03. "Let's Be Friend,"

332 34 4
                                    

Elizabeth mengusap wajahnya kasar setelah kebodohan yang dia lakukan beberapa saat yang lalu. Dia meruntuki dirinya sendiri karena secara tidak sadar memeluk Pierre. Dia seolah-olah menuruti apa yang di katakan oleh otaknya, alias tidak bisa menahan diri. Pierre bisa saja ilfeel padanya karena nekat memeluknya, padahal mereka baru bertemu (lagi).

"Izzie," Elizabeth yang tengah menangis dan memeluk Pierre kencang langsung membuka matanya saat mendengar suara Pak Nas memanggilnya. Elizabeth langsung melepaskan pelukannya dari Pierre, jantungnya mulai tidak beraturan.

"M-Maaf, saya tidak sengaja memeluk anda. S-Saya Saya...Umm," Elizabeth terbata-bata. Kesulitan mencari alasan yang bagus karena aksi mendadaknya tadi.

Aurelius dan Maria masih cengo dengan apa yang baru saja mereka lihat. Putra mereka di peluk oleh gadis asing secara tiba-tiba. Bu Nas justru malah terlihat khawatir, karena dia melihat Elizabeth menangis sampai terlihat sangat sesak dan kesulitan bernafas.

"Kamu kenapa to, nduk?" Tanya Pak Nas dengan nada yang masih kaget. Dia melihat Pierre dengan tatapan tidak enak. Elizabeth menggigit pipi dalamnya, badannya gemetaran sekaligus merasakan malu. "Sebelumnya saya minta maaf. S-saya teringat mendiang teman SMA saya di Inggris yang sudah meninggal, dan kebetulan dia mirip sekali dengan anda. Saat melihat anda, saya jadi teringat dirinya," ucap Elizabeth melihat ke arah Pierre. Pierre tersenyum kaku, jujur saja, jantungnya berpacu dengan kuat dan masih bisa merasakan bagaimana pelukan kuat Elizabeth ke tubuh tegapnya.

"Maafkan saya," lanjut Elizabeth, dia menatap Pierre tidak enak. Jari-jarinya bergerak dengan gelisah, keringat dingin terlihat mengucur dari pelipisnya. "Tidak apa-apa, nona," Pierre akhirnya menyahut. Bukan tatapan 'kesal' atau 'jijik' terhadap Elizabeth, justru dia melihat Elizabeth dengan tatapan khawatir. Gadis ini terlihat begitu rapuh, dari tangisannya saja Pierre tahu bahwa Elizabeth pasti menyimpan banyak luka.

Dia beberapa kali mendengar dari Pak Nas bahwa dia mempunyai keponakan yang sudah yatim-piatu. Mungkin saja teman yang dia bilang sudah meninggal itu adalah teman terbaiknya, hingga dia bisa menangis dengan nada yang cukup memilukan.

Elizabeth menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Di awal pertemuannya dengan Pierre di kehidupan sebelumnya, dia tidak sebodoh ini. Tapi karena efek kerinduan yang tidak tertahankan, dia malah bertindak sebodoh ini.

"Kenapa anda di sini, nona?" Sebuah suara membuat Elizabeth menengok ke arah kanan. Dia melihat Pierre sedang berdiri di dekat bangku taman. Elizabeth berusaha tenang, kali ini dia tidak boleh melakukan kebodohan lagi. "Aku hanya ingin mencari udara segar, di dalam sangat ramai dan agak sesak," ucap Elizabeth dengan senyumnya. Pierre duduk di samping Elizabeth, Elizabeth menahan nafas lagi sebentar saat Pierre duduk di sampingnya. Pria berdarah Perancis itu menyodorkan sebuah sapu tangan ke Elizabeth. "Kau menangis lagi, hapus air matamu dengan ini," ucap Pierre lembut sambil mengulurkan sebuah sapu tangan. Elizabeth menggigit bibir bawahnya, agak ragu menerima sapu tangan berwarna biru itu.

Namun akhirnya, Elizabeth menerima sapu tangan itu. "Terima kasih," ucap Elizabeth lalu menghapus air matanya dengan sapu tangan Pierre. Pierre tersenyum hangat, dia menatap Elizabeth lembut dengan mata coklatnya. "Kau seperti terlihat sangat kehilangan dan terluka karena kematian temanmu itu hingga kini, aku turut berduka," Elizabeth menengok ke arah Pierre saat perwira muda itu membahas tentang alasan Elizabeth saat dirinya menangis tadi. Elizabeth memilin kain bajunya, dia memang kehilangan temannya. Teman hidupnya. Belahan jiwanya yang harusnya menjadi suaminya.

"Y-Yeah, aku sangat kehilangan dirinya. Aku benar-benar belum sepenuhnya sembuh semenjak dirinya meninggalkan aku untuk selamanya. Dia satu-satunya teman terbaikku. Tapi entah kenapa Gusti Allah malah merenggutnya dariku," ucap Elizabeth, dia tersenyum pahit lalu menundukkan kepalanya. Melihat ke arah sepatu haknya, jari-jarinya semakin gencar memilin bajunya. Gugup dan sesak seolah-olah berputar-putar di sekitarnya. "Tuhan terkadang memang memberikan takdir yang tidak terduga, tapi aku selalu yakin, Tuhan memiliki rencana yang baik untuk dirimu. Bukankah Tuhan selalu menguji hambanya dengan batas kesabarannya? Jika hingga saat ini kau kuat, itu artinya kesabaranmu luas," ucapan Pierre membuat hati Elizabeth seperti di remukkan lagi. Semenjak kematian Pierre, dia beberapa kali memiliki niat jelek, yaitu mengakhiri hidupnya sendiri. Tapi untung saja, Om dan Tantenya itu memiliki peran besar, membuat Elizabeth perlahan bisa tetap waras meskipun mengalami depresi berat hingga beberapa tahun. Dia juga selalu melakukan do'a, mengaji, shalat yang rajin untuk tetap membuat dirinya terhindar dari sebuah bisikkan buruk.

Elizabeth's Past Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang