluar kemudian menggendong Nala yang masih tertidur.

"Kenapa Nala, Bang?" tanya Amma panik.

"Kecapekan mungkin, Ma. Tidur di jalan tadi," jawabku sepelan mungkin agar tak membangunkan Nala. Gadis itu terlihat tak tenang dalam tidurnya.

Mbak Yani bergegas membuka pintu, memimpin kami masuk rumah, menuju kamar Nala di lantai dua. Kubaringkan gadis itu di ranjangnya yang hangat. Amma melepas sepatu Nala, lalu menyelimuti tubuhnya.

Mbak Yani kembali masuk kamar membawa baskom berisi air hangat dan handuk lalu menyerahkannya pada Amma. Dengan telaten Amma mengusap wajah Nala yang pucat. Aku baru menyadari kedua pipi Nala memar, begitu pula dengan sudut bibirnya.

"Ini kenapa Bang?" tanya Amma tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Aku menggeleng. Namun tanganku mengepal kuat. Pasti ini ulah ibu tirinya.

"Tante Ira, Ma," jawab Aska. "Dia juga nyekik Nala tadi," lanjutnya.

Mbak Yani membekap mulutnya. Dan Amma menangis detik itu juga. Beliau tergugu memandang wajah anak gadisnya. "Nala nggak bersalah. Nggak seharusnya anak ini diperlakukan sekejam ini," lirihnya.

Terdengar rintihan kecil dari bibir Nala. Bulir bening mengalir dari matanya yang masih terpejam. Bahkan dalam tidurnya pun gadis ini menangis.

"Sshhhh... Nggak apa Sayang. Nala istirahat ya...," ucap Amma mencoba menenangkan.

Aku tak tahan lagi. Keluar dari kamar Nala, aku berjalan cepat menuju teras rumah. Kuusap air mata yang merebak di wajahku dengan kasar. Hatiku ngilu, meski tak sebanding dengan kesakitan yang dirasakan gadis itu. Bahkan kemarin Nala masih tertawa ceria, namun hari ini seolah dunianya runtuh. Bagaimana aku bisa menghiburnya, jika penderitaan yang diterimanya belum tentu sanggup kuterima.

Aku merasa bahuku ditepuk. Aska duduk disampingku. "Udah gue duga lo pasti nangis disini, Bang." Aku terkekeh malu. Memang jika dibandingkan dengan Aska, aku cenderung gampang tersentuh.

"Apa yang diberitakan media itu benar, Bang? Lo tahu semuanya kan?" tanya Aska tiba-tiba.

Iya tentu aku tahu. Meski secara tidak sengaja.

🍁🍁🍁

Aku mengenal Tante Linda sejak aku masih kanak-kanak. Kudengar dari Amma, beliau dan Tante Linda bersahabat sejak tinggal di panti asuhan. Keduanya lalu mengadu nasib ke kota ini. Di kota inilah Amma menemukan jodohnya lalu menikah dan pindah ke perumahan ini. Sementara Tante Linda masih di kontrakan yang dulu disewanya bersama Amma. Tante Linda wanita yang lembut dan sangat baik. Dia menyayangiku, menganggapku seperti putranya sendiri.

Aku masih mengingat hari itu. Dari jendela kamar kulihat Tante Linda datang. Aku yang waktu itu berusia tujuh tahun dengan semangat turun ke bawah menemui beliau. Berniat menunjukkan hasil ulangan Matematika yang bernilai sempurna.

Namun langkahku terhenti kala kudengar Tante Linda menangis. Aku mundur selangkah, tapi bisa kudengar suara Amma yang meninggi.

"Jadi maksudnya, anak yang kamu kandung ini adalah anak bosmu sendiri? Pak Danuar itu?"

Waktu itu aku tak begitu paham pembicaraan mereka. Namun setelah kejadian itu Tante Linda tak pernah menemui kami. Hingga setahun kemudian, beliau kembali dengan seorang bayi perempuan dalam gendongannya.

Hari berikutnya mereka menempati rumah kosong di depan kediaman kami. Aku menyambutnya dengan gembira. Setiap harinya aku turut menjaga bayi perempuan Tante Linda yang bernama Nala, dan juga adikku Aska yang baru berusia enam bulan.

Aku juga bertemu Pak Danuar yang datang berkunjung seminggu sekali. Waktu itu aku bertanya-tanya kenapa Ayah Nala tak tinggal bersama mereka seperti halnya keluargaku. Namun semakin umurku bertambah aku paham, bahwa keluarga tempat Nala dilahirkan berbeda jauh denganku.

🍁🍁🍁

"Bang, lo belum jawab pertanyaan gue," ujar Aska lagi.

Akhirnya aku mengangguk. Toh berita sudah menyebar. Lagipula aku yakin Aska cukup dewasa untuk tahu, meski Nala lahir karena kesalahan, gadis itu tak berdosa sama sekali.

Aku menoleh ke Aska yang tampak tak terkejut dengan perkataanku. "Udah gue duga sejak Daisy sering merundung Nala di sekolah. Dan gue rasa Nala juga udah menduga itu. Sekarang pasti kematian ayahnya yang bikin dia shock."

Aku setuju. Nala cukup cerdas untuk membaca keadaan. Mungkin benar kata Aska, dia sudah menduga latar belakangnya. Dan ya, kematian Pak Danuar pasti sangat mengguncangnya. Meski Nala terlihat tak peduli pada ayah kandungnya, aku tahu jauh dalam lubuk hatinya dia pasti menyayangi beliau. Terbukti ketika berita itu keluar, Nala langsung berlari menemui ayahnya. Tak ada alasan selain itu.

"Nala pasti kuat kan, Bang? Dia punya lo, gue, dan Amma. Dia pasti bisa lewatin ini kan?" tanya Aska lirih.

Aku terdiam. Namun aku sungguh berharap Aska benar.

🍁🍁🍁

Jangan pernah skip sebelum vote + komen yaa

NEXT???

Sad Things About Renala [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang