Bab 46 | Merelakan

287 48 156
                                    

Makin kesini makin dikit aja yang baca 😔😔

Padahal tinggal dikit lagi loh

Bertahan yukss

Kawal Shaka-Nala sampe tamat!!!

Happy Reading ❤️

🍁🍁🍁

Tempat ini jelas asing. Begitu luas, terang, dan penuh orang. Mereka wajah-wajah baru dengan ekspresi beragam. Aku berdiri sendiri diantara orang-orang yang sibuk berlalu lalang. Namun mataku mencari, seolah tahu apa yang akan kutemukan.

Gadis itu disana, berjalan diantara kerumunan. Dia terlihat lebih dewasa. Sangat cantik. Senyum tipis tersungging di wajahnya. Gadis itu berjalan ke arahku, seketika dunia bergerak lambat. Aku terpaku, tak mampu mengalihkan pandangan dari wajah yang sangat kurindukan.

 Aku terpaku, tak mampu mengalihkan pandangan dari wajah yang sangat kurindukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kakiku seolah tertanam di tanah, mencegahku berlari ke arah gadis itu. Yang bisa kulakukan hanya menunggu langkah kakinya yang makin melambat. Kala jarak kami hanya tinggal selangkah dia berhenti. Tatapan sedih itu sangat kukenal. Kuulurkan tangan untuk meraihnya, namun sekejap gadis itu menghilang. Seketika aku terbangun dengan jantung berdegup kencang.

Menyadari ini hanya mimpi, rasa hampa perlahan menyergap. Nala sudah pergi dan aku berusaha menjalani hari-hari tanpanya. Aku sangat berusaha, hingga memforsir tubuhku untuk bekerja hanya demi tak teringat gadis itu. Aku berupaya mengisi kekosongan dengan menyibukkan diri, tak membiarkan pikiranku lengah dan mencari celah untuk memikirkan Nala. Dan sepertinya ini berhasil, meski harus mengorbankan kewarasanku.

"Lo udah gila, Bos!" komentar Diki suatu hari karena seharian aku hampir tak istirahat.

Malam harinya aku lebih gila lagi. Berkeliling kota sepulang kerja hampir menjadi rutinitasku. Berharap menemukan Nala di suatu tempat. Akal sehatku mengatakan hal ini sia-sia, namun tak cukup kuat menghentikan kesia-siaan ini. Kemudian aku pulang dengan kondisi yang lelah, sengaja agar bisa langsung memejamkan mata tanpa sempat berpikir.

Tak hanya aku, Amma juga menderita pasca kepergian anak gadisnya. Meski beliau tak pernah bercerita, sekali dua kali dalam satu minggu aku menemukan beliau menangis, memegang foto masa kecil Nala bersama Aska.

Bahkan tak hanya sekali Amma menyiapkan empat piring di atas meja makan seperti ketika Nala masih ada. Dan saat menyadari kekeliruan ini, Amma menguatkan diri. Beliau ambil piring di depan kursi yang kini selalu kosong. "Amma lupa lagi," ujarnya dengan senyum paksa.

Mungkin yang terlihat kuat hanya Aska. Dia selalu menghibur kami, mengatakan bahwa Nala pasti sedang berbahagia di tempat tinggalnya yang baru.

"Nanti kalau dia bosan pasti balik kesini. Lagian siapa sih, yang tahan sama gilanya tuh bocah," ucapnya yakin.

Mungkin itulah yang mendasari kenapa Aska bisa terlihat sangat baik. Begitu dekatnya dia dengan Nala, hingga aku merasa banyak hal tentang gadis itu yang Aska tahu lebih banyak. Meski awalnya dia tak terima dengan keputusan yang Nala buat, namun dia lebih cepat menerima dan memakluminya. Aska sudah melewati rasa kehilangan itu, dan sudah saatnya aku melakukan hal yang sama.

Pagi usai memimpikan Nala, aku bangun dengan tekad untuk merelakan. Gadis itu telah memutuskan untuk meninggalkan penderitaannya, dan saat ini dia pasti tengah bahagia. Tak sepantasnya aku terus menangisi kepergiannya yang sedang berusaha bangkit. Nala pasti tak menginginkan ini. Seperti halnya dia yang berjuang entah dimana saat ini, aku juga harus bertahan. Agar saat dia kembali nanti, tak ada rasa bersalah yang hinggap di hatinya karena memutuskan pergi.

Namun apakah Nala akan kembali? Entahlah, aku hanya merasa kami akan bertemu lagi. Akan kupastikan. Karena jika dia tak kembali, aku yang akan mengejarnya.

"Abang kelihatan lebih segar," komentar Amma pagi ini. Perasaanku yang membaik pasti bisa beliau rasakan. Aska melirikku dari kursinya.

