Alaric Malvin Karta adalah seorang CEO sukses yang merawat keponakannya, Arkana Prince Karta, yang berusia lima tahun setelah kecelakaan tragis merenggut nyawa kedua orang tuanya. Kecelakaan tersebut membuat Prince yang ceria menjadi murung dan pend...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Maaf, Dok, saya mengganggu Anda," ujar Alaric dengan nada penuh penyesalan. "Prince terus menangis dan ingin bertemu dengan Anda."
Livia mengangkat alisnya sedikit dan tersenyum ramah, memandang Alaric dengan penuh pengertian. "Oh, tidak perlu merasa sungkan, Tuan Alaric. Kebetulan hari ini saya tidak terlalu sibuk, saya juga senang bisa bertemu dengan Prince."
Mereka saat ini berada di kedai es krim kecil yang terletak dekat rumah sakit. Suasana di tempat itu sangat santai dengan meja-meja kayu dan lampu-lampu kecil yang lembut menerangi ruangan. Prince, yang duduk di kursi dengan penuh kegembiraan, tampak sibuk dengan es krimnya. Ia menggenggam cone es krim berwarna-warni yang tampaknya menjadi favoritnya, dan mulutnya yang kecil belepotan dengan krim es.
Prince terus berceloteh dengan semangat tentang berbagai hal yang ia lihat dan rasakan. Sesekali, ia mengeluarkan tawa ceria dan membuat suara-suara lucu yang membuat suasana menjadi lebih ceria. Melihatnya begitu bahagia membuat Livia merasa sangat gemas. ia tertawa kecil melihat bagaimana es krim mengotori bibir dan pipi Prince.
Livia duduk di sebelah Prince dan membungkuk sedikit untuk berbicara dengannya. "Jadi, bagaimana rasanya es krimnya, Prince? Enak banget, ya?" tanyanya dengan nada lembut.
Prince menatapnya dengan mata bersinar penuh semangat, lalu mengangguk. "Iya Bunda, enak banget es krimnya." jawabnya dengan penuh kegembiraan, membuat es krim yang menempel di mulutnya semakin meluas.
Alaric, yang duduk di seberang meja, tidak bisa untuk tidak memperhatikan setiap detail dari interaksi tersebut. Jantungnya berdegup kencang saat melihat tawa lembut Livia. Ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman—atau mungkin lebih tepatnya, sangat nyaman.
Saat Livia tertawa, cahaya lampu kecil di kedai es krim menyoroti wajahnya dengan cara yang membuatnya tampak lebih cantik dari sebelumnya. Senyumnya yang tulus, mata yang berbinar, dan sikap hangatnya menambah pesona yang membuat Alaric merasa berdebar. Setiap kali dia tertawa, Alaric merasa ada sesuatu yang menarik dan menenangkan dalam diri Livia yang membuat jantungnya bergetar lebih cepat.
Setelah menikmati waktu yang menyenangkan dengan makan es krim, Livia, Alaric, dan Prince kembali menuju mobil. Wajah Prince yang semula cerah mulai berubah sendu ketika mereka mendekati rumah sakit. Ia memegang erat tangan Livia, tak ingin melepaskannya.
"Bunda, aku tidak mau pulang," kata Prince dengan suara kecil namun penuh perasaan.
Livia tersenyum lembut, berlutut di depan Prince sehingga mereka bisa saling menatap dengan sejajar. "Prince, Bunda harus kembali bekerja di rumah sakit. Banyak pasien yang membutuhkan Bunda," jelasnya.
"Tapi aku mau sama Bunda," balas Prince dengan mata berkaca-kaca.
Alaric menimpali, "Prince sayang, Dokter Livia harus bekerja. Kita tadi sudah makan es krim bersama Dokter Livia. Hmm... bagaimana kalau kita ajak Dokter Livia lagi lain kali?"