"Baru pulang?"
Arran tersentak saat mendengar suara kakeknya, berikut langkah kaki yang semakin mendekat. Hampir aja Arran mikir dia bisa denger suara hantu. Soalnya ini udah jam satu malam. Kakek kan seringnya jam sembilan udah molor.
"Iya, tadi abis pertandingan mampir dulu buat latian musik," jawab Arran, berusaha tetap tenang. "Bulan depan tampil."
Percuma Arran bohong soal kegiatannya di sekolah, soalnya semua guru yang ada di Cakra Buana adalah mata-mata Kakek. Ah, jangan lupakan ibu-ibu kantin, tukang kebun dan kang satpam. Kegiatan Arran selama dua puluh empat jam di sekolah akan selalu sampai ke telinga Kakek.
"Berapa kali Kakek bilang kalau jam dua belas malam udah harus di rumah?" suara Kakek terdengar tegas dan dingin, sangat cocok dengan perawakannya yang tinggi tegap meski usianya sudah kepala tujuh. "Kamu nggak perlu ngeband. Fokus les sama sekolah aja."
Arran menyugar rambutnya yang sedikit berminyak karena belum mandi seharian. Tiba-tiba Arran jengkel. "Emangnya aku udah bilang setuju? Enggak ada peraturan soal les tambahan sebelumnya." Arran menatap sang kakek malas, "Aku bukan babu Kakek, jadi, aku bakal ngelakuin hal-hal yang aku mau aja."
"Arran!" Kakek mengeraskan nada suaranya. Kebiasaan kalau emosinya sudah terpancing. "Jangan ngelawan apa kata orangtua. Ini semua demi masa depan kamu."
"Orangtua?" Arran memiringkan kepala. "Sejak kapan Kakek jadi orangtuaku? Kakek bahkan nggak pernah muncul sejak aku lahir!"
Benar.
Arran terpaksa masuk ke rumah ini hanya karena Arran sudah muak dengan Papa dan keluarga barunya. Padahal Mama rela meletakkan kehidupan mewahnya sebagai putri ke-dua Yudhira Group, sekaligus meninggalkan keluarga yang membesarkannya sejak kecil demi Papa. Tapi, hanya perlu waktu dua tahun bagi Papa untuk menikah lagi setelah kematian Mama.
Arran membenci Papa karena mengkhianati Mama, tapi Arran juga benci Kakek yang tak pernah sekalipun mengulurkan tangannya saat Mama sedang kritis. Semua sudah terlambat saat anak buah kakek datang dan memindahkan Mama ke rumah sakit besar. Nyawa Mama sudah tak tertolong.
Ayah yang tak berguna sebagai suami, dan Kakek yang terlalu egois dan keras kepala sebagai orangtua. Bagi Arran, mereka berdua adalah pembunuh Mama.
"Arran..."
"Kakek pura-pura ngulurin tangan hanya karena aku satu-satunya cucu keluarga Yudhira, kan?" suara Arran terdengar penuh ironi. "Kalau putra pertama Kakek normal, Kakek nggak akan mungut aku dari jalanan."
Kenyataan bahwa Arran mungkin saja akan mewarisi perusahaan sebesar Yudhira Group di masa depan tak membuat Arran senang. Gara-gara perusahaan itu, Arran harus kehilangan satu-satunya orang yang paling berharga dalam hidupnya.
Jika bukan karena terpaksa, apa Kakek akan mengulurkan tangannya dan membawa Arran pada keluarga Yudhira?
Arran benci dengan kenyataan bahwa dia adalah pilihan terakhir. Bahwa Arran bahkan tak bisa memilih jalan hidupnya sendiri.
"Aku hanya akan bertahan di rumah ini sampai lulus SMA," lanjut Arran lagi, dengan nada sedingin es. "Karena itu, jangan terlalu berharap."
Toh, satu-satunya penghubung di antara mereka berdua hanyalah kesepakatan hitam di atas putih. Dan Arran punya waktu tiga tahun untuk mewujudkannya. Jadi setelah Arran berhasil, Arran akan langsung pergi dari rumah sialan ini.
***
"Kalau gue ikut pemilihan OSIS dan ngalahin suara Escal, apa yang bakal lo lakuin?" Arran bertopang dagu. Sebelah alisnya naik turun dengan cara paling menyebalkan. "Bukannya usaha lo sia-sia dengan nutupin pertunangan lo sama Escal?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovascal : My Lovely Keira
Teen FictionGimana rasanya punya tunangan ketua OSIS yang populer, ganteng, baik dan ramah? Pasti kayak adegan dalam sebuah drama. Di mana kisah mereka bakal disorot dan dapat banyak dukungan. Isinya di sekolah cuma pacaran. Nyatanya, hal itu nggak berlaku bua...