Tersenyum tulus, kubalas komentar Amma, "Abang udah berpikir untuk mendukung keputusan Nala, Ma."

Bertukar pandang dengan Aska, beliau lalu mengusap kepalaku lembut layaknya anak kecil.

"Syukurlah. Amma khawatir lihat Abang murung terus."

"Gue kira cuma Nala yang bucin tolol, Bang. Ternyata lo lebih parah," timpal Aska di sela kunyahannya.

"Ka...," tegur Amma. Aska hanya tertawa.

"Sorry, Bang," ucapnya kemudian.

Aku terkekeh malu, menyadari Aska ada benarnya. Pasti akhir-akhir ini aku terlihat menyedihkan.

Tak hanya Amma yang menyadari perubahanku. Di toko Diki juga terlihat senang melihatku kembali menjadi bossnya yang biasa.

"Akhirnya suasana toko nggak suram lagi, Bos!" ucapnya lega. Aku terpaksa tertawa. Pasti moodku belakangan membuat suasana tegang. Sekarang karyawan-karyawanku sudah mulai bisa melontarkan candaan seperti biasa.

Mengingat lagi senyum sedih Nala dalam mimpiku, kurasa inilah yang dia inginkan. Dia tak ingin aku merasa terpuruk karena kepergiannya. Gue bisa kan, Ren?

🍁🍁🍁

Hampir satu tahun aku tak melihat wajah cantik itu. Aku merindukannya tentu. Berpikir apakah ada yang berubah dari gadis itu. Apa perasaannya masih sama, mengingat bertahun-tahun dia mengejarku? Aku bahkan tak sempat bertanya sejak kapan dia menyukaiku. Sejak kapan rasa sukanya menjadi cinta? Masih banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya.

"Bang, ayo berangkat," ujar Amma membuyarkan lamunanku.

Hari ini Amma mengajakku berziarah ke makam Tante Linda. Tak ada alasan khusus, beliau hanya kangen dengan mendiang sahabatnya.

Lalu lintas lancar meski weekend. Kami tiba di kompleks pemakaman satu setengah jam kemudian, setelah sebelumnya mampir untuk membeli bunga.

Setelah kepergian Pak Danuar, kurasa tak ada lagi yang mengunjungi makam Tante Linda selain Amma. Namun ketika sampai di makam marmer itu, aku dan Amma berpandangan. Makam terlihat bersih, kelopak mawar segar bertebaran, dan di atas nisan, tergeletak sebuket mawar putih yang cantik.

"Ayah pernah bilang kalau mawar putih bunga kesukaan Bunda..."

Napasku tercekat. Nala. Dia disini. Tak salah lagi. Siapa lagi yang akan berkunjung selain dia? Bunga mawar putih favorit Tante Linda, hanya Nala dan ayahnya yang tahu. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Nala pasti belum jauh. Aku yakin.

"Tunggu disini, Ma," ujarku lantas berlari menyisir setiap sudut area ini. Jantungku bergemuruh hebat oleh suka cita, seolah tahu gadis yang kutunggu sudah jelas rimbanya.

Aku terus mencari. Tak banyak orang yang sedang berziarah, jadi dengan mudah aku mengamati wajah-wajah mereka.

"Lo dimana, Ren?"

Aku sampai di pintu masuk pemakaman, menyisir area parkir, namun tetap tak kutemukan keberadaan Nala. Menunduk terengah-engah, rasa suka cita yang kurasa mulai pudar. Aku terlalu berharap. Aku terlalu bersemangat. Hanya untuk kecewa.

Kusibak rambut yang menutup dahiku dengan kasar. Mendesah frustasi, seandainya aku tiba di sini satu jam lebih awal. Sejenak kutenangkan diri sebelum kembali ke dalam menyusul Amma.

Amma sudah selesai ketika aku sampai. "Bang," lirih beliau. Menangkap kesedihan di mataku, lantas direngkuhnya tubuh tegapku. Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa ditahan.

"Gue yakin lo disini, Ren. Apa lo nggak pengen ketemu gue? Apa satu tahun belum cukup buat lo menenangkan diri?"

Pertanyaan-pertanyaan di benakku tak pernah terjawab. Semesta mendekatkan jarak, tapi tak mengijinkan kami bertemu kembali.

"Belum saatnya, Bang. Semua ada waktunya," hibur Amma pelan. Usapan hangat tangan beliau di punggungku menenangkan. Aku sadar Amma benar. Dan sekali lagi, aku harus merelakan.

🍁🍁🍁

Chapter berikutnya Epilog yaa

Vote komennya jangan lupa!

Spam next yuk!!!

Sad Things About Renala [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang