BAB 25 KEKHAWATIRAN LIVIA

103 30 14
                                    

Alaric menatap layar ponselnya dengan raut wajah cemas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alaric menatap layar ponselnya dengan raut wajah cemas. Di depannya, Prince terbaring di ranjang dengan wajah pucat dan napas tersengal, penurun panas menempel di dahinya yang berkeringat. Hati Alaric terasa perih melihat keponakannya yang biasanya ceria kini terbaring lemah.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengambil foto Prince yang sedang terbaring lemah itu. Setelah memastikan foto tersebut jelas, ia mulai mengetik pesan:

"Prince sakit. Aku minta maaf mungkin kali ini aku akan merepotkanmu lagi. Bisakah kamu datang ke rumah? Dia tidak mau makan kalau tidak ada kamu. Dia merindukanmu."

Alaric menatap pesan itu sejenak, merasa ragu. Ia tidak ingin terlihat lemah, tetapi demi Prince, ia tahu bahwa Livia adalah satu-satunya orang yang bisa membuat keponakannya merasa lebih baik. Dengan napas yang berat, Alaric akhirnya menekan tombol 'send' dan meletakkan ponselnya di atas meja.

Di dalam hati, ia berharap Livia akan segera datang. Prince terus memanggil namanya, dan hanya kehadiran Livia yang bisa membuat anak itu tersenyum lagi.

Di sisi lain, Livia baru saja menyelesaikan sesi konsultasi terakhirnya hari itu. Setelah memastikan semua catatan pasien sudah tersimpan dengan rapi, ia meraih ponselnya yang tergeletak di samping laptop. Layar ponsel menampilkan notifikasi pesan WhatsApp yang baru saja masuk.

Livia membuka pesan tersebut, dan matanya segera tertuju pada nama pengirimnya—Alaric. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat saat ia membaca pesan itu.

"Prince sakit. Aku minta maaf mungkin kali ini aku akan merepotkanmu lagi. Bisakah kamu datang ke rumah? Dia tidak mau makan kalau tidak ada kamu. Dia merindukanmu."

Livia merasakan dadanya mencelos. "Astaga, Prince... dia sakit," gumamnya dengan nada khawatir. Tanpa berpikir panjang, Livia segera mengetik balasan, "Aku akan ke sana segera."

Setelah mengirim pesan itu, Livia bergerak dengan cepat. Ia melepas jas putihnya dan menggantungnya dengan rapi di gantungan baju. Kemudian, ia meraih tasnya yang tergeletak di atas kursi, memastikan semua peralatan medis yang mungkin diperlukan sudah ada di dalamnya.

Livia melangkah cepat keluar dari ruang konsultasinya, berjalan melewati koridor rumah sakit yang mulai sepi. Ia menekan tombol lift dengan perasaan tidak sabar, berharap waktu tidak terlalu lama berlalu sebelum ia bisa berada di sisi Prince. Satu-satunya yang ada di pikirannya sekarang adalah bagaimana ia bisa membuat Prince merasa lebih baik, dan bagaimana ia harus menghadapi Alaric yang pastinya juga sedang cemas.

Setelah pintu lift terbuka, Livia segera masuk dan menekan tombol lantai dasar, bersiap untuk bergegas ke rumah Alaric, tempat di mana hatinya terasa tertambat lebih kuat dari yang ia sadari.

Begitu berada di dalam mobil, Livia menyalakan mesin dan melaju menuju rumah Alaric. Ia tidak akan membiarkan Prince menghadapi sakitnya sendirian. Tanpa sadar, ada senyum tipis yang muncul di wajahnya, meski diiringi dengan rasa khawatir, karena ia tahu, dalam hati, ia tidak hanya peduli pada Prince, tetapi juga pada Alaric.

MALAIKAT DI TENGAH KITA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang