Veronica mendengus kesal melihat kemesraan Alaric dan Livia. Di hadapannya, mereka sudah seperti keluarga kecil yang sempurna, terutama dengan Prince yang duduk manja di pangkuan Livia, enggan berpisah sejenak pun. Suasana makan malam itu penuh kehangatan, namun bagi Veronica, setiap momen kebersamaan mereka justru semakin memperlihatkan betapa jauhnya dirinya dari Alaric. Hatinya terasa semakin berat dengan perasaan cemburu yang tak bisa ia sembunyikan.
"Alaric, kamu ingat tidak? Kita pernah bermain pengantin bersama," Veronica memulai, suaranya sengaja dibuat lembut, seolah mengenang masa lalu yang manis. "Kamu bilang akan menjadikanku istri di masa depan."
Livia yang sedang mengelus lembut rambut Prince di pangkuannya, langsung menoleh ke arah Alaric, ingin melihat reaksi pria itu. Mata Livia penuh tanda tanya, sementara Alaric hanya berdeham pelan, tampak tidak nyaman dengan arah pembicaraan.
"Itu hanya lelucon masa kecil, Ver," jawab Alaric, suaranya tegas, mengandung nada peringatan. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Veronica, seolah menekankan bahwa topik ini tidak perlu dibahas lagi. "Sekarang, aku sudah punya calon istri."
Kata-kata Alaric menggantung di udara, mengiris perasaan Veronica seperti pisau tajam. Sementara itu, Livia menundukkan pandangannya, merasa campuran antara lega dan ragu. Veronica, yang tidak siap menghadapi kenyataan ini, terpaksa menelan pahitnya kebenaran bahwa posisi di sisi Alaric bukan lagi untuknya.
Tuan Karta, yang sejak tadi mengamati ketegangan yang terjadi, akhirnya memutuskan untuk menengahi. Dengan suara berat namun penuh kewibawaan, ia berkata, "Sebaiknya kita makan dulu. Tidak baik berbicara sambil makan." Ia berharap bisa meredakan suasana yang mulai memanas, mengingat ini seharusnya menjadi makan malam yang tenang.
Nyonya Sania, yang duduk di sebelahnya, merasa hatinya terbelah. Di satu sisi, ia merasa tidak enak kepada Livia, yang terlihat terkejut dengan percakapan barusan. Namun, di sisi lain, ia juga merasa kasihan kepada Veronica, yang tampak jelas masih menyimpan perasaan untuk Alaric. Dalam benaknya, Nyonya Sania tahu bahwa ia harus berbicara dengan Veronica nanti. Gadis itu perlu diberi pengertian bahwa terkadang, harapan yang terlalu lama disimpan harus dilepaskan, demi kebahagiaan diri sendiri dan orang lain.
***
Setelah makan malam selesai, mereka semua berkumpul di ruang keluarga. Suasana agak canggung setelah percakapan di meja makan, namun Veronica berusaha tetap ceria. Ia memandang ke arah Nyonya Sania dan bertanya dengan nada manja, "Aunty, aku boleh menginap di sini malam ini?"
Belum sempat Nyonya Sania menjawab, Alaric sudah lebih dulu bersuara, suaranya tegas dan tanpa ragu, "Lebih baik kamu pulang, Ver. Sudah malam."
Veronica terdiam sejenak, lalu mencoba kembali dengan suara yang lebih lembut dan penuh harap, "Aunty..."
Nyonya Sania merasakan ketidaknyamanan yang mengalir di antara mereka. Ia tahu bahwa Veronica hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama Alaric, tetapi keadaan sekarang sudah berbeda. Dengan suara yang lembut namun tegas, ia berkata, "Bagaimana ya, Ver... Tidak baik kalau kamu menginap di sini, terutama karena Alaric juga ada di rumah ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
MALAIKAT DI TENGAH KITA (END)
RomansaAlaric Malvin Karta adalah seorang CEO sukses yang merawat keponakannya, Arkana Prince Karta, yang berusia lima tahun setelah kecelakaan tragis merenggut nyawa kedua orang tuanya. Kecelakaan tersebut membuat Prince yang ceria menjadi murung dan pend...